CONTOH CERPEN

Posted by | Posted on 08.39


Narasi Seorang Pembunuh*
Cerpen Sihar Ramses Sakti
Akulah Poertorico. Sejak kecil, aku suka sekali membunuh. Mematahkan leher kucing hutan peliharaan opa sambil tertawa. Kubayangkan roh kucing hutan itu akan terbang dan melesat di atas bukit kapur, atau rerimbunan pohon jati di tepian hutan. Mungkin dia akan bergabung bersama roh-roh makhluk lain yang telah kubunuh sebelumnya. Sibuk berdiskusi tentang kegilaan dan kekejamanku pada mereka. Aku tambah bangga bila itu terjadi. Terkenang kesombonganku di hadapan ikan yang menggelepar di atas kuali panas, burung kutilang yang mati kelaparan dan mayat domba yang tertusuk bilah bambu runcing. Aku puas ha..ha.. --- heran sekali memang --- tapi aku puas! Merasa perkasa di depan mayat binatang yang telah kubunuh. Seperti memiliki kekuasaan yang mutlak atas mereka semua. Menghentikan nyawa pada detik yang aku suka. Waktu pagi --- saat mau berangkat ke sekolah --- sempat kucabut pula satu nyawa yang baru bangun dari tidurnya. Bleki, anjing kesayangan Papa. Kuracun dia dengan potas yang bercampur tulang sop sisa santapan kemarin malam. Sampai Bleki dikuburkan, tak ada yang tahu apa penyebab kematiannya.
“Sudahlah, Rico. Tak usah sedih. Besok coba minta anak anjing pada Pak Dom. Papa dengar, si betina Brownie telah melahirkan,” hanya itu kata-kata Papa untuk menghiburku. Disebarnya segenggam bunga kamboja di atas tanah makam. Aku pura-pura menangis. Wajah pilu menatap sendu pada kabut yang berwarna ungu. Ha..ha… --- hebat! --- Papa bisa juga tertipu!

***
Itulah aku! Poertorico. Sejak aku hidup, entah sudah berapa ratus nyawa kutamatkan riwayatnya. Itu belum dihitung dengan semut, kecoak, cicak atau seribu satu jenis serangga tak berharga lainnya. Tapi aku puas. Darahku berdesir menerima kenikmatan ini. Sesungguhnya kenikmatan adalah puncak nilai tertinggi yang harus diburu mansuia. Akan kulakukan apapun untuk mendapatkannya. Memanjakan jiwa raga agar bisa bertahan abadi di muka dunia. Oh, bahagialah Poertorico Mandes. Dengan segala kesimpulan yang telah dipertimbangkan oleh dirinya.
***
Sampai suatu saat, aku juga tak mampu lagi menahan keganasan mataku pada manusia. Ya, pada manusia! Tak pernah kurasakan hal ini sebelumnya. Di kampus, tatapanku tiba-tiba saja mendarat nyalang di punggung Pedor. Oh, apa yang akan terjadi? Apakah aku harus membunuh dia? Atau mesti kutahan, walau jantung semakin berdetak cepat, dada bergemuruh seperti ingin meledak? Aku tak tahu. Tapi aku tak ingin ini terjadi. Lalu keringat sebesar jagung menembus dari pori-poriku. Mata seperti ingin memutar dunia, aku limbung, menahan sakit yang teramat sangat di sekujur tubuh. Berhari-hari kutahan ini, berhari-hari kusembunyikan diriku di dalam sebuah kamar. Aku ingin menjauhi manusia. Aku ingin menjauhi mereka semua! Siapa mahasiswa di kampusku yang tak mengenal Pedro? Dia seorang aktifis. Sahabat dekatku. Walau dia telah pacari Merry, aku tak ingin persahabatan kami terputus. Telah lama kami berteman. Sejak kanak-kanak, sejak kami diperbolehkan orangtua untuk keluar rumah. Mungkin aku dendam. Mungkin aku cemburu. Tapi haruskah kematian ditimpakan pada setiap musuhku? Dan, apakah Pedro memang harus kubunuh? Oh, aku tak tahu. Aku tak bisa menjawabnya. Aku benar-benar tak mengerti semua ini!\
***
“Nama?”
“Rico, Pak”
“Maksud saya, nama lengkap?”
“Poertorico, Poertorico Mandes”
“Umur?”
“Dua puluh tiga tahun”
“Alamat Anda?”
“Saya tinggal di apartemen. Jalan Gloria belakang bioskop Magnum”
“Hmmm. Pekerjaan?”
“Saya belum bekerja. Masih kuliah. Mahasiswa, pak” Bruakkk!

Suara meja dihantam membuatku terperanjat kaget.
“Taeeek! Kalau kau mahasiswa, mengapa harus membunuh? Hah? Setan, coba jawab! Mengapa diam? Anjing!” Tanganku cepat meraih daguku yang berbulu. Mataku menyipit, seperti ingin meremehkannya. Dag! Plak! Bruaaakkk! Oh, iblis bertempik! Dia menamparku!
“Bajingan kau, Poertorico Mandez. Kau pasti mengerti kenapa kau sampai dipanggil kemari. Kami penegak hukum, tak ingin dibodohi oleh anjing jalanan. Sudah berapa nyawa yang kau bunuh, Bangsat! Kau penjahat kelas kakap, Mandez. Disini terinci daftar orang-orang mati, mereka korbanmu, banyak keterangan saksi mata yang menguatkan. Roh mereka akan selalu penasaran pada wajahmu, Bangsat!”
“Dengar, jangan coba berkelit dan mengelak dari tuduhan!”
“Pertama, Betty Bevoir. Dosen pengajar ilmu Statistika di kampus tempat kau berkuliah. Universitas Morton. Umur: 35 tahun…” Sekarang, aku cuma bisa diam. Walaupun aku sendiri tak tahu, apakah benar aku telah membunuhnya. Apakah aku pernah membenci ibu Betty.
“Lalu Richard Done, petugas kebersihan sepanjang jalan Gloria. Saksi mata menyebutkan, lima hari sebelum kematiannya yang aneh, kau sempat bertengkar dengan dia di tengah taman. Benarkah?” Terpaksa, aku mengangguk. Saksi mata memang tidak berdusta.
“Tuduhan ketiga. Hmmm, masih beberapa lagi. Kau masih sanggup mendengarnya, Mandez?” letnan gendut itu membetulkan kacamatanya yang melorot sambil menatap dekat ke wajahku. Aku tak mampu bergerak. Gendang telingaku berdenging, menahan amarah dan rasa malu. Dia pikir dia punya wibawa. Sombong sekali babi busuk ini!
“Okey, aku baca singkat,” dia berjalan mengelilingiku.
“Frank Bond, mahasiswa Norton. Umur --- sama denganmu --- 23 tahun. Satu fakultas, suka bersaing denganmu dalam hal pelajaran. Ini menurut keterangan para saksi! Kasus Frank, mati terjerat oelh seutas tali di kamar belajarnya” Benarkah yang ini? Apakah aku pernah ke kamarnya Frank?
“Maureen Bernard. Karyawati. Informasinya, dia sempat jadi pacarmu. 27 tahun. Rambut pirang, ukuran dada besar, tubuh bahenol”, si babi itu menyeringai.
“Bodoh, Mandez? Kenapa kau gilas dia dengan sedanmu!” Langkah Letnan Philip terhenti. Memandangku lama. Kira-kira beberapa puluh menit. Lalu kemudian dia tersenyum mengejek dan kembali mengamati kertas yang dipegangnya.
“Ohhh… aku lupa, Mandez. Aku lupa. Kau ini bukan manusia. Aku harus sadar kalau kau orang barbar dan biadab. Sungguh aku lupa. Maaf, maafkan saja…”

***
Ya itulah aku. Poertorico Mandez. Lelaki berwajah simpatik, pembunuh besar yang dihujat oleh seluruh penghuni kota Old Story. Terus bergaung dan menjadi isu hangat di kalangan warga Imagine State pun, aku tak perduli. Karena tak perlu ada yang disesali, mansuia selalu hadir dengan keberadaannya masing-masing. Aku pun lahir menurut garis yang ditakdirkan buatku. Tak ada yang perlu dicegah. Semuanya bergerak liar di luar kehendak kita. Bagiku itu saja cukuplah. Aku selalu berbahagia dengan segala kesimpulan yang telah kupertimbangkan.
***
Tak perlu ditangisi juga bila hakim yang agung, bijak dan adil memvonis terdakwa: Poertorico Mandez, dengan hukuman mati. Menjemput ajal di hadapan sebaris regu tembak. Aku tak takut. Bukankah seluruh warga negara Imagine State ini menginginkan nyawaku? Mereka bersorak --- semua begitu menjerit gembira --- begitu vonis hakim dijatuhkan. Sekali-sekali, aku ingin membuat senang orang banyak. Karena aku bangga menjadi pusat perhatian. Karena kini aku bangga jadi sumber kebahagiaan. Tak perlu ucapan selamat tinggal pada mama. Tak ada cucuran airmata dari papa. Karena Jennifer telah jadi seorang pelacur di gang-gang gelap kota Old Story. Dan Dick Mandez, harus terbunuh oleh Richard Done, pacar gelap mama dalam berskandal ria.
Jakarta, 2 September 1996
(Buat makhluk malam di penjuru kota)

* Cerita Pendek ini pernah termuat di Memorandum, 12 Januari 1997.























PADA KEPERGIAN SUAMI*
Cerpen SIHAR RAMSES SAKTI
Pagi-pagi, aku sudah memakai kerudung hitam. Membawa kayu nisan cinta yang bertuliskan nama-nama kita. Ada embun di wajah, di antara airmataku yang menetes. Menutupi nama-nama yang sudah terlanjur samar dan buram. Waktu telah menggerogotinya. Sejarah kasih kita semakin tandas dihapus oleh jejak-jejak hari yang terus bertumpuk jadi rangkaian bulan dan tahun. Aku semakin sadar kalau engkau memang tak akan pernah lagi kembali. Entah dimana kini kau berada, sedangkan kabar berita tak ada yang sempat tertangkap di telinga. Kuputuskan untuk melupakan namamu, suamiku. Walau akan tetap kuhormati sisa lembar masa lalu yang dulu selalu setia menjenguki petiduran kita. Akan kuhayati waktu-waktu yang manis, seperti menghayati keindahan matahari yag berwarna indah di suatu pagi. Lekuk wajahmu terlanjur banyak menyimpan kasih sayang yang menetes di hamparan padang hati, tak akan bisa terlupakan oleh seorang istri yang setia menyimpan rindu dan penantian pada waktu-waktu yang semakin terkepit sepi. Sesungguhnya, aku tetap mencintaimu. Tapi tangis ini telah menjadi hujan yang lenyap terserap oleh pori-pori tanah, dalam rentetan musim kemarau yang panjang. Tak ada lagi yang bisa dijeritkan, sedang suaraku telah disekap oleh waktu-waktu yang semakin ganas memangsa usia-usia kita. Engkau dan aku sudah semakin renta dan lemah menelusuri perjalanan bumi yang seakan tak pernah lelah mengenal dimana ujungnya. Dan kita tak punah di tengah-tengah takdir yang merambah hidup dan nafas kita. Akhirnya cuma ini yang bisa kuputuskan, mengalirkan nama kita berdua pada sebuah sungai masa lalu. Sebab lalu lalang sejarah sudah tak lagi bisa menjadi milik kita. Maryati dan Tardji sudah tidak lagi saling mengenal. Kita bukan lagi suami-istri yang bahagia seperti dulu. Seperti dulu…
***
“Dinda, aku akan pergi berkelana. Akan kupetikkan bintang-bintang untukmu dan untuk anak kita kelak,” kasih Tardji tiba-tiba saja sudah membias di keningku. Kecupan yang mesra di antara cahaya telaga tempat kami bercengkerama. Desa kami memang desa yang tenteram. Disini, jiwa-jiwa manusia yang damai seakan menyatu dengan bening dasar air telaga. Menimbulkan panorama nada di dalam bathin bocah peniup seruling atau atau di bibir orang-orang penjala ikan. Kami selalu riang mengikuti gerak matahari fajar yang berjalan di atas pedusunan, sampai dia menghilang di balik tangan-tangan senja yang datang mendekap. Rata-rata pencaharian penduduk kami berkebun atau menangkap ikan. Tak ada lagi yang perlu kami khawatirkan disini, karena kebutuhan akan makanan sebagai pengisi perut selalu bisa terpenuhi. Penduduk desa Beringharjo tidak pernah ada yang mati kelaparan seperti dongeng-dongeng yang dibawa orang dari kot. Kami semua aman, tenteram dan sejahtera disini. Gembira menyusuri hari, gemah ripah loh jinawi… Sebagai istri, aku tak akan pernah bisa mengerti jalan pikiran suamiku, Tardji. Ingin pergi merantau ke kota, demi membangun mimpi-mimpi yang telah lama dipendamnya. Mimpi-mimpi yang dia dapat dari cerita kawan-kawan yang pernah merantau, tentang gedung yang tinggi, mobil yang mewah dan keluarga yang akan bahagia kalau menetap di kota. Akh, bagiku kebahagiaan keluarga hanyalah terletak dalam jiwa-jiwa penghuninya. Kebahagiaan keluargaku hanya bisa disandarkan pada bathinku, bathin Tardji dan bathin anak-anakku bila mereka lahir kelak.
***
Tiba-tiba Tardji telah menghapus airmata yang bergulir di pipiku. “Jangan, dinda. Jangan kau cemari malam di telaga ini dengan tetesan airmata. Sebab kesedihan bisa jadi kabar buruk buat bagi alam yang sedang bersenandung. Kita larut saja dalam parade hidup ini. akupun pergi cuma sesaat, lalu pulang. Kita akan kembali menelusuri lekuk-lekuk tanah dan udara yang berhamparan di desa Beringharjo. Itu pasti terjadi, dinda. Aku akan pulang, aku janji,” ujar Tardji. Kutatap mata Tardji, kutatap wajah rembulan. Kutatap raut malam yang redup oleh pendaran lampu-lampu rumah penduduk yang tak jauh letaknya dari telaga ini. Tak ada yang bisa kukatakan. Semua sudah dibungkus rapat-rapat dalam selaput bathinku yang ikhlas dan pasrah. Kokok ayam dan jilatan fajar di sela-sela gubuk telah membangunkan penduduk seluruh desa. Telah lama tangan Tardji menarik penghalang pintu, tas anyaman dari daun pandannya sudah tak ada lagi di atas meja. Mungkin telah dia bawa sebagai wadah untuk bekal-bekal perjalanan. Sang Tardji sudah pergi dari desa ini. Entah menuju kemana. Aku tak tahu. Tetapi aku harus menunggunya, dengan batas-batas waktu yang tak jelas sampai kapan. “Relakanlah kepergianku, dinda. Ingatlah namaku seperti mengenang masa lalu kita yang pernah bermain-main di mata hatimu. Sebab penantian itu tak akan pernah sia-sia. Doakan agar aku bisa pulang. Akan aku tebus perjalanan kisah kita yang sempat tertunda. Kita bangun keluarga dengan senyum anak-anak yang manis menghias lembar-lembar harimu. Bersabarlah dinda, bersabarlah…”

Surabaya, 1996

* Cerita pendek ini pernah termuat di harian Memorandum (di Surabaya).























S E R E P R A T O S
Cerpen gatottrirukmiantara
Serepratos, di panggung teater Lubix, kota Heimex
Tadi pagi Serepratos menghampiri Lubix. Ia berkata kepada Lubix bahwa Lubix sudah tidak waras karena Lubix memutuskan jadi untuk menggelar drama tiga babak dengan judul “Prehilomia”. Lubix tak habis pikir dengan sikapnya itu. Padahal naskah drama itu sudah disiapkan sejak dua bulan lalu. Ketika ia tahu bahwa Lubix akan menggelar drama itu besok, ia malah baru datang pagi tadi mengatakan bahwa ia tidak setuju atas pementasan drama itu. Mengatai Lubix lagi. Lubix tidak terima hal itu. Apalagi ia mengatakannya di depan para pemain yang sedang melakukan gladi bersih.
Ia pulang setelah puas mengatai Lubix, memaki Lubix. Bahkan ia meludah ke lantai panggung yang segera dibersihkan oleh para kru panggung. Lubix sampai geleng-geleng kepala melihat sikapnya. Lubix hanya diam. Bagaimanapun ia adalah gurunya. Tidak sepatutnya Lubix melawannya.

Serepratos, rumah sang maestro
(Bahkan seekor kucing menjerit berlari meninggalkan teras rumah Serepratos saat ia tiba)
Ia membanting pintu masuk rumah dan menuju ke ruang baca. Istrinya di sana sedang membaca sebuah buku. Ia bangkit dari duduknya dan menuangkan segelas air untuk Serepratos.
“Lubix benar-benar sudah sinting !!” ia menyahut segelas air putih yang diambilkan istrinya. Premona sudah terbiasa dengan perilaku Serepratos. Segelas air itu diteguk habis seketika. Ia mengusap mulutnya yang basah dengan punggung tangannya.
“Seharusnya ia menuruti perkataanku untuk tidak mementaskan drama sialan itu ! Seandainya penulis drama itu masih hidup, aku yang pertama kali akan mencekiknya. He-eh !” ia mengepalkan tinjunya dengan perasaan geram.
“Serepratos, penulis naskah itu sudah dua ratus tahun meninggal. Kau ini ada-ada saja !” kata Premona yang memilih meneruskan membaca bukunya daripada harus mendengarkan cemoohan Serepratos yang tak akan ada habisnya. Setiap hari Serepratos selalu begitu. Tidak saja Lubix, tapi juga orang lain.
Lalu Serepratos berjalan cepat menuju ruang kerjanya. Rumahnya sangat besar. Di ruangan itu ia habiskan waktu untuk menulis naskah. Kebanyakan naskah drama atau puisi dan beberapa esai. Tapi hanya beberapa naskah drama sempat dipentaskan. Kebanyakan naskahnya sangat aneh dan seperti penilaian sahabatnya, Mederanox, dan beberapa sastrawan lain, naskahnya sangat irasional. Entahlah.

Serepratos, tepi sungai Perli, malam hari, waktu pentas Prehilomia
Serepratos sedang duduk di bangku di tepi sungai Perli yang membelah kota menjadi dua, bagian utara dan selatan. Di seberang sana adalah gedung teater dan saat ini Prehilomia sedang dipentaskan. Terdengar suara riuh rendah tepuk sorai para penonton samar-samar. Rupanya pertunjukan Lubix berhasil menarik perhatian banyak penonton.
“Lubix tak akan pernah kumaafkan !! Mulai saat ini ia sudah tidak kuanggap bekas muridku lagi ! “ gumamnya bersungut-sungut memandangi kejauhan di teater yang terang benderang oleh lampu-lampu. Lalu ia meninggalkan bangku itu.

Prehilomia, ratu dari segala kejahatan (rangkuman dari naskah cerita Prehilomia karya Xuxselo)
Alkisah, putri raja Garneida, Prehilomia menerima kutukan dari ayahnya karena ia membunuh ibunya dengan membubuhi racun dalam gelas minumnya. Ia juga bermaksud untuk membunuh ayahnya. Semuanya karena ia ingin menjadi ratu kerajaan Garneida.
Ia menikam ayahnya dari belakang. Namun sebelum tewas, ayahnya sempat mengutuk Prehilomia bahwa ia akan menjadi ratu tapi bukan untuk rakyat Garneida melainkan ratu dari segala kejahatan di muka bumi.
Kutukan itu berjalan saat Garneida tewas dalam peperangan melawan musuh-musuhnya, kerajaan-kerajaan kecil yang akan ia jajah. Roh Prehilomia tidak melayang menembus keharuman surga. Roh itu melayang-layang dalam bara api yang memancarkan kejahatannya yang sekarang menjelma menjadi ratu kejahatan. Ia masuki kalbu para raja sehingga mereka mengobarkan peperangan tanpa henti. Ia sebar angin kejahatan agar semua umat manusia saling curiga dan saling membenci. Ialah yang kini berkuasa atas kejahatan. Ialah yang mengendalikan hawa nafsu manusia. Prehilomia tidak mati. Tapi ia hidup kembali membawa kebencian dan dendam tak berkesudahan…

Serepratos, pembalasan
Ia membenci Lubix karena Lubix tidak menuruti perkataannya. Naskah Prehilomia itu seharusnya sudah ia musnahkan karena naskah itu menyebar racun yang sangat dahsyat. Xuxselo bukan hanya seorang penulis besar di jamannya. Ia adalah seorang pencuci otak ulung yang telah banyak mempengaruhi orang yang membaca naskahnya dua ratus tahun lalu. Ia ingat tragedi negeri Levronia, Lioxina dan Gadaz. Mengapa perpustakaan kota masih menyimpannya ?
Ia mempunyai rencana. Dan rencana itu harus terwujud malam ini sehingga besok orang sudah dapat membaca tulisannya.

Serepratos, petikan pernyataan
“….drama Prehilomia memberikan angin buruk pada otak kalian. Ia menyengsarakan, menjerumuskan, membuatmu seperti mayat hidup tanpa ada lagi rasa kemanusiaan sejati….”
Lalu ia menyebut-nyebut nama Lubix. Lalu ia mengatakan bahwa Lubix dan semua orang yang terlibat di dalam drama tiga babak itu sudah tidak punya ikatan dengan dirinya lagi.
“…saya perintahkan semua naskah yang masih ada harus dibakar saat ini juga. Peras otak kalian dari kungkungan kekejaman itu. Jantung kalian telah menghitam karena darah kalian telah disusupi makhluk jahat. Begitu juga hati kalian, lebih menghitam lagi…”
Ia terbitkan naskah itu dalam beberapa lembar pamflet yang ia sebarkan di berbagai sudut kota.

Raja Helax, istana kerajaan di Heimex
Di istana, Raja menjadi gusar karena ulah Serepratos. Muncul banyak reaksi dari masyarakat dan para sastrawan. Mereka meminta kepada Raja agar Serepratos ditahan karena itu sudah dianggap meresahkan kehidupan masyarakat.
“Saya perintahkan untuk menangkap Serepratos karena ia telah membuat kecemasan di kerajaan ini. Lakukan sekarang dan bawa ia dihadapanku !!” perintah raja kepada para prajurit kerajaan.

Serepratos, penerimaan hukuman
Ia terbukti bersalah dan dituduh membuat pernyataan provokatif secara terang-terangan kepada rakyat sehingga kehidupan rakyat menjadi tidak tenang. Raja membuangnya di pulau Vilox yang jauhnya tujuh kilometer dari pantai. Serepratos terdiam dan tidak seperti biasanya sikapnya selalu meledak-ledak, ia menerima hukuman Raja. Tanpa memaki, tanpa menyumpah serapah, tanpa meludah di lantai.
Serepratos, pembuangan di pulau Vilox
Ia menyiapkan semuanya. Pena dan tinta serta beberapa lembar kertas. Ia bertekad menyelesaikan naskah itu hingga selesai di hari terakhir pembuangannya tujuh bulan kemudian. Ia bawa naskah Prehilomia dari ruang perpustakaannya bersama naskah-naskah penting lain untuk membunuh waktu di pembuangan.
Tapi tidak untuk naskah Prehilomia. Ia berencana membunuh imajinasi penulis aslinya, Xuxselo dengan menulis ulang karyanya menurut versinya dimana pada akhirnya kekuatan Prehilomia pupus dengan munculnya tokoh Gutreb yang menangkap api jelmaan Prehilomia dan membuangnya di lautan terdalam dan gunung tertinggi tanpa ada manusia satu pun yang dapat membebaskannya.
Serepratos masih menulis di tengah pagi buta…


Surabaya, 25 Agustus 2001























aku bukan pacarmu
Cerpen anissa trias melati
aku bukan pacarmu
anissa trias melati
“aku bukan pacarmu….”
Wanita itu berkata dengan tegas dan cukup keras ,cukup keras untuk di dengar orang yang ada di taman itu tetapi untung saja mereka , orang – orang itu sedang asyik dengan diri mereka masing-masing. Pasangannya seorang lelaki dengan perawakan kurus dengan sedikit jerawat di wajahnya …ia tak bisa dikatakan jelek atau dikatakan tampan sementara si wanita seorang yang cukup cantik dengan bibir tipis ,dan tubuh yang semampai
“aku bukan pacarmu juga bukan kekasihmu” kata si wanita itu sedikit lebih pelan tetapi bertambah tegas dan mantap pria itu menunduk kemudian menatap si wanita sekilas dengan pandangan tak mengerti kembali menunduk… cahaya sore membias di wajah si wanita si pria sempat berpikir betapa cantiknya wanita itu itulah mengapa ia selalu membawa si wanita ke taman itu ketika sore hari Ia selalu menikmati bias warna senja di wajah wanita itu mereka terdiam sementara pria menatap menunduk menatap sehelai daun kering di tanah sepertinya ia gugur baru saja ia tak sempat memikirkan tentang daun itu atau semut yang merayap di atas daun.. sementara si wanita menatap matahari yang hampir terbenam ia selalu bertanya mengapa matahari itu terbenam di barat bukan di utara atau selatan atau mengapa matahari itu harus terbenam …ia tak bisa terima bahwa matahari itu bintang seperti kata guru sdnya ,ia selalu merasa bintang lebih indah dari matahari…itulah mengapa ia ia lebih menyukai malam…
“lalu apa?” si lelaki bertanya begitu pelan ada nada khawatir ,cemas dan sedikit rasa takut
“kau bercanda ,bukan?” ada sedikit rasa takut bercampur harapan …ia masih berharap…
“kita hanyalah 2 orang yang saling bertemu di persimpangan dan sepakat untuk bersama ,itu saja” wanita itu tersenyum ada nada puas dalam suaranya…
“hanya itu?” lelaki itu bertanya dengan nada hampir tak percaya
“kau tak mencintaiku ?” nada pria itu masih menyimpan harap…
“ya ,aku mencintaimu” mata wanita itu masih menatap matahari yang hampir terbenam
“lalu….”
“kau tak mengenalku…kau selalu menyebutku dengan nama yang salah …kau tak tahu namaku…hari ulang tahunku…keluargaku…kau tahu?” wanita itu menjawab dengan tegas si pria mengangkat wajahnya alisnya terangkat dan dahinya berkerut
“bahkan aku pun tak mengenalmu …”
“sebegitu pentingkah itu…”
“ya bagiku …”
“lalu selama ini kau begitu menikmati ketika kita berciuman …bercumbu dan bercinta “
“aku menikmatinya …itu saja bukan berarti aku mencintaimu” angin bertiup ,dingin ,wanita itu merapatkan jaketnya,mengeluarkan rokok dan menyulutnya …mengisapnya…
“sejak kapan kau merokok?”
“kau bahkan tak tahu aku merokok lalu apa yang kau hirup ketika kita berciuman”



TENTANG KENANGAN
Cerpen anissa trias melati
Ia menuliskan nama seseorang di pasir dengan jarinya. Dengan rasa gemetar. Nama yang bahkan dengan mengingatnya pun ia harus menguatkan diri untuk merasa tergetar. Nama yang terus ada dalam ingatannya. Tetapi entah telah hilang dalam waktu. Ia menatap hasil tulisannya. Berjalan menelusuri pantai.sendiri. Menatap pasir. Menatap gelombang. Tiba tiba ia teringat ada yang kurang dalam tulisannya. Entah itu tanda baca. Atau mungkin hurup. Atau kata Atau kalimat. Seperti dulu ia lupa mengatakan sesuatu sebelum nama itu hilang pergi Ia kembali menelusuri yang hilang itu. Mencoba mencari cari tulisan yang dibuatnya. Ia lupa bahwa laut selalu pasang dan surut. Ombak tak pernah tak diam.selalu tergantikan Nama itu hilang tak berbekas. Hanya ada dalam ingatan… Bahwa ia pernah menulis nama seseorang di pasir pantai itu.





























KUPU-KUPU, KELELAWAR
Cerpen Gunanta Tarigan
Ini untuk yang ketiga kalinya ia melepaskan kegelisahan seorang lelaki ke dalam pelukan birahinya. Dari sudut depan ranjang yang berkeringat, pelupuk mataku meneteskan sesal.
“….Engkaukah akhir penantianku ? desahku berharap.
“,…..bukan,……. Aku kenyataan yang kelabu tangkisnya.
Matanya memantulkan cahaya liar dari depan cermin tempat ia duduk mereguk puas.
“….aku terlalu jauh memberimu cinta …” lirihku.
“..aku hanya menghadiri sepi harimu………..…..”lepasnya tenang. Ketenangan seorang pemancing dengan setumpuk ikan di sisi kirinya.
Debarku terhenti dalam satu tarikan nafas panjang pengahalau sesak. Maka seketika akupun tersadar bahwa aku telah akan terjebak dalam petualangan pencarian.

Fikiranku mengembara ke titik awal dimana ia memagari sepiku dengan mata seorang pangeran dan lyric seorang penyair. Ia menghujamiku dengan tatapan penaklukkannya, dan bila ia melumat bibirku dengan sangat sempurna, maka aku kehilangan tempat berpegang. Ia menaburi mawar di sepi hariku. Kami berlomba ke satu tempat di mana aku pernah singgah di sana beberapa kali. Arus yang deras dan desah dedaunan yang liar. Ini sebuah pertarungan tentang kepercayaan atau mungkin pemenjaraan. Ia laksana kuda jantan liar hitam berkilau, dan naluri kewanitaanku mengiringinya. Ajaib,……ia mampu menghadirkan rasa yang belum pernah ku alami sebelumnya. Rasa yang sangat agung dan rahasia.
Ketika aku memeluknya dari belakang di sisi ranjang, kesadaranku tersentak………..aku terpenjara sudah.
Ia meneguk dengan dalam setengan gelas anggur merah, dan hujan pagi hari membuat lingkaran-lingkaran kecil di arus deras sungai. Saat matahari mulai ke barat , aku mengemasi harapku …….tapi mungkin ia tidak. ……..tidak sama sekali. Ia melangkah dengan tergesa-gesa dan aku tertinggal seratus dua puluh angkah.
Ketika hal itu terulang lagi hari ini, justru aku yang makin dalam terpenjara.
“………kau tidak akan pernah merebut hatiku …..!!! tegasnya.
“……aku ingin kau merdeka…”ucapku palsu.
“……engkau adalah kupu-kupu,…….dan aku kelelawar, ucapnya dalam senyum, senyum kemenangan.
“…aku akan mencari diriku di negeri ujung bumi………ucapnya santai.

Setelah 90 kali matahari terbit, ia menggoreskan luka menganga. Tiada tanda akan keberadaannya. Untuk kesekian kali petualanganku diakhiri dengan cara yang sangat buruk.
Hari ini, ketika beribu bintang dan api unggun melahap kayu, maka aku memulai lagi petualangan pencarianku. Bila lelaki itu mulai menghujamiku dengan naluri seorang bayi mencari susu, aku tak menemukan tattoo kelelawar di bahu kanannya.
Gunanta, 16 Nopember 1999 (medan)
Buat Rara
Cerpen anissa trias melati
Ra, ‘ “Ceritakan padaku tentang cinta” ’ Itu yang sering kau kutip dari cerpennya Seno favouritemu yang entah berapa kali kau baca dan kau katakan pada sahabat sahabatmu. Dan sahabat sahabatmu akan bercerita tentang romeo dan Juliet ,tentang sam pek eng tay ,tentang rama shinta ,kamajaya dan dewi ratih . Atau juga sahabatmu akan mengutip puisi ,mungkin Khalil Gibran ,Rumi, Rendra atau mungkin puisinya sapardi yang sangat kau suka. Atau mungkin akan mengajakmu menonton film mungkin Pretty Woman,mungkin Addicted To Love, atau mungkin Ghost . Atau mungkin sahabatmu akan menyanyikan lagu mungkin just for younya Richard Cocchiante ,My Heart Will Go Onnya Celine Dion ,mungkin roman picisannya dewa atau mungkin terlenanya ikke nurjanah. Jika aku yang kau tanya, aku akan bertanya…”Apakah kau tak bosan bertanya ?” Kau akan tersenyum dengan teramat manis kemudian memaksaku ,dan sambil menatapmu aku akan berkata “inilah cinta “kau akan tertawa.
Ra,….. Sudahkah kau temukan seseorang yang bisa kau terima ceritanya tentang cinta ,yang dapat terima artinya tentang cinta? Apakah kau masih setia pada kata katamu dulu ,”aku tak akan berhenti dan lelah bertanya karena tak akan kutemui arti yang tepat tentang cinta.” ? Bertambahkah buku buku tentang cinta di rak bukumu?
Ra, dari begitu banyak sahabatmu yang bercerita tentang cinta maukah kau ceritakan padaku tentang cinta……………?



















Senyum Keabadian
Cerpen chie
Hitam. Mencekam. Kegelapan yang kini kujalani dalam penantianku semakin menusuk relungku. Relung yang tinggal puing terserak dengan berlalunya sang waktu yang semakin enggan mencumbu. Relung jiwa yang meronta meminta keadilan dari sebuah jasad yang tak berdaya. Kepada siapa mesti kusalahkan semua ini. Sang hidupkah? Benarkah Ia pernah salah. Takdirkah? Benarkah Ia yang menentukan jalan ini? Ataukah kepada diriku sendiri yang tak pernah bisa menerima kenyataan ini. Kusentuh wajah ini yang kini penuh dengan air mata kecemburuan. Untuk siapa air mata ini? Untuk diriku sendirikah? Atau hanya untuk membuktikan bahwa sang waktu masih menunggu dan jasad ini masih bersatu dengan kekasihnya. Ruh yang menggeliat dan semakin enggan bersanding lagi. Aku masih ingin terbang. Terbang bersama burung-burung menembus gumpalan awan dan merasakan nafasnya. Dingin namun begitu menyegarkan dan terasa hangat dijiwa. Terbang dengan sayap yang kokoh melihat jalan kehidupan yang penuh dengan hiasan warna dan noda hitam yang ditorehkan oleh sang hidup. Sayap ini masih ingin menyentuh sejuknya mata air hasil buah cinta kehidupan dan panasnya sengatan sang surya saat kemurkaan memancar dari dirinya yang penuh dengan keangkuhan. Jiwa inipun masih rindu merasakan belaian nafas kehidupan yang memancar dari untaian senandung surgawi dan busuknya cacian dari mulut yang tak pernah terpuaskan hasratnya. Kerinduan untuk merasakan manisnya tetes embun cinta dan kerinduan untuk memuaskan hasrat kebencian yang mengekang nurani. Semakin jauh kurasakan kerinduan ini semakin terkoyak luka yang selama ini aku tutupi tanpa mampu kusembuhkan. Sesalkah yang kini tersisa dalam penantian ini? Mengapa? Adakah yang bisa kusalahkan untuk sekedar menutup luka ini, walau hanya untuk sesaat sampai sang waktu menjemput. Tidak ! Inilah hidupku. Hidup yang membedakan diriku dengan siapapun di dunia ini. Jalan inilah yang mesti aku tempuh dan akan kujalani sampai roda kehidupan ini terhenti. Aku akan terus hidup bersama ruh-ku untuk menjalani semua mimpi dan harapan, karena aku yakin keabadian bukan hanya milik sang waktu tetapi juga milik ruh dan jiwaku. Kegelapan ini semakin memikatku, saat tangan ini mencoba meraih cahaya keabadian yang semakin berkilauan. Sayup masih kudengar lolongan anjing yang merintih memohon dewi malam untuk terus bersamanya. Tapi suara itu semakin meredup dan semakin hilang dengan perginya sang dewi oleh arakan awan yang mencumbunya. Satu yang pasti akan kulakukan saat sang ajal menjemputku “ Aku akan tetap tersenyum” senyum kemenangan karena diriku tak lagi rapuh dan tak ada satupun yang dapat memisahkan ruh ini dengan nafas kehidupan. Pelan namun pasti kurasakan jiwaku melayang tinggi, bebas tak terbatas, terbang dan terus terbang dengan sayap yang kokoh menuju cahaya keabadian dan tak ada satupun yang mampu menahannya. Bahkan kanker yang selama ini menggerogoti ragaku sekalipun. Dia cuma noda kehidupan yang tak mampu menghitamkan duniaku dan tak mungkin dapat memisahkan ruh ini dengan kekasihnya yang akan abadi selamanya.
Chie 4 Agustus 2001





SEPANJANG BRAGA
Cerpen Kurnia Effendi
PERASAANKU dibungkus kesunyian luar biasa. Dua jam termangu dalam kamar yang memiliki lebih dari seratus warna dan aroma cat minyak. Ada jendela terbuka ke arah sungai, tempat mengalir udara segar. Termasuk suara belalang dan kerisik bunga rumput. Hanya pada bidang itu, aku tak bisa melukis apa pun. Di seberangnya terdapat langit, yang mudah berubah rona. Hijau daun, merah senja, atau sesekali lintasan burung. Tapi sejak pameran terakhir, jendela itu belum menyumbangkan kegairahan.
Apakah harus menyesal, ketika mendapatkanmu di ruang pameran? Mula-mula yang kulihat adalah punggungmu. Engkau memandang lukisan yang mungkin menyemburkan sejumlah episode masa lalu, tentang hubungan kita yang lebih banyak melalui surat. Separuh dari kenangan itu masih tersimpan, untuk sewaktu-waktu kubaca ulang. Sebagian yang lain menjadi lukisan dalam berbagai ukuran.
“Aku senang kamu sempat datang,”
Kamu menoleh dan memandang dengan rasa bersalah. Seakan-akan perlu undangan resmi, dan ditegur karena berada di tempat yang – barangkali – mustahil.
Galeri Soemardja memang kecil. Dalam sekejap bisa kulihat semua yang hadir hanya dengan memutar kepala. Mereka bukan orang asing. Beberapa dosen, mahasiswa senirupa, dan kawan-kawan yang selama ini demikian dekat. Sehingga tentu segera kukenali dirimu, bahkan hanya dengan hembusan parfummu. Sesuatu yang tak berubah sejak bertemu muka, sekitar lima atau enam tahun lalu.
“Kau memang tidak mengundangku,” katamu, tidak tampak kaget. Kita bergenggaman tangan. Berjuta bingkai diorama berputar. Gambar yang meloncat-loncat. Sejak Braga Permai, Concurrent Jewelery, Kafe Datumuseng, Pantai Losari, Somba Opu, sampai Benteng Fort Rotterdam…
“Padahal, ini hampir semua tentang kamu.”
Engkau menghela nafas panjang. “Aku tahu. Tapi mungkin ini bukan waktu yang tepat buatku.” Kamu seperti ingin menghindar. Mengkhawatirkan sesuatu. Aku pun merasa tak bisa berbuat banyak, meski segera kutangkap tanganmu.
“Kita harus merayakan pertemuan…”
“Maaf, Mas, ini pasti di luar perkiraanmu. Mungkin lebih baik…”
“Please,” kuperkeras genggamanku. “Kau bahkan belum memberitahu kapan datang dan di mana menginap.”
Beberapa kawan muncul silih-berganti, menjabat tangan, mengucapkan selamat. Ini memang hari pertama pameran “Sepanjang Braga” dibuka. Tema yang seharusnya kukonfirmasi kepadamu. Tapi aku bimbang. Hal-hal yang menyangkut perempuan lain bisa jadi aneh dan mengerikan untuk dibahas. Apalagi tentang pelukis dan pecinta lukisan. Aku hampir tak membicarakan dengan isteriku. Padahal perasaanku santai saja jika sesekali kugambar model perempuan telanjang di studio.
“Sepanjang Braga,” kau bergumam begitu aku terbebas dari kawan-kawan. Kilatan cahaya blitz kadang-kadang melampaui kepala kita. Seperti benderang lampu petir yang mengerjap di langit petang, saat kita diguyur gerimis di Jalan Braga. Saat itu, di antara kita belum ada siapa pun. Andaikata dada kita transparan, mungkin terlihat kembang api jingga setiap kita bicara. Karena yang terlompat dari mulut, meski terdengar seperti perdebatan, adalah upaya saling menggosok batu api. Sejak itu, setelah komunikasi terdiri atas berlembar-lembar surat, tumbuh perasaan saling menyayangi.
“Aku akan datang ke tempatmu, apakah nanti malam punya waktu?”
Kau tersenyum. Seperti menyindir. Tapi juga menyiratkan kebijaksanaan. “Seharusnya aku yang tanya, apakah kau punya waktu? Kau tahu, aku belum terikat siapa pun. Setidaknya sampai hari ini. Tapi, it’s okay, kau bisa telepon dulu. Aku menginap dekat Dago Tea House.” Kau memberiku sebuah kartu nama guest house.
Sejak kutulis tentang Chiara, dulu, muncul nuansa lain dalam hubungan kita. Aku merasa: ada seseorang yang juga dekat denganmu. Meskipun tidak kauceritakan, kecuali ketika putus menjelang tunangan, justru setelah aku menikah.
“Aku jatuh hati sejak pandangan pertama,” demikian suratku. “Ia seorang pembaca puisi, pasti memiliki apresiasi yang kuat tentang seni. Beberapa kali kukirimi sketsa, tapi tidak tahu apakah dipasang di kamarnya…”
Waktu ngoceh seperti itu, aku lupa, bagaimana perasaanmu? Seolah-olah engkau ibuku. Terlebih ketika nada suratmu biasa-biasa saja. Bahkan mendorong untuk meraih setiap harapan. “Memang sudah waktunya, Mas. Kudoakan semoga berhasil. Aku yakin, dia pasti cantik.” Cantik memang relatif, seperti halnya lukisan.
Kabarku masih terkirim dengan rentang makin panjang. Lantas lama tidak bertukar kabar. Saat itulah aku kembali suka berjalan-jalan di sepanjang Braga. Tidak dengan Chiara. Seringkali justru bersama Acep Zamzam Noor, Diyanto, atau Tia Lesmana dan Soni Farid Maulana. Di tempat itu, juga di tempat lain, aku ingat kau. Ingat pertemuan yang hanya beberapa hari tapi bagai berbulan-bulan. Ditemani gerimis, jarum air yang menabur rambut kita, dan cahaya senja yang memantul dari dinding pertokoan Braga. Kita pernah berteduh di Majestic, menertawakan pasangan yang mencuri kesempatan dalam gelap bioskop. Rasanya percakapan kita sangat berbeda. Aku suka marah oleh kritikanmu. Belakangan kusadari, semua itu membentuk kekuatan goresan, karakter yang kini dibicarakan banyak orang.
“Bagaimana kabar Baby?” Pertanyaanmu membuyarkan lamunan.
“Oh, ia mulai sekolah. Kelas bermain.”
“Aku masih menyimpan fotonya waktu bayi. Hampir tiga tahun lalu. Betapa bahagianya Chiara. Apakah ia masih sibuk dengan jasa-boganya?”
“Ya, apalagi ini musim menikah. Sementara kau masih sendiri, sejak berpisah dengan pemuda dari bursa effek.” Aku mengambil dua cangkir teh. Kita minum sambil berdiri.
“Bukan keinginanku. Tapi mudah-mudahan itu yang terakhir.”
Terkadang aku kagum padamu, karena tidak serapuh dugaanku. Waktu kau ceritakan patah hati yang pertama, tersirat ungkapan syukur. Sambil menikmati pisang epek di pantai Losari, kita berbagi kisah. Ada semacam keajaiban. Setelah lama saling bersurat, kegiatan budaya mempertemukan kita di Bandung. Catatanmu yang melukai perasaan di buku tamu pameran lukisan, telah memaksaku terbang ke Ujungpandang. Begitu tiba di teras rumahmu, pertanyaan pertama yang muncul adalah: “Bagaimana kabar Braga?”
“Aku sedang menggarap semacam proyek tentang Braga. Rasanya tak akan sempurna tanpa diskusi denganmu.”
Kini, seratus lukisan telah selesai. Seperti yang kujanjikan pada diri sendiri. Hanya Chiara dan Baby yang jadi saksi prosesnya. Atau satu-dua kawan dekat. Aku memang mengerjakannya setengah diam-diam.
“Oke, aku pulang dulu,” katamu, sambil mengambil selembar katalog dan memasukkan ke dalam saku blazer.
“Tidak mengikuti diskusi? Pak Pirous dan Bang Hardi yang bicara.”
Kamu menggeleng. “Aku banyak urusan,” tersenyum dan pergi menjauh. “Jangan lupa, telepon dulu.”
Kulambaikan tangan, sebelum bergabung dengan peserta diskusi di ruang Bulu Domba. Seorang moderator mendekat, mengkonfirmasi biodata. Sepuluh menit kemudian acara berlangsung, dan baru berakhir pukul dua. Semalam aku hanya tidur sekitar tiga jam. Akumulasi keletihan itu sangat terasa begitu sampai di rumah.
Rupanya aku menyimpang dari perjanjian. Selepas petang kukatakan pada Chiara: seorang wartawan asing ingin berjumpa di Dago Tea House. Aku langsung melaju ke penginapanmu. Di ruang tamu yang temaram, kau main piano sendirian. Baru kali ini, sepanjang kita kenal, kulihat kau mengenakan baju tidur warna pastel.
“Kenapa tidak telepon dulu, Mas?” tanganmu terangkat dari tuts piano.
“Apa bedanya? Toh kau ada di tempat.” Aku membanting diri di sofa.
“Kita mau bicara di sini atau di kamar?”
“Apa bedanya? Yang penting isi pembicaraannya, bukan tempatnya.”
Tapi sebuah dorongan bawah sadar membawa langkahku ke dalam kamar. Kau hendak ganti baju yang pantas untuk menerima tamu. Namun peristiwa yang berlangsung kemudian berbeda. Sangat berbeda. Sungguh di luar seluruh pikiran-pikiran kita selama ini. Ke mana jalinan persahabatan itu?
Mungkin ini percintaan paling panas. Kita bagai berenang di antara ombak biru, di bawah matahari tropik, dengan angin pesisir yang berarak-arak. Pulau yang ditempuh masih jauh di ujung cakrawala. Timbul-terbenam, diayun buih samudera. Kita memburu dan mengejarnya, ingin meraih. Namun perjalanan bagai tak hendak selesai sampai nyaris tenggelam, dan tiba-tiba kudengar lengking panjang. Kutangkap tanganmu, matamu terpejam dengan kelopak bibir terbuka, tersenyum. Wajahku terasa hangat dan basah kuyup…
Tangis itu terdengar lagi. Tapi bukan dari mulutmu. Suara itu dekat dengan telinga, membuatku terjaga. Aku terperanjat menangkap warna-warni lukisan.
Ya Tuhan, ini mimpi! Tapi wajahku benar-benar basah dan hangat. Dalam keremangan senja, celah jendela memberikan sedikit cahaya. Kulihat Baby terisak dengan mata masih terpejam.
Anakku ngompol! Kucoba mengingat asal-usul kejadian ini. Ya. Keletihan membuat aku tergeletak di atas karpet – satu-satunya tempat dalam studio yang bebas tetesan cat. Sebelum lelap, Baby memanggilku, mendekat dan berbaring dekat kepala.
Astaga, jam berapa ini? Aku punya janji denganmu! Apa yang baru kita lakukan dalam mimpi? Kugunakan T-shirt untuk mengusap pipis Baby di wajah, sebelum kubangunkan dia. "Kenapa ngompol lagi, sayang? Ayo kita mandi.”
Kulihat Chiara sedang menerima telepon di ruang tengah. Ia memberi isyarat dengan tangannya. Aku mendekat. “Ada seorang kolektor Filipina hendak memborong semua lukisanmu. Mau langsung bicara dengannya?”
Kesadaranku belum pulih benar. Tapi ini mengejutkan. Sekaligus terdengar mustahil, seperti mimpi yang baru saja berakhir. “Aku akan menelepon kembali, minta nomornya. Lihat! Baby ngompol.”
Chiara tertawa sebelum memasang kembali gagang telepon ke telinganya. Sepanjang siraman air shower, berdua Baby, aku belajar percaya kabar aneh itu. Seorang kolektor memborong seluruh koleksi “Sepanjang Braga”! Apa katamu nanti? Chiara seharusnya tidak hanya berunding denganku, tapi juga denganmu. Tapi, apa itu mungkin?

MALAM telah larut ketika akhirnya aku menemukan suaramu di telepon penginapan. “Ke mana saja?” Aku kesal. Tapi bukan hakku untuk memintamu tetap berada di tempat yang aku mau.
“Sorry, Mas. Seseorang mendadak mengajak makan malam. Aku memang tidak menelepon, karena satu dan lain hal. Aku ingin bahagia, seperti juga kau, Mas. Dan kebahagiaan kita tidak perlu mengganggu kebahagiaan orang lain.”
“Aku mencarimu. Pertama, karena janji tadi siang. Tapi ada yang lebih penting. Seluruh lukisan “Sepanjang Braga” dibeli seorang kolektor. Aku… aku bahkan belum pernah mengenal orang itu.”
“Lalu?”
“Aku harus minta ijinmu. Sebelum kupikir bahwa ini sesuatu yang hampir tidak masuk akal. Koleksi itu seharusnya tidak pernah dijual.”
“Itu tidak rasional, Mas. Apa kata Chiara nanti?” Benar katamu. Jika seratus lukisan itu hanya untuk disimpan, akan menimbulkan pertanyaan dan layak diusut. Berapa puluh juta rupiah investasi dan waktu yang tertimbun di dalamnya?
“Ini memang pilihan yang sulit.” Aku mengeluh.
“Tapi, benarkah kau hendak meminta ijinku?” tanyamu untuk meyakinkan.
“Tentu. Aku tak ingin melakukan kesalahan dua kali.”
“Jangan merasa bersalah, karena memang tidak bersalah.”
“Setelah seratus lukisan itu terjual, aku mungkin tak punya lagi kenang-kenangan itu. Cobalah mengerti perasaanku.”
“Aku sangat mengerti perasaanmu, Mas. Pertanyaanku, benarkah kau meminta ijinku?” tanyamu manja.
“Ya.”
“Aku seratus persen mengijinkan, Mas. Aku tak keberatan kau menjual semuanya. Tapi sebaiknya kau bertemu dengan pembelinya, sebelum ia membawanya pergi. Pameran masih berlangsung tujuh hari lagi, bukan?”
Aku terdiam. Bukan oleh suara gerimis di luar. Aku merasa pilu mendadak. Sangat tidak menduga, engkau merelakan nostalgi tentang kita dibawa orang. Kita tak punya apa-apa lagi. Mungkin aku menyesal telah memasang price list dalam katalog.
“Mas, boleh aku tidur? Besok aku harus pulang ke Ujungpandang.”
“Secepat itu?” Aku terkesiap. Putus asa. “Aku jadi ragu. Kenapa kau…” Kupikir aku lebih cengeng dibanding perempuan mana pun di dunia. Kau, pemilik separuh kenangan, sudah tidak mempersoalkan hal-hal yang sentimentil. Mengapa aku bertahan pada ilusi yang hanya mirip guratan nama di daun kaktus? Atau pada poci keramik yang kelak retak seperti kata Goenawan Mohamad?
“Aku minta maaf,” katamu berbisik.
“Ya,” tak ada lagi yang harus dibicarakan. Kututup telepon dengan kecewa.
Kuhampiri Chiara yang meringkuk di ranjang. Kuletakkan badanku pada sprei yang masih rapi, telentang, memandang langit-langit. Tubuh di sampingku berbalik. Dalam ketidaksadaran ia mendesakkan wajahnya ke leherku. Dan kupeluk sebuah kenyataan.
Barangkali tak pernah kupejamkan mata sampai pagi datang. Aku menjadi sedikit pendiam, namun tidak menarik perhatian Chiara. Sehabis sarapan, telepon berdering, dan Chiara mengatakan tentang kolektor Filipina itu. Aku hanya memberi anggukan, tanda setuju.
Selesai bicara, wajah Chiara berseri-seri. Ia menciumku dengan hangat. “Hampir setengah milyar! Empat ratus delapan puluh enam juta, setelah dipotong PPh.” Ia tidak merasakan, alangkah hancur hatiku. Tapi buat apa? Aku tidak ingin merana sendirian. “Ia bilang, nanti siang ditransfer. Lukisan akan dikemas hari Minggu, setelah penutupan. Baby…! Baby…! Ayo beri selamat kepada Ayah!”
Gadis kecil itu meloncat ke pangkuan. Kupeluk dia dan seolah-olah aku mendapatkan pengganti dari semua yang hilang.
Chiara pamitan ke kantor, Baby berangkat ke Tadika Puri. Aku terdiam di kursi, mendengarkan rekaman Tony Prabowo. Membayangkan gelas-gelas yang ditabuhnya pecah berkeping-keping. Menggambarkan perasaanku. Aku terbius. Sampai kudengar teleponmu dari bandara.
“Sepuluh menit lagi aku berangkat. Sorry, aku memang tak ingin diantar. Aku tinggalkan kartupos dan undangan di receptionist galeri. Apa rencanamu hari ini, Mas?”
Nada suaramu menunjukkan kelegaan, bahkan kegembiraan. Sungguh ganjil, atau menyakitkan? Membuatku meradang: “Apa yang kautulis dalam kartupos itu? Banyak orang bisa membacanya!”
“Yang paling kaucemaskan pasti jika Chiara melihatnya, bukan?” Kudengar kau tertawa, di antara gemuruh suara pesawat yang landing. Aku merasa baru mengenalmu. “Aku cuma memberitahu bahwa “Sepanjang Braga” sudah jadi milikku. Seluruhnya, Mas! Feliciano membelinya untukku, sebagai maskawin, atau kami tidak menikah sama sekali. Kaget? Maaf, aku tak mungkin bilang dari awal, karena aku sulit melupakanmu. Aku hanya ingin semuanya beres, sejak kubaca berita budaya di koran. Pameran itu pasti untukku, tanpa kau memberitahu…”
“Ya, Tuhan…” Aku terperangah.
“Benar, itu memang kehendak Tuhan. Itulah sebabnya aku harus segera pulang ke Ujungpandang, untuk menyiapkan pesta sederhana. Aku tak boleh ingkar dan menyakiti hati Feliciano. Semua syarat telah dia penuhi.”
Bagai ada segelas embun yang melintas ke tenggorokan. Mungkin aku benar-benar kehilangan kamu. Tapi tidak kehilangan “Sepanjang Braga”.
“Kau sudah mempersiapkan sejak lama, bukan? Undangan pernikahan tak mungkin dibuat secepat itu.”
“Benar. Maksudku, undangan itu hanya berupa print-out yang kubuat di sekretariat FSRD. Kalau hal itu membuatmu tidak datang, aku mesti bilang apa? Oke, tampaknya aku harus masuk pesawat. Salam untuk Chiara dan Baby.”
Seminggu setelah teleponmu itu, kupasang kanvas baru. Menyiapkan semua botol cat, kuas, dan minyak pengencer. Tapi, telah dua jam aku di sini: pada sebuah kamar yang memiliki lebih dari seratus warna dan aroma cat. Dalam keadaan ngungun. Perasaanku dibungkus kesunyian luar biasa.

***

Jakarta, 99-01


Jakarta, 23 April 1999


















PAS BAND TENTANG RASA SAKIT
Cerpen anissa trias melati
Mereka bertatapan dengan mata yang berapi api yang kemudian meredup dan layu seperti sebuah lilin yang ditriup dan hilang tanpa asap bahkan tanpa bara. Entah apa awal mulanya mereka bisa ada disana dan berhadapan dalam jarak Cuma beberapa senti ,mereka mempunyai pikiran yang sama ,mereka menyesali kenapa mereka harus mengambil jalan yang itu dan kenapa ia tidak ke jalan lain. Dua lelaki ada di jalan sama ,bertemu di jalan yang sama. ………….sementara engkau pergi dengan membara di hati………………*) dua lelaki yang berbeda ,tujuan yang berlawanan ,berhadapan tanpa kata kata,sama dalam tanya……..kenapa dulu kau………….? Tanpa jawab dan tanpa kata………….. Dua lelaki masih saling bersitatap. Dengan hati yang menganga tertoreh........ Tanya yang sama……………. Kenapa dulu harus ada ……….? Matahari yang menyengat seperti menghentikan waktu…… dan angin mengalir membawa waktu…….. dua lelaki berjalan ke arah lawan mereka ……. Tanpa sentuh …….. Tanpa kata ……. Tanpa jawab…….. Masih dengan tanya yang sama….. Kenapa kau masih…….? Dan dengan sesal yang sama……. Maaf tanpa tak terucap………. Atas sebuah khianat di suatu waktu dulu….. Atas sebuah kepercayaan………………………………. Mereka ingin berbalik ………… Tetapi torehan itu semakin dalam………………
*)dengan ingatan pada “sobat”nya iwan fals

Comments (0)

Posting Komentar