KUMPULAN KATA-KATA

Posted by | Posted on 08.44


1 Mei 2007
Pola pendidikan adregogi dan pedagogi memiliki proporsi yang berbeda. Oleh karena itu, kita tidak sepantasnya membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain. Yang penting adalah kontekstualitas tipologi ilmu dan subyek yang akan mengkaji ilmu.
Untuk ilmu-ilmu dasar, guru harus berperan sebagai fasilitator. Agar, murid dapat lebih kreatif dalam berpikir dan bertindak. Guru juga sebagai trigger dari sebuah diskusi ilmiah baik disekolah maupun diluar sekolah.
Sementara untuk ilmu-ilmu maknawi, murid mestilah taqlid kepada sang guru sebab sebagai pejalan ruhaniah, ia tidak boleh membawa pengalaman spiritual pada spekulasi filosofis yang penuh perdebatan. Akan tetapi pada penyelaman makna dan penyingkapan realitas.

2 Mei 2007
Tuhan, Engkau Maha Paradox, Maha Membingungkan. Kau memperkenalkan diri-Mu dengan berbagai pertentangan. Kau tampakkan diri-Mu dengan zhahir-Mu dan batin-Mu. Kau perkenalkan diri-Mu dengan keawalan dan keakhiran-Mu. Kau perlihatkan kelembutan dan kerasnya siksa-Mu. Kau tunjukkan ketunggalan dan ketidakterhinggaan-Mu. Kau meliputi segala sesuatu tapi bukan salah satu dari sesuatu, Engkau berbeda dengan yang lain. Suatu kali Engkau berkata “Aku seperti yang engkau prasangkakan”. Namun di kali lain Engkau katakan “Aku tidak seperti apa yang engkau prasangkakan”.
Bagiku, itulah kecantikan-Mu yang dengannya aku mengenal-Mu

6 Mei 2007
Dari logika melahirkan epistemologi, kemudian muncul pandangan dunia sampai pada ideologi. Kemudian visi dan misi kehidupan. Karena hidup cuma sekali dan harus berarti, maka hidup ini harus memiliki tujuan yang jelas. Hidup milik Sang Pencipta, untukNya segala diberikan. Karena saat ini adalah awal dari akhir dunia, maka hidup ini harus diarahkan padanya. Tiap tindakan seharusnya adalah gerakan penyambutan hari akhir. Oleh karena itu, seharusnya telah disiapkan sarana dan prasarananya.
Membangun gerakan, apapun bentuknya, mulai dari ideologi hingga individual, semestinya mengarah pada penyambutan hari akhir. Membangun kekuatan ekonomi, politik, budaya, kesadaran dan semuanya harus sinergis. Tiap kita harus mengambil peran tanpa mesti merasa kurang atau lebih satu sama lain. Seperti kepingan mozaik yang membentuk lukisan. Seperti pixel yang membentuk gambar. Tiap kita adalah representasi dari lukisan Ilahi.

Pancasila sebagai dasar negara adalah titik kompromi dari kemajemukan bangsa Indonesia. Tak ada satupun negara yang sekompleks Indonesia. Ragam agama, kepercayaan, budaya, suku, bahasa, pulau dan semuanya merupakan keindahan di satu sisi. Namun disisi lain adalah kerumitan yang mesti disatukan. Dilematisnya, kadang penyatuan bermakna penyeragaman. Atau penghargaan lokalitas justru dipahami arogansi kedaerahan.

8 Mei 2007
Tidak dapat dipungkiri bahwa semua manusia, pada sisi universalitasnya, sama. Akan tetapi pada sisi partikulirnya, tiap-tiap manusia berbeda. Kasta, adalah bentuk paling kasar dari stratifikasi sosial yang merupakan manifestasi dari gagasan partikulir kemanusiaan. Manusia paling mulia adalah manusia yang paling mampu mengaktualkan potensi ketuhanan dalam dirinya. Adalah hal yang wajar jika diposisikan lebih tinggi ketimbang manusia lainnya. Berikutnya adalah manusia yang mempunyai tanggung jawab kepada sesama manusia. Wajar jika mereka dihargai ketimbang yang tidak bertanggung jawab. Setelahnya adalah manusia yang hanya memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersiernya. Mereka adalah manusia kebanyakan. Dan manusia paling rendah adalah manusia yang tidak memiliki kemerdekaan atas dirinya.
Hindu memahami konsep ini secara kaku sehingga dibuat pelapisan kasta brahmana, ksatria, sudra dan waisya. Padahal, tidak semua orang yang mampu mengaktualkan potensi ketuhanan dalam dirinya mempunyai keturunan yang sama dengan dirinya. Tidak semua pemimpin sosial yang memiliki tanggung jawab besar terhadap sesama manusia bersifat seperti dirinya. Bisa jadi seorang dari keluarga pedagang mampu mengaktualkan potensi kemanusiaannya sehingga setaraf orang pilihan. Bisa jadi orang yang bermental budak melepas jiwa perbudakannya sehingga memimpin dan bertanggung jawab luas terhadap sesama manusia.
Kadang demokrasi dipahami terlalu kaku. Demokrasi adalah semua orang bisa menjadi pemimpin. Padahal, meski tidak menjadi satu-satunya syarat, genetik adalah faktor yang sangat mempengaruhi. Dan memang tidak semua orang bisa menjadi pemimpin, meski banyak orang berambisi jadi pemimpin. Karena kemampuan kepemimpinan tidak berbanding lurus dengan ambisi kepemimpinan.

9 Mei 2007
Waktu terus berganti dengan pasti. Namun nilai tetap baku seperti di awalnya. Zaman tidak lain perputaran waktu yang didalamnya terdapat pola kerja yang berbeda sebagai implementasi dari nilai-nilai.
Manusia senantiasa merdeka memilih peran dizamannya. Bergerak dan mengembangkan pola kerja sesuai nilai yang ia perjuangkan. Tapi hidup hanya sekali, oleh karena itu harus berarti. Arti kehidupan muncul dari pemaknaan dari nilai tertinggi yang diturunkan dalam bentuk gerak dan tindakan. Dengan hal itulah manusia mewarnai zamannya.
Perlu pengetahuan untuk memilih, memilah dan menilai sesuatu. Kemudian pengetahuan itu menjadi alat untuk mencari kebenaran hakiki. Setelah itu, diturunkan dalam bentuk nilai-nilai yang diperjuangkan dalam tindakan dan perbuatan.
Pengetahuan adalah syarat mutlak, tapi tidaklah cukup untuk mencapai cita-cita. Mesti senantiasa semangat selalu ada. Sebab ketiadaan semangat akan mengarahkan pada jurang apatisme. Tapi semangat berlebihan akan menyebabkan tindakan yang tidak terukur dan kadang hanya sesaat. Oleh karena itu mestilah semangat dibarengi dengan kesabaran. Dengan kesabaran memunculkan rasionalitas dalam berpikir dan menganalisa persoalan. Dalam perjalanan, akan banyak ujian dan godaan, makanya diperlukan konsistensi sebagai perwujudan dari komitmen untuk berjuang mencapai cita-cita.
Tiap kita mestilah mengenali wajah zaman, mengetahui kondisi sekitar dan jauh diluar. Juga mengetahui rantai kesejarahan dalam hubungan sebab-akibatnya. Dan tentunya harus mengenali diri sendiri. Dengan demikian, kita dapat mengambil peran dizaman kita kemudian bertindak dengan terukur, cermat, realistis dan optimal sesuai dengan kapasitas masing-masing.

14 Mei 2007
Kita laksana pohon. Berasal dari akar yang berbeda. Kemudian perlahan menyatu menjadi batang. Lalu dibatang, perlahan memisah membentuk cabang. Tiap cabang membentuk ranting dan anak ranting. Lalu, tiap kita adalah sehelai daun dari pohon “kita”. Daun itu berlomba-lomba mengecap sinar mentari. Perlahan daun yang pucuk, menghijau, menguning lalu terjatuh kembali ketanah.
Manis, kecut atau pahitnya buah pohon “kita”, tergantung dari ikhtiar individual dan ikhtiar kolektif “kita”.

Roda zaman berputar dengan pasti. Skenario berjalan sesuai kehendak sutradara. Lalu semuanya mengalir. Anak manusia dihadapkan pilihan atas peran yang akan diambil.  Dan karena tiap anak manusia mewakili tiap peran dengan niscaya, maka niscaya pula pilihan perannya.

16 Mei 2007
Untuk tetap bertahan secara individual atas segenap persoalan, maka perlu mengelola energi dalam diri. Energi positif dimaksimalkan. Energi negatif dikonversi menjadi energi positif.
Semangat, rasionalitas, kesabaran dan kualitas individual lainnya adalah energi positif yang harus dimaksimalkan dengan menambah secara proporsional sesuai kondisi diri.
Kesedihan, keputusasaan, kedengkian dan sifat negatif lainnya akan menjadi energi negatif yang dalam mengkonversinya mesti sedemikian rupa sehingga tidak merusak.
Kesedihan adalah titik awal dari semangat. Makanya, kesedihan mesti diberi katalisator dari variabel eksternal.
Keputusasaan adalah awal dari komitmen. Makanya keputusaan mesti diarahkan pada titik kejenuhan sehingga melahirkan komitmen.
Begitupun yang lainnya.

19 Mei 2007
Tiap kita seharusnya mengambil peran dilingkungan kita dalam rangka perubahan sosial. Oleh karena itu, semestinya dipertemukan antara titik kemampuan maksimal dengan harapan terhadap kondisi sosial. Dari sini meniscayakan adanya pembacaan terhadap realitas sosial (eksternal) dengan realitas kedirian dan kelompok (internal). Ketidakseimbangan antara varibel ini dapat menimbulkan keputusasan dalam bergerak.

31 Mei 2007
Berbuat salah bukanlah intisari kemanusiaan tapi pengingkaran pada kemanusiaan. Kemanusiaan mengarah pada kebenaran bukan pada kesalahan.

5 Juni 2007
Hidup di zaman sekarang adalah hidup diantara kemunafikan. Kita seharusnya senantiasa menjaga niat tulus untuk meraih cita-cita. Akan tetapi juga seharusnya taktis menghadapi orang munafik.

11 Juni 2007
Akal seperti kuda, dengannya ia mengantarkan kita pada tujuan. Perhiasan emas dan peraknya kadang menyilaukan sehingga menumbuhkan kesombongan. Keluguan pengendara membuat kuda berlari liar tak terkendali

21 Juni 2007
Belajar, belajar dan belajar. Belajar, adalah memetik makna realitas. Makna yang dituliskan membentuk teks dan disusun bentuk buku yang dibaca. Makna yang berderet dalam perjalanan dalam bentuk pengalaman yang dialami. Makna yang terlintas dalam benak dalam bentuk perenungan. Makna yang teruntai dalam kata-kata yang terdengar dalam bentuk suara.
Belajar bukan hanya menambah pengetahuan. Tapi juga proses internalisasi pengetahuan. Wajar jika banyak orang yang berpengetahuan tapi tidak melaksanakan apa yang diketahuinya.
Belajar, dalam internalisasinya ada tiga. Pertama, menempelnya pengetahuan dalam diri. Kedua, meresapnya pengetahuan dalam diri. Dan ketiga, menyatunya pengetahuan dalam diri.
Belajar, adalah proses yang terus menjadi. Tak pernah berakhir kecuali berpindah dari fase ke fase lain.

23 Oktober 2007
Perempuan cerdas : sebuah kata yang menarik. Tetapi “kecerdasan” perlu kembali direnungi maknanya. Apakah kecerdasan sekedar baca buku ini dan itu, kemudian berdiskusi banyak hal, menyajikan sebuah materi, menulis dan menguasai sebuah atau beberapa disiplin ilmu ? Ataukah kecerdasan itu adalah usaha untuk menyatukan hasil pencarian intelektual dengan perbuatan dan perasaan ?
Perempuan cerdas : kadang melupakan unsur biologisnya. Memang akal secara potensi sama dengan laki-laki. Akan tetapi dalam aktualisasinya, akal perempuan dipengaruhi aspek biologisnya sehingga kadang perasaannya dominan.
Perempuan tidak perlu dipaksa cerdas, tentu cerdas yang dimaksud adalah cerdas versi maskulin. Namun perempuan yang cerdas versi maskulin tentu membanggakan. Lebih mulia perempuan terjaga ketimbang perempuan ahli teori

Reformasi masih berlangsung. Buku pelajaran mulai berubah. Sekarang sedikit lebih baik dengan menawarkan perspektif yang lebih maju. Sistem politik dan perundang-undangan juga semakin menawarkan demokrasi bagi rakyat. Meski dalam pelaksanaannya, watak orde baru masih banyak menghinggapi penguasa yang rakus bin serakah. Lihatlah tender proyek yang penuh keculasan, penipuan, sogokan dan kepalsuan. Kesejahteraan rakyat adalah lagu nina bobok kaum serakah kepada orang miskin. Bagaimana rakyat sejahtera, jika dalam tender proyek, bupati minta bagian 20% dari total anggaran. Jelas, material proyek akan defisit. Belum lagi bagian kepala dinas dan pejabat serakah lainnya yang minta sogokan. Akhirnya, bangunan, jalanan, jembatan dan semua hal menjadi cepat rusak. Meski dana itu berasal dari rakyat. Kata rakyat adalah kata ambigu. Jika berkaitan dengan penarikan dana, seperti pajak. Atau penggalangan massa untuk pemenangan pemilu. Maka yang dimaksud dengan rakyat adalah orang-orang miskin. Apakah mereka tukang becak, petani penggarap atau pengangguran. Tapi jika berkaitan dengan distribusi dana, posisi politik, keadilan hukum, maka yang dimaksud dengan rakyat adalah para pejabat serakah. Semoga kutukan Allah segera menyadarkan mereka dan semoga kita terhindar dari watak seperti itu.

5 November
Lama kupahami bobroknya politik. Tapi pengalaman baru membuat saya semakin tersadar bahwa pilar-pilar kekuasaan hari ini adalah kebohongan, kemunafikan, kelicikan, keculasan dan kepalsuan. Kepada siapa kita harus percaya ?

2 desember
Manusia bijak selalu lahir dari perut konflik. Konflik batin membuat jiwanya kuat. Konflik sosial membuat masyarakatnya dewasa. Mereka yang mampu membaca dan mengambil sikap serta memperjuangkan prinsipnya pada konflik, merekalah manusia bijak.

Comments (0)

Posting Komentar