pelantikan dan raker

Posted by | Posted on 04.32


tugas juga

Posted by | Posted on 04.28

NAMA : ANDI ASWIRMAN
NIM : E12109003
MATAKULIAH : KEPEMIMPINAN DALAM PEMERINTAHAN
KEPEMIMPINAN PANCASILA
Kepemimpinan pancasila adalah kepemimpinan yang berdasarkan pada kebijakan dalam suatu permusyawaratan. kepemimpinan yang dapat melanjutkan perjuangan untuk mengisi kemerdakaan bangsa Indonesia dengan pembangunan yang makin meningkat dan bermutu. Untuk memunculkan pemimpin-pemimpin unggul Bangsa Indonesia, perlu diuji, dilatih, dibina , dicoba , didewasakan dan dikembangkan kepemimpinan nya. Pemuda-pemudi yang berwawasan jatidiri bangsa, cinta tanah air, patriotisme , pantang menyerah, berjiwa kejuangan Pancasila dan UUD 1945 serta watak kokoh kuat, perlu ditemukan, dan dipersiapkan. Pemuda-pemudi yang ber-Citra Indosensia, bercitra khas Ibu pertiwi.. Kepemimpinan Pancasila adalah kepemimpinan khas bangsa Indonesia. Ciri Kepemimpinan Pancasila adalah, Penilaian dan dalam pengabdiannya. Penilaian keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan ini tidak dinilai didunia saja, tetapi juga dinilai di akherat. Maka moral kepemimpinan ini tidak hanya berhadapan dengan masyarakat didunia, akan tetapi berhadapan pula dengan Tuhan Yang Maha Esa di akherat.
SOSIAL BUDAYA
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing. Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat.
IMPLEMENTASI KEPMIMPINAN PANCASILA TERHADAP SOSIAL BUDAYA
Mencegah Disintegrasi Nasional.
Apabila pemahaman Pancasila sebagai ideologi negara tidak ditingkatkan dan tidak diimplementasikan, maka akan dapat terjadi fenomena sebagai berikut :
A. Pembuatan peraturan perundang-undangan tidak memperhatikan keterkaitannya dangan nilai dasar Pancasila, sehinga terjadi tari menarik antar pihak yang berkepentingan sesuai organisasinya, dan tidak lagi berorientasi kepada kepentingan bangsa dan negara.
B. Masuknya subtansi budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa kedalam berbagai aturan atau perundang-undangan nasional, tanpa memperhatikan nilai-nilai dasar Pancasila
C. Kendornya nilai-nilai kekeluargaan, semangat gotong royong, tenggang rasa, norma susila, kesopanan dan adat istiadat bangsa..
D. Munculnya sikap primordialisme, dimana sikap ini berwawasan sempit dan isolatif serta hanya mengutamakan kepentingan asal usul kelompoknya saja, seperti dinasti, ras, suku, golongan, daerah dan agama, yang sangat bertentangan dengan Pancasila.
Semua hal-hal tersebut diatas akan dapat mengurangi ketangguhan bangsa Indonesia dalam membangun masyarakat. Bangsa dan negara sesehingga dapat memecah belah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Siapapun yang menjadi pemimpin pada saat ini pasti akan menghadapi atau menerima situasi yang sangat sulit dalam menata bangsa ini. Sudah menjadi kewajiban semua komponen bangsa ini untuk membantu para pemimpin bangsa ini dengan melakukan upaya politik tentang Pancasila.
Pembangunan politik, keamanan, ekonomi, sosial, budaya, dan beragama harus didasarkan pada pemahaman terhadap Pancasila sesuai dengan situasi yang sedang berjalan. Rezim dalam suatu orde yang sedang berkuasa, cenderung menganggap tidak baik, menyingkirkan, bahkan menghancurkan apa saja yang berbau orde sebelumnya. Kini, mulai ada yang mempertanyakan Pancasila sebagai dasar sistem kenegaraan setelah Indonesia dalam kondisi terpuruk sekarang ini. Sementara itu proses implementasi Pancasila sekarang ini belum tergarap serius dan terumuskan secara konseptual.
Sebenarnya, dalam hal sikap konsistennya terhadap falsafah bangsa dan ideologi negara, pemerintahan Soekarno dan pemerintahan Soeharto memiliki kemiripan. Pancasila adalah pilihan satu-satunya yang dianggap ideal. Bedanya, dalam pemerintahan Soekarno yang diperingati tiap 1 Juni adalah hari kelahirannya. Dalam pemerintahan Soeharto yang diperingati adalah hari kesaktiannya, tiap 1 Oktober. Keduanya merupakan manifestasi sikap konsisten tersebut.
Proses implementasi dalam kedua masa orde tersebut memiliki kemiripan. Dalam era dua pemerintahan itu telah lahir kader-kader bangsa yang meyakini peran Pancasila sebagai bingkai kebangsaan dan perekat identitas nasional lewat proses pendidikan dan pelatihan. Proses inilah yang kemudian dianggap indoktrinatif dan sloganistik oleh generasi penerusnya.
Jika demikian persoalannya, bukan sistem kenegaraan yang berdasarkan Pancasila yang harus diganti, tetapi proses yang dianggap indoktrinatif dan sloganistik itu yang harus dibenahi. Namun, harus diingat, proses implementasi dan pensosialisasian suatu falsafah bangsa dan ideologi negara tidak sama sebangun dengan proses pembelajaran mata pelajaran di sekolah, dan tidak cukup hanya lewat proses pendidikan formal. Falsafah bangsa dan ideologi negara juga harus dipahami dalam konteks kebangsaan. Itu berarti Pancasila sebagai dasar sistem kenegaraan, harus dipahami perannya sebagai bingkai pluralitas dan modal utama integrasi nasional. Pemahaman ini harus ikut mewarnai proses implementasi dan pensosialisasian yang diterapkan.
Bukan mustahil berkat pemahaman seperti itulah pemerintah Soekarno maupun pemerintah Soeharto menerapkan cara-cara yang mirip, suatu cara yang kemudian dianggap indoktrinatif dan sloganistik. Tidak selalu rezim yang tergulingkan, semuanya selalu jelek dan harus disingkirkan. Tidakkah harus disingkap problem yang ada, masalah kulit luar atau persoalan isi, soal prinsip atau masalah teknis. Tidak semua cacat dan borok pemerintahan terdahulu hanya akibat proses implementasi dan pensosialisasian Pancasila yang mereka terapkan.
Perumusan cara implementasi dan pensosialisasian yang akan diterapkan terasa sangat mendesak sekarang ini. Pancasila harus menjadi bingkai kebangsaan dan perekat identitas nasional sebagai daya ketahanan kita dalam era global. Tanpa ketahanan kokoh, bangsa Indonesia bukan hanya tidak mampu bersaing, tetapi juga terlempar dari percaturan global.
Di dalam negeri tantangannya juga tidak kalah besar. Kecenderungan warga bangsa ini yang menatap persoalan lewat kacamata sempit, kacamata kedaerahan atau agama sendiri, misalnya, merupakan kendala segera terwujudnya Pancasila sebagai bingkai kebangsaan dan perekat identitas nasional. Guna merumuskan proses implementasi falsafah bangsa dan ideologi negara, kita bisa belajar dari para pendahulu kita. Yang baik dikembangkan, yang buruk ditinggalkan. Kehadiran rumusan itu sudah sangat mendesak. Beberapa hal yang penting diperhatikan didalam upaya implementasi Pancasila adalah, sebagai berikut:
1. Meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya laten.
Di era reformasi, masyarakat cenderung kurang peka dan peduli terhadap ancaman ideologi bangsa, karena mereka lebih mementingkan kebutuhan ekonomi dan mengatasi kesulitan hidup sehari-hari. Selain itu, berkembang kecendrungan menafsirkan reformasi, dengan segala macam dapat diperbolehkan, termasuk yang ekstrim mengembangkan ideologi liberal dan komunis dianggap sah-sah saja. Kondisi seperti ini perlu mendapatkan penegasan aparatur pemerintah, karena bila hal tersebut berkembang, maka kewaspadaan masyarakat terhadap ancaman ideologi liberal dan ideologi komunis serta ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila akan menurun. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah strategi dengan induksi yudikatif, sosialisme untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan ancaman Pancasila dan bahaya laten komunis.
2. Merumuskan Kebijaksanaan Pemerintah tentang implementasi Pancasila.
Seminar Nasional HUT Lemhanas tahun 2003, telah menyepakati bahwa kita perlu mereformasi kepemimpinan (leadership) dan meningkatkan wawasan kebangsaan untuk mengatasi permasalahan bangsa. Kelemahan sistem nilai inilah yang menyebabkan lemahnya kondisi antar lembaga instansi dan ORMAS/ORPOL dalam upaya memasyarakatkan dan menanamkan ideologi Pancasila di masyarakat. Oleh karenanya diperlukan kebijakan dari instansi yang berwenang, sehingga dapat mendorong upaya sosialisasi Pancasila di bidang pendidikan dan gerakan untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya ideologi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa serta bernegara.
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara tidak perlu dipersoalkan, sedangkan yang harus menjadi ijtihad politik hanya sebatas pada upaya mencari kesepakatan tentang paradigma yang akan digunakan untuk memahaminya. Pada masa Orde Lama, Bung Karno memahami Pancasila dengan USDEK dan pada masa Orde Baru, Soeharto memahaminya dengan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Pada masa Orde Reformasi sekarang belum ada pengganti paradigma untuk memahami Pancasila seperti pada masa orde sebelumnya.
3. Meningkatkan keteladanan pemimpin dalam implementasi Pancasila.
Maraknya KKN (Korupsi, kolusi dan nepotisme) yang telah merusak sendi-sendi kehidupan bangsa merupakan salah satu faktor yang menghambat pemulihan krisis multi dimensional bangsa Indonesia. Untuk itu perlu, mencari solusi yang tepat untuk mengatasi segala permasalahan bangsa. Salah satu alternatif mendorong terampilinya kader pemimpin yang berani tampil sebagai teladan bagi masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Keteladanan para pemimpin, terutama para pemimpin yang sekaligus sebagai penyelenggara negara, akan berdampak positif pada upaya untuk mengurangi KKN. Hanya pemimpin yang bermoral dan etika yang tinggi, yang mampu tapil sebagai teladan. Oleh karenaya, perlu upaya penanaman dan pengembangan etika dan moral bagi pelajar, pemuda dan mahasiswa sebagai kader kepemimpinan nasional dimasa depan. Disisi lain, keteladanan hanya dapat berkembang dengan baik, bila para elit bangsa, memmpunyai kemauan yang keras dan tinggi untuk mengembangkan etika dan moralnnya. Etika dan moral yang dikembangkan oleh bangsa Indonesia adalah implementasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

4. Meningkatnya Pemahaman masyarakat pada Pancasila.
Pancasila sebagai ideologi negara, falsafah bangsa dan dasar negara, di era reformasi ini cendrung ditanggapi “sinis” oleh sekelompok masyarakat. Kondisi ini terjadi karena kurangnya pemahaman terhadap Pancasila. Disisi lain kebijakan publik yang ada, dirasakan masih banyak yang belum berpihak kepada rakyat kecil. Sebagai contoh, kebijakan penataan dan penertiban di Jakarta, dengan praktek “penggusuran”, dirasakan oleh masyarakat sebagai tindakan yang kurang mencerminkan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Walaupun hal tersebut dilaksanakan untuk menegakkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, agar dikemudian hari seluruh perundang-undangan yang berlaku dapat menjadi wujuddari implementasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Kondisi tersebut dapat terwujud, apabila pemahaman terhadap Pancasila sudah berkembanng dikalangan masyarakat dan para penyelenggara negara.
Implementasi Pancasila yang diharapkan akan mampu memecahkan permasalahan bangsa, namun sekaligus memerlukan kondisi pendukung dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
5. Peningkatan pemahaman semua Komponen Masyarakat terhadap ideologi Pancasila.
Pemahaman merupakan suatu kondisi awal yang sangat penting agar tiap warga negara mampu mengamalkan Pancasila dengan benar. Tanpa pemahaman yang benar, maka proses berpikir, ucapan dan tindakan tiap warga negara, berkaitan dengan kepentingan pembangunan dapat menjadi salah arah, bahkan dapat mengganggu pembangunan Nasional yang pada akhirnya akan memperlemah persatruan dan kesatuan bangsa.
Kualitas pemahaman individu para penyelenggara negara diharapkan akan semakin tinggi, dengan meningkatnya tugas dan tanggung jawab ybs. dalam kegiatan kenegaraan. Pemahaman tersebut juga diharapkan meningkat, mencakup prosentase yang cukup besar untuk tingkatan Pimpinan, midealnya formal maupun informal, dan dapat dijaga kondisi pemahamannya walaupun dengan menurunnya tugas dan tanggung jawab yang bersangkutan. dalam kepentingan Pembangunan Nasional dan aktivitas kenegaraan.
Pelaksanaan P4 yang dilakukan pada masa orde baru yang lalu, terkesan dilakukan dengan pola indoktrinasi, sehingga timbul reaksi negati dari peserta P4 yang menciptakan suasana yang kurang kondusif. Mengacu pada pengalaman tersebut, maka proses peningkatan pemahaman yang direncanakan, perlu dirancang sedemikian rupa, agar terhindar dari kesan indoktrinasi.
6. Internalisasi Keyakinan atau Pembudayaan terhadap Pancasila.
Proses pemahaman Pancasila, perlu dilakukan sedemikian rupa, sampai pada tingkat dimana bukan hanyasekedar paham, namun juga tumbuhnya keyakinan pada warga negara bahwa Pancasila adalah falsafah dan nilai-dasar bangsa yang sesuai untuk bangsa Indonesia, mampu acuan arah dan pendorong pembagunan Nasional dan mampu menjadi penguat persatuan kebangsaan.
Kualitas internalisasi pada individu, diharapkan dimulai dari penerimaan atas ideologi Pancasila, kemampuan pengendalian diri, sampai pada kondisi, dimana tumbuhnya motivasi kuat untuk mengamalkannya. Tingkat keyakinan tersebut juga diharapkan dapat membangun kekuatan internal individu, sehingga individu yang bersangkutan mampu melakukan seleksi dengan benar atas pengaruh dari luar, mengambil pengaruh positif dan menolak pengaruh negatif.

tugas pempolak 2

Posted by | Posted on 04.27

NAMA : YUSUF DJABBAR
NIM : E12108510
TUGAS PENGGANTI MID
PEMERINTAHAN DAN POLITIK LOKAL

Analisis Teori Strukturasi Giddens (Kasus Pedagang Pasar Keputran Kota Surabaya)

Di berbagai kota termasuk Surabaya selalu tak pernah luput dari tumbuhnya pedagang kaki lima (PKL). Eksistensi dan keberadaan PKL seakan sebagai anak kandung sebuah kota. Di manapun PKL tak dapat dipisahkan dengan sebuah kota. Di kota-kota kecil, sedang apalagi besar PKL selalu tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan kota itu sendiri. Semakin besar suatu kota maka semakin menjamur dan berkembang pedagang kaki lima-nya. Fenomena pedagang kaki lima tidak saja terdapat di negara-negara dunia ketiga atau sedang berkembang tetapi juga di kota-kota negara-negara maju.
Kota Surabaya yang merupakan terbesar kedua setelah Jakarta tidak dapat menghindari tumbuhnya pedagang kaki lima (PKL). Di berbagai sudut jalan di kota Surabaya dengan mudah dapat ditemui rombong-rombong untuk berjualan. Kalau tidak menggunakan rombong tidak sedikit pedagang kaki lima menggelar dagangannya baik di trotoar maupun di jalanan. Beberapa contoh dapat disebut, misalnya jalan Tunjungan, Kapasan, Gembongan, perempatan jalan Diponegoro, Girilaya dan dari jurusan pasar kembang, depan stasiun Wonokromo, jalan Pahlawan dan di tempat-tempat lainnya semakin hari semakin meluas. Bahkan konon pasar Simo Gunung yang berada di jalan Banyuurip pernah disebut tempat pedagang kali lima terpanjang di kota ini.
Seiring dengan dengan berjalannya kehidupan kota aktifitas pedagang kali lima yang semakin tak terkendali. Tanpa disadari telah banyak mengganggu warga kota lainnya yang juga berhak menikmati kenyamanan. Jalanan menjadi macet, kawasan menjadi kumuh dan warga sekitar tempat menggelar dagangan merasa dirugikan. Terganggunya warga sekitar jalan Banyuurip misalnya dapat disebut sebagai contoh bahwa aktifitas pedagang kaki lima sering membuat kesal karena pedagang membuang sampah sembarangan. Akibatnya bau busuk menyengat hidung dan ketika hujan turun maka banjir menjadi keniscayaan.
Hasil penertiban terhadap pedagang kaki lima (PKL) di kota Surabaya selama bulan februari tercatat sebanyak 103.993 yang berhasil ditertibkan dan sebanyak 53.058 yang membongkar sendiri tempat usahanya. Merujuk dari hasil penertiban pada periode februari 2002 terlihat paling tidak di kota Surabaya minimal terdapat sebanyak 157.051 PKL. Jumlah ini barangkali masih lebih kecil dari jumlah sebenarnya. Karena di beberapa tempat mungkin masih lolos dari kegiatan penertiban, terutama di jalan-jalan yang berada di luar 21 (dua puluh satu) jalur lalu lintas yang ditetapkan dan dijadikan sasaran penertiban (hasil-hasil penertiban bulan februari dan april 2002).
Sebelum dan sesudah penertiban, jalan Pahlawan adalah kawasan lain yang dikuasai oleh pedagang kaki lima. Di jalan ini semakin banyak jumlah pedagangnya terjadi pada waktu hari minggu atau hari libur. Pada hari-hari seperti ini hampir semua ruang jalan Pahlawan penuh pedagang yang mayoritas berjualan pakaian. Akibatnya lalulintas di jalan ini biasanya lumpuh, tidak bisa lagi dilewati. Sementara pada hari-hari biasa masih agak longgar karena hanya separo badan jalan yang dipergunakan berjualan. Namun demikian tak jarang lalulintas di jalan Pahlawan sering macet karena memang volume di kawasan ini tergolong padat kendaraan. Menurut data penjaringan kecamatan pada bulan Mei 2001, jumlah pedagang di di jalan pahlawan sekitar 600 orang. Sementara itu pada tahun 2002, jumlahnya meningkat cukup besar. Pendataan pada bulan juni 2002 ditemukan data bahwa di jalan Pahlawan jumlahnya mencapai sebanyak 1.041 pedagang.
Jika di jalan Pahlawan dipenuhi pedagang yang sebagian besar berjualan pakaian, lain lagi dengan jalan Tunjungan. Di jalan yang merupakan akses jalan utama di kota Surabaya ini sebelum penertiban besar-besar awal bulan februari 2002 sempat mendapat julukan glodoknya Surabaya. Hampir semua pedagang kaki lima (PKL) yang berada di jalan Tunjungan terutama di seputar depan pusat pertokoan Siola adalah penjual video compact disc (VCD). Di kawasan jalan Tunjungan menujukkan bahwa jumlah PKL Tunjungan melonjak sangat tajam pada tahun 2001. Sebelum puasa diperkirakan hanya sebanyak 240 PKL, sementara setelah lebaran melonjak menjadi 400 PKL. Data terakhir pada akhir tahun 2001 menunjukkan antara 700 sampai 1.000 PKL. Menurut data resmi yang di himpun lewat penjaringan informasi kecamatan pada bulan mei 2001 jumlah pedagang yang berada di kawasan jalan Tunjungan sekitar 800 pedagang.
Semakin tumbuh dan berkembangnya PKL berakibat semakin banyak fasilitas publik seperti jalan dipergunakan untuk tempat berjualan. Tidak sedikit ruang jalan di kota Surabaya ini yang berubah fungsi tidak lagi menjadi tempat berlalulintas transportasi tetapi telah berubah menjadi pasar. Sementara pasar sendiri ada yang berubah fungsi menjadi tempat tinggal tidak lagi memiliki arti pasar sebagai arena jual-beli bagi penjual dan pembeli. Seperti pasar Keputran yang memiliki dua lantai telah berubah fungsi, terutama pada lantai dua. Di lantai dua ini yang terdiri dari 245 kios telah berubah menjadi tempat tinggal dalam arti sebenarnya, bukan dalam arti hanya sebagai tempat istirahat dikala lelah berjualan. Tidak sedikit kios yang telah berubah fungsi seperti rumah yang dilengkapi dengan alat-alat keperluan rumah tangga seperti almari, alat dapur, tempat tidur bahkan ada stand yang dilengkapi meja kursi layaknya sebagai ruang tamu.
Sementara itu pada pedagang memiliki berjualan di lantai satu dan di jalan-jalan sekitar pasar Keputran. Semakin hari perkembangan jumlah pedagang yang berjualan di jalan-jalan sekitar pasar Keputran tidak saja yang memiliki stand di lantai dua saja. Tetapi semakin banyak pedagang kagetan yang terutama sayuran juga membuka stand. Akibatnya jumlah pedagangnya membengkak dan mampu lagi di dalam pasar kalau toh dimasukkan kembali. Menurut perkiraan, di pasar Keputran dan jalan-jalan sekitarnya terdapat sekitar 800 pedagang kagetan. Karena itu tak mengherankan sepanjang jalan Keputran utara mulai ujung selatan depan pasar Keputran hingga perempatan depan hotel Brantas pada sore mulai sekitar pukul 15.00 hingga pagi hari sekitar jam 05.00 dipenuhi para pedagang. Selain jalan Keputran utara, di jalan Bayu sebelah selatan gedung Darmala menunjukkan pemandangan serupa, yaitu dipenuhi para pedagang.
Selain di sepanjang jalan Keputran utara (depan pasar Keputran), jalan Kapasan hampir bernasib serupa. Hampir-hampir jalannya dipenuhi oleh para pedagang. Berbeda dengan di jalan Keputran utara, para pedagangnya berjualan sayuran yang menyisakan banyak sampah. Di jalan Kapasan dan Gembong para pedagangnya berjualan barang-barang bekas. Karena itu di dua jalan ini jalan kapasan dan Gembong dikenal sebagai pusat barang bekas. Kalau di jalan Keputran pada waktu sore hingga pagi hari ditutup total oleh para pedagang, di jalan Kapasan masih agak lumayan bagi pengendara. Kendati masih tersisa dua jalur bahkan kadang-kadang hanya satu jalur lalulintas masih dapat berjalan meskipun sering terjadi kepadatan yang sangat tinggi dan cenderung macet.
Semakin tumbuh dan berkembangnya pedagang kaki lima (PKL) yang cenderung banyak menguasai ruang-ruang publik sehingga dianggap merugikan orang lain mengilhami pemerintah kota harus memutar otak untuk melakukan tindakan antisipatif dan kuratifnya. Telah banyak keluhan masyarakat yang menganggap bahwa akibat semakin tidak teraturnya para pedagang kaki lima (PKL). Semakin banyaknya PKL yang tidak teratur berdampak dan andil dalam semakin memperparah kemacetan. Selain itu dari segi keindahan kota keberadaan PKL seringkali dituduh merusak pemandangan. Pemandangan yang kumuh dan kotor di sepanjang trotoar yang digunakan untuk berjualan serta rombong-rombong yang kusam tak teratur semakin menambah tidak sedap ruang-ruang publik di pinggir-pinggir jalan.
Pemerintah kota sebagai institusi yang memiliki kewenangan mengatur kota mau tidak mau harus turun tangan. Kecenderungan seperti itu kalau dibiarkan tanpa adanya intervensi regulasi dari pemerintah kota akan beresiko dan harus dibayar dengan biaya yang tidak murah. Biaya sosial maupun ekonomi di kelak kemudian hari jika dibiarkan berkembang secara alami tidak menutup kemungkinan semakin menambah kerawanan kawasan kota. Sejumlah pengalaman menunjukkan bahwa sebuah tempat yang dibiarkan dari serbuan kaum migran akan membentuk perkampungan kumuh atau slum area. Dalam perkembangannya perkampungan kumuh yang bermunculan sedikit banyak akan menimbulkan persoalan bagi perkembangan kota.
Kebijakan yang sama juga diberlakukan di kawasan jalan Pahlawan. Operasi penertiban di jalan memang tidak hanya mengusir para pedagang dari tempat berjualan. Tetapi memberi alternatif kepada para pedagang untuk berjualan di seputar Tugu Pahlawan. Upaya alternatif inipun tidak bertahan lama. Para pedagang akhirnya kembali lagi memenuhi jalan Pahlawan. Demikian juga di jalan Kapasan dan beberapa ruas jalan lainnya. Usaha pemerintah kota untuk mengembalikan fungsi pasar Keputran sebagai tempat transaksi jual beli juga belum berhasil secara maksimal. Kendati usaha menertibkan bangunan yang sebelumnya berfungsi sebagai tempat tinggal yang dilaksanakan pada tanggal 16 Mei 2002 dapat dibilang sukses. Usaha penertiban dengan membongkar stand-stand yang berubah fungsi menjadi tempat tinggal tidak mendapat perlawanan sedikitpun dari penghuninya. Tetapi dari segi pemfungsian kembali pasarnya masih jauh dari berhasil. Pedagang masih tetap memilih berjualan di lantai satu atau di jalan-jalan sekitar pasar Keputran.
Di kawasan lain sudut kota Surabaya menunjukkan fakta yang sama, yaitu para PKL masih tetap berjualan di tempat semula. Hanya saja kadar keberanian untuk kembali ke tempat semula berbeda-beda. Demikian juga sikap perlawanan dari PKL dari berbagai kawasan kota ini juga berbeda-beda. Misalnya penertiban di jalan Tunjungan adalah usaha penertiban yang paling a lot dan mungkin menakutkan selain penertiban di jalan Keputran Utara. Penertiban PKL VCD di kawasan jalan Tunjungan sempat dihantui oleh adanya kerusuhan massa. Sehingga berkali-kali usaha penertiban di kawasan ini berkali-kali tertunda. Pada saat penertiban yang melibatkan aparat kemanan baik tentara dari angkatan darat, laut maupun marinir serta aparat kepolisian memang terbukti ada perlawanan yang tergolong keras. Hanya saja tidak sampai ada jatuh korban jiwa hingga meninggal, yang ada hanya korban luka-luka.
Kendati sebelumnya bulan februari 2002 telah diadakan penertiban keberadaan PKL masih tetap bermunculan kendati jumlahnya realtif berkurang drastis. Di beberapa ruas jalan yang sebelumnya ditertibkan ternyata dalam waktu singkat bermunculan kembali. Khususnya cara pandang terhadap PKL tampaknya memerlukan perubahan pendekatan dan penanganan. Di razia dan ditertibkan bagaimanapun PKL yang ada di kota Surabaya masih saja terus bermunculan. Sanksi hukuman dan di bawa ke pengadilan ternyata tidak membuat PKL jera yang akhirnya tidak berjualan lagi. Namun kenyataannya di beberapa ruas jalan tampak kembali PKL menggelar dagangannya. Ancaman akan membawa ke pengadilan, menyita rombong dan tindakan refresif lainnya ternyata tidak menyiutkan nyali PKL untuk berjualan kembali. Berbagai halangan yang sengaja dibuat berupa gangguan di tempat berjualan ternyata tidak menjadi masalah yang serius bagi aktifitas PKL.
Kasus semacam ini dapat dilihat di sekitar pasar Keputran. Pemerintah kota Surabaya sampai saat ini belum berhasil memasukkan kembali ke dalam pasar para pedagang yang setiap sore hingga malam hari selalu menempati ruas-ruas jalan di sekitar pasar Keputran. Di dua ruas jalan seputar pasar Keputran, yaitu jalan Bayu yang berada di sebelah selatan gedung Dharmala dan jalan Keputran utara dari ujung selatan sampai utara setiap sore hingga pagi hari praktis berubah menjadi pasar. Ketika sore hingga pagihari tak ada ruang yang dapat digunakan untuk lalulintas kendaraan. Semua ruas jalan digunakan untuk pedagang menggelar daganganya, terutama sayuran dan kebutuhan dapur.
Di kawasan jalan-jalan lainnya ternyata tidak menunjukkan gejala yang berbeda. Banyak ruas-ruas jalan tetap saja ditumbuhi PKL kendati operasi penertiban telah dilakukan beberapa kali. Bahkan surat perintah walikota yang mengatur solusi kegiatan PKL tidak banyak diindahkan. Di lokasi-lokasi yang dinyatakan bebas PKL-pun tetap berdiri sejumlah PKL menggelar dagangannya kendati jumlahnya tidak sebanyak sebelum adanya operasi penertiban.
Menurut surat perintah walikota Surabaya beberapa jalan seperti Bubutan, Pegirikan, Tunjungan Center, Dharmawangsa, Airlangga, Indragiri, Basukui Rachmad, Embong Malang dan Raya Darmo adalah bebas PKL baik siang maupun malam. Tetapi ketika di lakukan mapping tanggal 18 juni 2002 ternyata di 9 (sembilan) ruas jalan yang dinyatakan bebas PKL masih terdapat sebanyak 397 PKL. Jumlah paling banyak terdapat di jalan Pegirikan, yaitu masih terdapat sebanyak 85 PKL pada jam 14.00, kemudian disusul di jalan Embong Malang berjumlah 65 PKL yang menggelar dagangannya pada pukul 16.00. Pemandangan yang sama dapat dengan mudah ditemukan di jalan Raya Darmo. Di jalan yang merupakan jalur utama kota Surabaya masih ditemukan sebanyak 60 PKL pada jam 13.00.
Sementara itu sesuai surat perintah walikota di jalan Pahlawan masih diperbolehkan berjualan antara jam 07.00-11.00. Namun demikian tidak semua PKL mematuhi jam kegiatan yang telah ditetapkan. Di atas jam 11.00 sebagian PKL masih tetap berjualan dengan tidak ada tindakan dari pemerintah kota. Pada hari-hari biasa di seputar jalan Pahlawan khususnya sebelah timur bank Indonesia jumlahnya tidak sebanyak pada hari minggu. Pada hari biasa jumlah PKL di seputar Tugu Pahlawan dan bank Indonesia sekitar 246 pedagang. Tetapi pada hari minggu jumlahnya meningkat drastis menjadi sampai 1.041 pedagang. Tidak pelak ruas jalan di seputar jalan Pahlawan khususnya di sebelah timur bank Indonesia hanya tersisa satu jalur kendaraan. Sampai-sampai ada sebutan bahwa seputar Tugu Pahlawan dijuluki sebagai TP5.
Pasca penertiban besar-besar yang dimulai pada tanggal 1 Pebruari 2002, memang terlihat jumlah PKL di beberapa sudut jalan mulai berkurang. Bahkan di beberapa ruas jalan bersih sama sekali dari PKL. Kendati upaya pemerintah kota Surabaya memperlihatkan keberhasilan membersihkan PKL dari beberapa ruas jalan terutama yang berada di 7 jalur jalan protokol, ternyata masih menyisakan pekerjaan yang tidak ringan. Kalau di tempat lain dapat menghalau PKL menempati ruas-ruas jalan yang dilarang oleh pemerintah kota sebagai tempat berjualan tetapi tidak demikian pada kasus pedagang yang menempati ruas jalan Keputran utara dan jalan Bayu (seputar pasar Keputran).
Sudah berkali-kali pemerintah kota mengupayakan agar pedagang pasar yang memenuhi jalan masuk kembali ke dalam pasar Keputran tetapi berkali-kali pula tidak berhasil. Penertiban bedak-bedak yang telah berubah fungsi menjadi tempat tinggal di lantai dua di pasar Keputran dilakukan pemerintah kota. Tetapi pembongkaran tempat tinggal di lantai dua pasar Keputran dan memfungsikan kembali menjadi bedhag-bedhag untuk berjualan ternyata tidak banyak menarik minat pedagang kembali ke dalam pasar. Pedagang masih tetap saja menempati dan memenuhi jalan-jalan di sekitar pasar Keputran. Karena itu akhirnya pemerintah kota Surabaya menempuh jalan kompromi hanya dengan melakukan pembatasan areal pasar agar tidak sampai merembet dan memacetkan alur lalulintas yang berada di jalan Panglima Sudirman dan jalan Sono Kembang.
Dalam tulisan ini mencoba menelisik komunitas terbatas atau kelompok kecil pedagang pasar Keputran yang menempati jalanan dan tidak mudah direlokasi oleh pemerintah kota. Mengapa pemerintah kota Surabaya yang mewakili simbol negara dengan kekuatan sumberdaya yang ada dan memadai baik dari segi politik, ekonomi, maupun pertahanan dan keamanan ternyata tidak mampu dan akhirnya harus menyerah menghadapi pedagang yang jelas-jelas menempati jalan yang mestinya berfungi sebagai jalur lalulintas kendaraan.

Landasan Teoritis
Menurut Giddens struktur merupakan aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang terbentuk dari dan perulangan praktik sosial (Gidens, 1976,1993:126, 1979:63, 1984:xxxi). Dualitas antara struktur dan pelaku terletak pada proses di mana struktur sosial merupakan hasil (outcome) dari praktek sosial. Selain itu struktur sekaligus merupakan sarana (medium) yang memungkinkan berlangsunganya praktek sosial (Giddens.constraining) seperti pada pengertian Dhurkheimian. Tetapi struktur dalam pengertian Giddens memiliki sifat memberdayakan (eabling) yang memungkinkan praktek sosial. 1976,1993:128-129, 1979:5, 1984:374). Struktur bukanlan bersifat mengekang (
Dalam teori strukturasi Giddens membedakan antara struktur dengan sistem. Struktur dipahami dari dimensi sintagmatik dan paradigmatik dalam penstrukturan hubungan-hubungan sosial. Dimensi sintagmatik dapat dilihat dari resproduksi praktek-praktek yang terikat pada ruang dan waktu tertentu. Sementara itu dimensi paradigmatik dapat dilihat dari tata cara-cara penstrukturan yang terjadi berulang kali dalam proses reproduksi. Karenanya struktur merujuk pada sifat-sifat penstrukturan yang memberikan bentuk sistemik pada kegiatan-kegiatan sosial serupa dan yang memungkinkan mereka bertahan dalam lintas ruang dan waktu (Suhartono, dalam: Basis 2000).
Sementara itu sistem-sistem sosial merujuk pada praktek-praktek sosial yang direproduksikan (Gidddens, 1984:17). Praktek-praktek sosial yang direproduksikan ini adalah kegiatan-kegiatan yang terikat pada ruang dan waktu tertentu yang diadakan kembali dalam lintas ruang dan waktu yang secara berulang melibatkan struktur di dalamnya. Karenanya struktur mengatasi ruang dan waktu. Struktur hanya ada dalam perwujudan seketika dalam sistem sosial dan jejak-jejak ingatan bagi orientasi perilaku manusia. Karenanya struktur bukan berada di luar individu. Giddens mendefinisikan strukturasi sebagai strukturasi relasi-relasi sosial yang melintasi waktu dan ruang berkat adanya dualitas struktur. Strukturasi adalah proses praktek-praktek sosial menjadi struktur yang hanya bisa terjadi dalam lintas ruang dan waktu. Giddens memandang ruang dan waktu secara integral turut membentuk kegiatan sosial. (Giddens, 1984:142).
Dalam teori strukturasi, individu bukanlah ditempatkan pada posisi titik pusat (decentred subject) tetapi juga bukan subyek dalam lingkup semesta kosong tanda-tanda. Dalam kaitan ini Giddens melihat adanya titik temu antara kegiatan sosial mencekeram ruang dan waktu dengan akar pembentukan dari subyek maupun obyek (Giddens, 1984:xxii). Seluruh kehidupan sosial terjadi dalam dan dibentuk oleh persimpangan kehadiran dan ketidakhadiran dalam waktu dan ruang. Karenanya kehidupan sosial dikontekstualitaskan dengan ruang dan waktu. Dalam kontekstualitas ruang dan waktu manusia dipandang sebagai suatu proses yang terus menerus bukan sebagai kumpulan tindakan atau tindakan yang terpisah-pisah. Konsep-konsep seperti maksud, alasan, sebab dan rasionalisasi dalam pandangan Giddens dilihat sebagai suatu proses bukan keadaan (Giddens, 1984:3). Tindakan manusia tak dapat dipisahkan dari tubuh dengan penempatannya dalam dimensi waktu dan ruang. Dengan kata lain interaksi sosial atau kehidupan sosial harus dipelajari dalam kehadiran bersama.
Giddens membedakan tiga dimensi waktu, yaitu pengalaman sehari-hari, jangka hidup individual dan lembaga-lembaga (Gidens, 1984:35). Dimensi pengalaman berkaitan dengan waktu yang terbentuk dalam kegiatan atau pengalaman sehari-hari yang dapat dibalik. Dimensi jangka hidup individual berkaitan dengan rentang waktu kehidupan individu yang tidak dapat dibalik atau disebut sebagai waktu tubuh. Dimensi lembaga-lembaga berkaitan dengan waktu keberlangsungan jangka panjang dan dapat dibalik dari lembaga. Dimensi waktu yang berkaitan dengan lembaga ini merupakan waktu kelembagaan yang merupakan baik syarat (condition) maupun hasil (outcome) kegiatan-kegiatan yang terpola dalam keberlangsungan hidup sehari-hari. Dalam konteks ini maka sejarah dipahami sebagai pengertian temporalitas kegiatan-kegiatan manusia yang terjadi dalam keterkaitan tiga dimensi waktu.
Konsep lain dalam teori strukturasi adalah rutinisasi (routinization). Sesuatu yang rutin inilah yang menjadi elemen dasar kegiatan sosial hari per hari. Apa yang rutin ini menunjukkan adanya keterulangan kegiatan sosial dalam lintas waktu-ruang. Menurut Giddens apa yang rutin dari suatu kehidupan sosial ini yang menjadi bahan dasar bagi apa yang disebutnya sebagai hakekat keterulangan kehidupan sosial (Giddens, 1984:xxiii). Dari keterulangan ini maka sifat-sifat terstruktur dari kegiatan sosial yang terus menerus diciptakan kembali dari sumber-sumber daya yang dibentuknya.
Sementara itu untuk memahami ruang maka penting menyadari posisi tubuh. Dalam kerangka pemikiran Giddens, tubuh dipandang sebagai sebagai tempat kedudukan diri yang aktif (the locus of the active self) (Giddens, 1984:36). Dalam kehidupan sehari-hari individu-individu bertemu dengan individu-individu lainnya yang hadir bersama secara fisik dan interaksi yang terikat pada konteks situasi. Ciri khas sosial adalah kehadiran yang berakar pada spasialitas tubuh yang terarah pada diri sendiri maupun kepada orang lain. Giddens melihat pada posisi tubuh manusia ketika hadir dalam interaksi tidak menempati ruang dan waktu seperti halnya benda-benda material dalam ruang dan waktu. Tetapi spasialitas tubuh manusia merujuk pada situasi aktif yang terarah pada tugas-tugasnya (Giddens, 1984:65). Karenanya posisi tubuh menurut Giddens harus dipahami sebagai pengambilan posisi dalam kehadiran bersama.
Menurut Giddens dalam prinsip struktural terdapat tiga gugus besar struktur, yaitu signifikasi (signification), dominasi (domination) dan legitimasi (legitimation) ((Giddens, 1979:82, 1984:29-33). Struktur signifikasi atau penandaan adalah struktur yang menyangkut simbolik, pemaknaan, penyebutan dan wacana. Adapun struktur dominasi atau penguasaan mencakup penguasaan atau orang dan barang. Penguasaan atas orang berkaitan dengan politik. Sementara penguasaan terhadap barang berkaitan dengan bidang ekonomi. Struktur legitimasi atau pembenaran menyangkut peraturan normatif yang terungkap dalam tata hukum (Giddens, dalam Herry-Priyono, 2002:24).
Struktur dominasi mengacu pada hubungan asimetri pada tataran struktur, sementara itu kekuasaan menyangkut kapasitas yang terlibat dalam hubungan sosial pada tataran praktek sosial. Karena itu kekuasaan menempati pada tataran langue sementara kekuasaan menempati pada tataran parole.transformative capacity (Giddens, 1979:92. Kapasitas transformatif adalah kemampuan mengadakan intervensi dalam peristiwa tertentu dan mengadakan perubahan. Karena itu kekuasaan akan tampak ketika digunakan dalam struktur (Giddens, 1979:91). Menurut Giddens kekuasaan dilihat sebagai
Sementara itu ada dua macam sumber daya yang terlibat dalam membentuk struktur dominasi, yaitu sumberdaya alokatif dan otoritatif (Giddens, 1979:100). Pertama, sumber daya alokatif yaitu yang memungkinkan dominasi manusia atas dunia material. Sumber alokatif ini seperti misalnya bahan mentah, peralatan produksi, teknologi, hasil-hasil produksi. Kedua, adalah sumber daya otoritatif. Sumber daya ini yang memungkinkan dominasi manusia atas dunia sosial. Sumber daya otoritatif ini seperti misalnya pengorganisasian ruang-waktu, organisasi dan relasi manusia dalam asosiasi timbal balik, pengorganisasian kemungkinan kehidupan, ketika menggunakan dua sumber daya tersebut
Dalam pandangan Giddens ketika individu menggunakan kekuasaan dalam struktur di dalamnya terdapat apa yang disebut sebagai rules dan baik pada sumber daya alokatif maupun sumber daya otoritatif. Resources merupakan media kekuasaan pada tataran praktis dan sekaligus media struktur dominasi yang direproduksikan. Karenanya Giddens melihat peran resources merupakan faktor vital bagi individu dalam mewujudkan kekuasaan. Resources inilah yang memampukan individu untuk melakukan dominasi dengan pihak lain. Atau dengan kata lain dengan resources individu telah menciptakan struktur dominasi (Giddens, 1979:92). resources

Pada tataran praktek sosial, ketiga gugus prinsip struktural tersebut saling terkait satu dengan lainnya. Struktur signifikasi pada tataran prakteknya akan mencakup struktur dominasi dan legitimasi. Misalnya penyebutan atau signifikasi dosen, pada gilirannya akan menyangkut prinsip struktural dominasi yang berupa otoritas dosen atas mahasiswa. Sementara prinsip struktural legitimasi akan mengikuti pula ketika dosen berhak mengadakan ujian untuk menilai sejauhmana mahasiswa memiliki keberhasilan proses belajar mengajar di kampusnya. Teori strukturasi Giddens yang berlandaskan dualitas antara struktur dan individu dengan berangkat dari kerangka analisis hubungan tiga gugus prinsip struktural sebagai praktek sosial, yang akan digunakan untuk menganalisis komunitas kecil pedagang kaki lima yang menempati sekitar pasar Keputran.

Alih Fungsi.
Pedagang yang sekarang ini menempati di jalan Keputran utara dan jalan Bayu (sekitar pasar Keputran) pada awalnya memang seperti pedagang kaki lima (PKL) lainnya di di berbagai tempat termasuk di kota Surabaya. Pada awalnya pedagang di jalan seputar pasar Keputran tidak langsung berjumlah besar apalagi ratusan. Pada awalnnya hanya berjumlah satu dua orang yang hanya berjualan di jalan. Dalam perjalanan waktu ternyata pedagang yang berada di ruas jalan inilah yang lebih laku dibanding dengan pedagang-pedagang pasar yang menempati bedak-bedak resmi dalam pasar. Lama kelamaan pedagang yang berada di dalam pasar tidak hanya membuka stan yang telah resmi di sewa dari PD pasar. Tetapi pedagang yang memiliki stan resmi di dalam pasar mulai membuka stan tidak resmi yang berada di ruas jalan.
Bagi pedagang pilihan untuk menempati ruas jalan atau di luar pasar adalah langkah rasional praktis untuk menjemput para pembeli. Bagi pedagang yang masih tetap berjualan di dalam pasar lama kelamaan ternyata semakin sepi pembeli. Karena itu pilihannya adalah mengikuti pedagang yang lain berjualan di ruas jalan kendati dengan resiko penertiban oleh aparat yang berwenang. Pada awalnya memang sering ada penertiban kepada para pedagang yang berjualan di ruas badan jalan. Bagi para pedagang adanya penertiban dan barang dagangan disita pertugas adalah resiko yang mesti ditanggung. Bagi para sebagian pedagang memang menyadari berjualan di ruas jalan akan menanggung resiko, karena memang bukanlah tempat yang legal untuk berjualan.
Semakin lama perkembangan berjualan di ruas jalan tampaknya tidak lagi menjadi pilihan alternatif sekunder, tetapi sudah menjadi pilihan primer bahkan semacam keharusan. Berjualan di jalan tidak lagi merupakan pilihan untuk menyambut dan mempermudah pembeli, tetapi sudah berubah menjadi keharusan untuk berjualan. Dalam perkembangan selanjutnya para pedagang tidak lagi berjualan di dua tempat, satu di dalam pasar pada tempat bedak resmi yang disewa dari PD pasar, tetapi secara penuh berjualan di ruas jalan.
Sementara di sisi lain bedhag-bedhag yang semula di gunakan untuk berjualan berubah fungsi menjadi tempat tinggal. Pada awalnya memang hanya digunakan untuk beristirahat ketika lelah atau tidak sedang berjualan. Tetapi lama-kelamaan bedak dalam pasar tidak lagi digunakan sebagai tempat istirahat sementara tetapi berubah secara penuh menjadi tempat tinggal. Berubahnya bedak menjadi tempat tinggal bagi para pedagang di pasar Keputran salah satu sebab karena tempat tinggal pedagang yang kebanyakan berjauhan dengan pasar Keputran. Sebagian bertempat tinggal di dalam Surabaya tetapi harus menempuh alat transportasi yang membutuhkan biaya sementara sebagian pedagang justru dari luar Surabaya. Khususnya bagi para pedagang yang bertempat tinggal yang jauh bahkan di luar Surabaya, jika setiap hari harus pulang pergi akan memboroskan waktu dan biaya. Oleh karena itu karena masih memiliki stand di dalam pasar, maka pilihanya menjadikan pasar sebagai tempat tinggal adalah langkah yang rasional, terutama dari segi waktu maupun menghemat biaya.
Semakin banyaknya pedagang yang menempati ruas jalan yang notabene tempat publik dan berfungsi sebagai lalulintas maka pihak pemerintah kota juga tidak berani untuk menarik retribusi kepada para pedagang. Kalau pemerintah kota sampai menarik retribusi kepada pedagang yang berjualan di ruas badan jalan berarti melegalkan tepat tersebut sebagai lahan untuk berusaha. Karenanya pihak pemerintah kota menghadapi dilema, satu sisi menarik retribusi adalah tindakan salah karena tidak berdasarkan peraturan yang ada, sementara di sisi lain jumlah pedagang semakin banyak jumlahnya sehingga tidak mudah menghalau agar tidak berjualan di ruas badan jalan.
Bagi pedagang menempati ruas badan jalan disadari bukan pada tempatnya dan melanggar peraturan. Karena itu bagi para pedagang menyadari bahwa tempat berjualannya rentan terhadap penggusuran yang dilakukan aparat pemerintah kota. Sewaktu-waktu aparat pemerintah kota secara tiba-tiba dapat saja akan melakukan penertiban. Kalau penertiban yang dilakukan pemerintah kota dilaksanakan maka resikonya sangat besar. Bisa-bisa semua barang dagangan akan disita petugas dan tidak dikembalikan. Kalau ini yang terjadi berarti bagi pedagang akan kehilangan asset produksi sumber penghasilan ekonomi.

Penguasaan Ruang Publik
Kendati berada di bawah bayang-bayang penertiban atau penggusuran para pedagang yang menempati ruas badan jalan tetap melakukan aktivitas berjualannya. Perkembangan selanjutnya yaitu ketika semakin banyak pedagang yang berjualan di ruas badan jalan, maka para pedagang mulai melakukan pengaplingan tempat-tempat usaha menjadikan hak milik khusus (De Soto, 1991:89). Para pedagang memberi batas-batas wilayah tempat berjualan dengan memberi tanda misalnya garis dengan cat atau menempatkan alat yang digunakan berjualan.
Sejarah perkembangannya di berbagai tempat sektor informal termasuk pedagang pasar Keputran utara menduduki suatu lokasi telah melakukan proses yang panjang. Pada umumnya suatu tempat tidak diduduki sekaligus secara bersamaan, tetapi sebaliknya secara berangsur-angsur. Pola semacam ini bukan suatu kebetulan, tetapi merupakan tahap untuk melakukan uji coba dari segala tindakan yang telah diambil oleh penguasa atau pengapling ruang-ruang publik dan dampak-dampak yang dimunculkan sebagai akibatnya.
Keberhasilan untuk menguasai tempat ruang publik dan lancarnya beraktifitas ekonomi yang telah diraih oleh PKL generasi pertama ini umumnya kemudian diikuti dengan generasi lanjutan untuk mngapling ruang-ruang publik yang berada di sekitarnya. Terbukti di berbagai tempat termasuk jalan Keputran utara dan jalan Bayu, pada awalnya hanya satu-dua pedagang saja yang melakukan pengaplingan dan menjalankan aktivitas ekonomi. Tetapi lambat-laun semakin bertambah baik kuantitas maupun kualitas jenis barangnya.
Bagi pedagang lama kehadiran pedagang baru ini bukan dianggap sebagai saingan apalagi sebagau musuh, tetapi sebaliknya justru dapat memberikan energi baru yang semakin memperkokoh posisi khususnya secara ekonomi maupun keamanan. Kehadiran pedagang baru yang mengapling ruang publik yang masih belum ada penguasanya dan membawa barang dagangan kemudian berjualan di tempat tersebut baik sama jenis barang sama atau tidak, justru dapat dianggap sebagai sarana untuk meraih banyak calon pembeli. Dalam benak pedagang, semakin banyak pedagang yang berjualan di sekitar tempatnya justru akan semakin menarik calon pembeli untuk datang. Semakin banyak dan seringnya penjual dan pembeli melakukan transaksi di tempat yang sama lama-kelamaan menjadi tempat yang permanen. Keputusan pedagang untuk menetap di suatu tempat merupakan proses yang panjang dan berulang-ulang. Energi yang menopang keputusan ini makin diperkuat oleh ikatan kepentingan yang sama diantara sesama pedagang yang berdekatan untuk mengukuhkan dan menduduki secara permanen lokasinya masing-masing.
Di seputar pasar Keputran yang berupa ruas badan jalan sebagai tempat berjualan dianggap oleh orang-orang tertentu merupakan tempat yang prospektif, karenanya layak dan laku untuk diperdagangkan. Bersamaan para pedagang pasar yang melakukan pengaplingan di ruas badan jalan, maka ada beberapa orang juga melakukan hal yang sama. Beberapa orang melakukan pengaplingan lebih dari satu-dua stan yang tidak hanya digunakan untuk berjualan sendiri, tetapi dijual atau disewakan kepada pihak lain. Para pedagang yang ingin berjualan di ruas badan jalan Keputran utara dan jalan Bayu pada tahap berikutnya tidak lagi secara bebas menggelar dagangannya. Para pedagang yang bermaksud berjualan tidak lagi secara gratis memperoleh tempat untuk melakukan aktivitas jual-beli. Para pedagang yang ingin berjualan di tempat itu harus membeli atau menyewa kepada pemilik kapling yang telah menguasai ruas jalan Keputran utara dan jalan Bayu.
Penguasa kapling inilah yang disebut sebagai penguasa pedagang dalam tulisan ini bukan istilah preman. Dalam istilah lain banyak kalangan menyebut sebagai preman sebagai penguasa tempat-tempat ruang publik. Istilah preman sering merujuk partikelir, sipil, swasta atau dilawankan dengan tentara. Tetapi dalam tulisan ini penguasa pedagang yang dimaksudkan adalah penguasa ruas jalan Keputran utara dan jalan Bayu yang memiliki kekuasaan mengatur siapa yang boleh dan tidak menempati areal ruas badan jalan untuk berjualan.
Di jalan-jalan seputar pasar Keputran setidaknya ada enam penguasa pedagang yang menguasai jalan Keputran utara dan jalan Bayu. Penguasa jalan Bayu adalah H. Kacung yang menguasai wilayah mulai ujung barat (sebelah selatan gedung Dharmala) hingga pertigaan jalan Keputran utara. Sementara di sepanjang jalan Keputran utara dikuasai oleh lima orang. Dari pertigaan jalan Bayu dengan Keputran utara ke arah selatan dikuasai oleh tiga orang, yaitu H. Sanam, Salom dan Marsuki. H. Sanam menguasai wilayah di sekitar depan pasar Keputran, sementara Salom dan Marsuki menguasai daerah sekitar pertigaan jalan Bayu-Keputran Utara. Pada pertigaan jalan Bayu-Keputran utara ke arah utara dikuasai oleh dua orang yaitu Suratijo dan Muhammad. Muhammad menguasai wilayah jalan yang berada di depan hotel Brantas, sementara Suratijo di sekitar pertigaan jalan Bayu-Keputran utara sebelah utara.

Gugus Signifikasi
Dalam dualitas antara struktur dan tindakan dalam konteks pedagang pasar jalan Keputran utara dan jalan Bayu juga melibatkan sarana-sarana. Gugus signifikasi melibatkan sarana yang berwujud bingkai interpretasi tentang wacana penguasa pedagang sebagai satu-satunya pintu masuk untuk melakukan aktivitas berjualan di jalan Keputran utara dan Bayu. Sebelum seorang pedagang membuka stand dan berjualan maka terlebih dahulu harus bertemu penguasa pedagang atau kaki tangannya. Penguasa pedagang seakan menjadi semacam juragan bagi para pedagang penguasa pedagang inilah seakan-akan yang dapat menentukan nasib para pedagang. Wacana penguasa pedagang atau seseorang yang menguasai tempat berjualan terus direproduksi bagi siapa saja yang berkepentingan dengan ada tempat berjualan di ruas badan jalan Keputran utara dan Bayu. Tidak hanya kepada para pedagang tetapi juga pemerintah kota tidak dapat melepaskan wacana penguasa pedagang atau seseorang yang menguasai pedagang yang menggelar dagangannya sore hari hingga pada hari hari.
Pada konteks praktek sosial pedagang pasar di jalan Keputran utara dan Bayu ini dapat diidentifikasi gugus prinsip struktural Giddens. Struktur signifikasi dapat ditemukan dalam sebutan penguasa pedagang yang menguasai jalan Bayu dan jalan Keputran utara. Siapapun yang berkeinginan memasuki, mengusik atau memiliki kepentingan yang berkaitan dengan perdagangan di ruas badan jalan Bayu dan Keputran utara mau tidak mau akan bersinggungan dengan apa yang disebut sebagai penguasa pedagang. Jangankan para pedagang yang berkepentingan langsung dengan tempat usaha yang dikuasainya, pihak pemerintah kotapun tidak dapat menganggap peran penguasa pedagang ini sebagai persoalan yang ringan bahkan tidak ada. Penyebutan penguasa pedagang inilah yang yang menjadi kata yang sangat disegani oleh pihak lain. Wacana penguasa pedagang bagi kalangan pedagang yang berjualan di dua ruas jalan tersebut telah terlembaga menjadi kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Karenanya wacara penguasa pedagang selalu akan muncul ketika akan berbicara sesuatu yang berkaitan dengan pedagang pasar di ruas jalan Bayu dan Keputran utara.
Struktur sebagai hasil dari keterulangan praktek sosial dalam konteks pedagang pasar di jalan Keputran utara dan jalan Bayu dalam hal gugus signifikasi dapat diidentifikasi dari pembakuan signifikasi yang terbentuk melalui pengulangan bahwa berdagang di kawasan jalan Bayu dan Keputran utara harus memberikan sejumlah uang kepada penguasa pedagang sebagai uang sewa stand. Wacana penguasa pedagang terus direproduksi sehingga menjadikan semakin kokoh membentuk sebuah struktur bahwa di dalam komunitas pedagang yang menempati jalan Keputran utara dan Bayu tidak dapat melupakan apa yang disebut sebagai penguasa pedagang. Karena itu segala tingkah laku pedagang tidak dapat lepas dari wacana penguasa pedagang di dalamnya. Di mana posisi berjualan, seberapa luas stan yang ditempati, kapan buka dan tutup tidak dapat lepas dari wacana penguasa pedagang. Penguasa pedagang inilah pada gilirannya menjadi semacam bagian dari struktur praktek sosial yang terjadi di dalamnya. Sementara itu ketika berjualan, maka setiap hari harus mengeluarkan uang iuran yang telah ditetapkan. Keterulangan struktur ini ditunjang juga melalui wadah-wadah koordinator yang memiliki tugas masing-masing, seperti membawa pedagang baru, menarik uang sewa, menarik uang iuran dan melakukan pengawasan terhadap pedagang.
Gugus signifikasi lain dapat diidentifikasi pada soal perlindungan keamanan dari penguasa pedagang. Selain wacana penguasa pedagang itu sendiri maka gugus signifikasi lain yang terus direproduksi adalah jaminan keamanan yang diberikan penguasa pedagang. Signifikasi jaminan keamanan semakin kokoh direproduksi dengan cara fakta bahwa ketika ada upaya penggusuran dari pemerintah kota, maka para penguasa pedagang akan berusaha menghadangnya. Sebaliknya di luar lingkup pedagang bersangkutan, bahwa wacana perlindungan berada di tangan penguasa pedagang juga telah tereproduksi dalam benak pemerintah kota. Karena itu ketika ada upaya kebijakan yang menyangkut pedagang di seputar jalan Keputran utara dan Bayu secara otomatis wacana penguasa pedagang sebagai kepala suku selalu mendapat prioritas yang harus didengar suaranya. Di kalangan pedagang sendiri jaminan keamanan yang diberikan penguasa pedagang direproduksi lewat pembayaran uang kemananan setiap harinya. Lewat pembayaran uang keamanan ini, bagi pedagang menganggap urusan keamanan yang dapat menopang keberlangsungan berdagang di tempat yang sama akan lebih terjamin. Kalau misalnya para penguasa pedagang tidak dapat lagi berunding dengan pemerintah kota dan harus kalah, maka informasi kekalahan itu dapat segera sampai sehingga pedagang jauh-jauh telah mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada tindakan represif dari pemerintah kota. Karena itu jika ada penertiban yang sungguh-sungguh dilaksanakan dari pemerintah kota paling tidak para pedagang telah mengetahui terlebih dahulu dari para penguasa pedagang sehingga dapat menyelamatkan barang dagangannya sebelum dirazia apalagi disita petugas.

Simpulan
Titik sentral teori strukturasi Giddens adalah dualitas struktur dengan pelaku dan sentralitas ruang dengan waktu. Dalam komunitas kecil di kalangan pedagang yang berjualan di jalan Keputran utara dan jalan Bayu dapat ditemukan dan diidentikasi dualitas struktur-pelaku dan sentralitas waktu ruang. Di dalamnya juga dapat diidentikasi tiga gugus besar prinsip strukturalnya, seperti gugus signifikasi, dominasi dan legitimasi.
Pada tataran praktek bagaimana komunikasi yang terjadi atas dasar bingkai intrepretatif dari signifikasi, kekuasaan terbangun dengan fasilitas sumber-sumber kekuasaan serta sanksi diterapkan melalui sarana norma sebagai akibat dari legitimasi yang dimiliki oleh salah satu pihak. Konteks waktu dan ruang juga diidentifikasi dalam komunitas pedagang yang menjadi obyek verifikasi teori strukturasi Giddens.
Konteks waktu dapat dilihat dalam praktek sosial pada saat pedagang menggelar dagangan pada waktu sore hingga pagi hari (setelah barang dagangan habis). Konteks ruang hanya terjadi di jalan Keputran utara dan jalan Bayu kota Surabaya, di luar ruang itu maka tak ada praktek sosial antara penguasa dan pedagang yang diikat oleh sebuah norma sebagai landasannya
Struktur sosial bukanlah dibentuk berdasarkan pendekatan struktural yang mengatasi setiap praktek sosial warga kota. Pendekatan struktural mempercapai bahwa setiap praktek sosial mendasarkan pada struktur-struktur yang telah ada dan mapan sebelumnya. Kalau dilihat dalam kontaks ini maka seharusnya setiap warga kota mendasarkan perilakunya pada struktur-struktur yanag telah ada. Misalnya struktur sosial yang mengatakan bahwa berjualan di jalan adalah sebagai bentuk pelanggaran dan sudah semestinya tidak dilakukan. Tetapi dalam kasus tulisan berjualan di jalan seakan telah menjadi struktur tersendiri, kendati dari dimensi ruang dan waktu di tempat lain kota ini berjualan di jalan tetap menjadi bentuk pelanggaran dan mendapat tindakan tegas dari aparat berwenang.

tugas pempolak

Posted by | Posted on 04.26

NAMA : ANDI ASWIRMAN
NIM : E12109003
TUGAS PENGGANTI MID
MATAKULIAH PEMERINTAH DAN POLITIK LOKAL INDONESIA
Analisis Korupsi Di Indonesia Dengan Teori Strukturasi
Korupsi menyebar merata di wilayah negara ini, dari Aceh hingga Papua. Kasus korupsi yang muncul tak hanya menjerat sejumlah penyelenggara negara, tetapi juga menghambat penyejahteraan rakyat. [1] Hampir setiap media massa memberitakan kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, baik itu yang diusut tuntas ataupun yang sekarang masih tidak jelas. Merajalelanya korupsi di tanah air ini suatu hal yang sistematis terjadi. Pelaku dan struktur merupakan suatu dualitas, keduanya saling mengandaikan dan saling berperan penting dalam perkembangan praktik korupsi di Indonesia. Perilaku korup merupakan sedimentasi dari struktur yang terus berulang. Melakukan tindakan yang serupa menganggap hal ini sebagai biasa.
Tulisan ini menjelaskan kasus korupsi disertai analisis dari Anthony Giddens, tentang strukturasi (structuration). Mengenai kasus korupsi yang terjadi di Indonesia kian hari semakin bertambah. Seolah membudaya dalam tubuh bangsa ini. Dengan ini menyajikan pertama, mengenal tentang korupsi baik itu pengertian, sejarah korupsi di Indonesia, penyebab atau pemicu korupsi. Kedua, tindakan korupsi Panser Raksasa di Indonesia, disajikan dengan sebagian kasus yang ada. Ketiga, penutup dan penarikan kesimpulan dari tulisan ini.
Dengan analisis Giddens diharapkan tulisan ini memberikan informasi penting untuk pengamatan korupsi. Pelaku dan struktur yang dijelaskan Giddens menjadikan teori utama tulisan ini. Panser Raksasa ”Juggernout” merupakan istilah yang digunakan Giddens dalam pemikirannya. Dalam hal ini diartikan sebagai suatu perilaku yang terjadi di negara ini. Mulanya disebabkan oleh kapitalisme dan matrealisme yang mendorong pelaku dan struktur untuk melakukan korupsi. Teori-teori Giddens dalam tulisan ini akan dikaitkan dengan kasus-kasus yang marak terjadi. Begitu juga kasus yang terjerat oleh daftar Komosi Pemberantasan Korupsi (KPK), beberapa kasus yang di tangani KPK akan melengkapi data korupsi di Indonesia. Meski tidak semua disajikan akan tetapi tulisan ini berusa mengulas lebih dalam tentang struktursi dalam korupsi.
Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari kata Latin Corruptio atau Corruptus. Kemudian, muncul dalam bahasa Inggris dan Perancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan korupsi. [2] Esensi korupsi sebagai pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Korupsi merupakan perwujudan immoral dari golongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan penipuan. Titik penting yang ingin dimasukkan dalam kebanyakan peristilahan korupsi, yaitu nepotisme dan korupsi otogentik. [3] Sementara, Bank Dunia membatasi pengertian korupsi hanya pada, “pemenfaatan kekuasaan untuk mendapat keuntungan pribadi.” Ini merupakan definisi yang sangat luas dan mencakup tiga unsur korupsi yang digambarkan dalam akronim KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). [4]

Hafidhuddin mencoba memberikan gambaran korupsi dalam perpektif ajaran Islam. Ia menyatakan, bahwa dalam Islam korupsi termasuk perbuatan fasad [5] atau perbuatan yang merusak tatanan kehidupan. Pelakunya dikategorikan melakukan jinayah kubro (dosa besar) dan harus dikenai sanksi dibunuh, disalib atau dipotong tangan dan kakinya dengan cara menyilang (tangan kanan dengan kaki kiri atau tangan kiri dengan kaki kanan) atau diusir. Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-‘adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggungjawab. Korupsi dengan segala

dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang sekali-kali amat dikutuk Allah SWT. [6]

Berdasarkan wacana diatas korupsi berarti lembaga ekstra-legal yang digunakan individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mendapat pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi. Karena itu, eksistensi korupsi jelas mengindikasikan, hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain. Korupsi juga berarti penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang pegawai atau pejabat pemerintahan untuk mendapatkan tambahan pendapatan dari publik. [7]

Wacana Korupsi di Indonesia
Istilah korupsi hadir pertama kali dalam khasanah hukum Indonesia dalam peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/031/1958 tentang peraturan pemberantasan korupsi. Kemudian, dimasukkan juga dalam undang-undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini kemudian dicabut dan digantikan oleh undang-undang Nomer 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian sejak tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang-undang No 31 Tahun 1999 dan akan mulai berlaku efektif paling lambat 2 tahun kemudian (16 Agustus 2001) dan kemudian diubah dengan Undang-undang No 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001. [8]

Pada saat gerakan reformasi dikumandangkan di Indonesia, tepatnya pada tanggal 21 Juni 1998, sebuah organisasi non pemerintahan (ornop) dibentuk oleh orang-orang seperti Adi Adjono Sutjipto, Cristianto Wibisono, Eros Drajot, Daniel Dhakidae, Masdar F. Mas’udi, Munir (alm), Teten Masduki, T. Mulya Lubis, dan lainnya juga terkenal kental berjuang dengan integrasi dan komitmen yang tinggi akan pemerintahan yang demokratis, transparan, dan bersih dari KKN. Ornop ini yang kemudian cukup terkenal dengan komitmen memberantas korupsi dengan nama Indonesian Corruption Watch (ICW). Agen struktur, biasanya adalah aktor tingkat mikro, kehidupan kolektif seperti (buruh, petani) pun dapat menjadi agen. [9] ICW mengklaim bahwa pemerintahan di bawah tangan Soeharto sebagai pemimpinannya, keluarga, sahabat serta kroni-kroninya mewarisi segudang masalah korupsi yang gawat. Korupsi tidak saja mendominasi wolayah eksekutif dan yudikatif, tetapi juga lembaga legislatif hampir pada semua tingkatannya. Realitas ini diterima sebagai bagian dari kebudayaan yang menyimpang. Kehidupan ekonomi yang nyaris melumpuhkan kehidupan masyarakat Indonesia pada tahun 1997, banyak yang menuding dipicu atau diperburuk oleh masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Aktor utama korupsi adalah pemerintah dan sektor swasta, dan rakyat banyak menjadi korbannya yang utama. Untuk itu kenapa ICW lalu amat mempercayai bahwa gerakan anti korupsi harus bertumpu pada pemberdayaan rakyat untuk mengimbangi kolaborasi pemerintahan dan sektor swasta. Hal ini diwujudkan ICW adalah satu diantara sekian banyak lembaga independen yang berdiri memasang jarak, memperhatikan dari kejauhan kinerja pemerintahan atau secara langsung memberikan advokasi dan pengajaran politik kepada masyarakat. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa lembaga atau organisasi seperti ini baru merebak usai orde baru di bawah Soeharto dan gelombang reformasi mulai didengungkan pada akhir tahun 1998 kemarin. Dalam masa-masa awal kekuasaan Orde Baru, lembaga yang berkiblat pada masyarakat akan dituduh komunis, organisasi pers terlampau kritis akan dibredel bahkan elit pemerintah yang kurang simpati pada kebijakan yang ditelorkan pemerintahan akan menuai bencana pemecatan atau ditahan. [10]
Teori strukturasi (structuration) Anthony Giddens (1984) kunci pendekatan Giddens adalah melihat agen dan struktur sebagai dualitas, artinya keduanya dapat dipisahkan satu sama lain. Agen terlibat dalam struktur dan struktur melibatkan agen. Giddens menolak untuk melihat struktur semata sebagai pemaksa terhadap agen, tetapi melihat struktur baik sebagai pemaksa maupun penyedia peluang. [11]
Untuk memenuhi kebutuhan barang-barang ekonomi dan konsumtif ternyata banyak yang tidak dapat bersabar dan tabah, sehingga dalam kondisi terjepit karena didesak istri atau keluarga, memaksanya untuk menyelewengkan dalam tugas yaitu mengambil uang negara dengan cara tidak halal. Adapun faktor penyebab antara lain sebagai berikut:
1. ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mempu memberikan ilham dan memengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
2. kelemahan ajaran-ajaran agama dan etika
3. akibat kolonialisme atau suatu pengaruh pemerintah asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi
4. kurang dan lemahnya pengaruh pendidikan
5. kemiskinan yang bersifat struktural
6. sanksi hukum yang lemah
7. kurang dan terbatasnya lingkungan yang antikorupsi
8. struktur pemerintahan yang lunak
9. perubahan radikal, sehingga terganggunya kestabilan mental. Ketika suatu sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit tradisional
10. kondisi masyarakat, karena korupsi dalam suatu birokrasi bisa memberikan cermin keadaan masyarakat secara keseluruhan. [12]

Dari kesepuluh poin pemyebab diatas akan di golongkan menjadi tiga faktor.
Pertama, faktor politik. Hal ini disebabkan oleh politik atau yang berkaitan dengan masalah kekuasaan. Di Indonesia dua puluh tahun lalu yaitu 1970 telah dilanda badai korupsi pada berbagai sektor kehidupan masyarakat. Perkembangan korupsi ketika itu nampaknya terpelihara dan secara tertutup dilindungi oleh mereka yang berkuasa. Suatu bentuk dalam sejarah korupsi di Indonesia telah terungkap baru-baru ini, yakni peranan bank-bank dalam meningkatkan korupsi. Periode sebelumnya sangat sulit untuk mendeteksi kegiatan korupsi di bank yang memeng dikendalaikan oleh penguasa bank yaitu para direkturnya. Kini, yang biasa terjadi adalah korupsi para pejabat bank dalam bentuk komisi-komisi. Atau penyuapan untuk setiap pinjaman yang diperoleh dari bank, namun dengan jaminan keamanan yang cukup.
Kedua, faktor yuridis. Yaitu berupa lemahnya sanksi hukuman, hal ini terkait dua aspek. Pertama, yang menyangkut peranan hakim dalam menjatuhkan putusan. Aspek yang kedua, adalah sanksi yang memang lemah berdasarkan bunyi pasal-pasal dan ayat-ayat pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Ketiga, faktor budaya. Yaitu berdasarkan peninggalam pandangan feodal, yang sekarang menimbulkan benturan kesetiaan yaitu antara kewajiban-kewajiban terhadap keluarga dan kewajiban terhadap negara. Oleh karena itu, banyak orang terkemuka seperti pejabat dalam masyarakat Indonesia, meskipun berpangkat rendah menganggap biasa melakukan korupsi. [13]

Tindakan Korupsi “Panser Raksasa” Di Indonesia
Anthony Giddens melihat modernitas sebagai “juggernaut” (panser raksasa) yang lepas control. [14] Deretan kasus korupsi di Indonesia sepanjang sejarah sangat panjang. Berapa kasus yang telah ditangani seperti gunung es, yang muncul kepermukaan adalah itu yang diketahui oleh lembaga pemberantas korupsi. Tersangka yang terjerat Pengadilan Tipikor merupakan orang yang tidak bisa berdalih lebih panjang dalam melawan hakim. Berikut adalah kasus korupsi yang diambil dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). [15]
Nama dan Jabatan Dugaan Kasus Keterangan
Ranendra Dangin (mantan Direktur Keuangan PT Rajawali Nusantara Indonesia)
Diduga mengambil sebagian dari total keuntungan PT RNI sebesar Rp.33 miliar ketika perusahaan itu ditunjuk sebagai pengimpor gula putih pada 2001-2004 Ditetapkan sebagai tersangka (9/10/2008)
Mulai diadili (Pengadilan Tipikor 30/3/2009)
Tuntutan 4 tahun (Pengadilan Tipikor 1/6/2009
Vonis 3 tahun (pengadilan Tipikor 22/6/2009)
Bagindo Quiniro (Mantan Ketua Tim auditor Badan Pemeriksa Keuangan Di Depnakertrans) Diduga telah menerima uang saat mengaudit proyek negara pelatihan dan pemagangan di Depnakertrans pada tahun 2004 Ditahan (19/2/2009)
Direktur Utama Kimia PT. Farma Trading, Gunawan Pranoto dan Rifai Yusuf dari PT Rifa Jaya Mulia Korupsi pengadaan di Departemen Kesehatan tahun 2003 dengan kerugian negara sekitar Rp.71 miliar Ditetapkan sebagai tersangka (2/3/2009)
Syahrial Oesman (Mantan Gubernur Sumatra Selatan) Korupsi alih fungsi hutan lindung Pantai Air Telang di Kabupaten Banyuasin, Sumsel seluas 600 hektar untuk pelabuhan tanjung Api-api Ditetapkan sebagai tersangka (12/3/2009)
Ditahan KPK (11/5/2009)
Mulai diadili (Pengadilan Tipikor 3/8/2009)
Hengky Samuel (rekanan Depdagri Direktur PT Istana Sarana Raya) Korupsi proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran di sejumlah kebupaten/kota Ditangkap KPK (19/6/2009)
Umar Syarifudin (Mantan Direktur Umum Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat Korupsi karena memungut biaya setoran modal dan biaya setoran pajak dari 33 cabang Bank Jabar Banten pada 2003-2004 senilai 37 miliar Ditangkap KPK (31/7/2009)

Tersangka korupsi kebanyakan adalah orang-orang wakil rakyat, sudah ada delapan anggota parlemen berlatar partai politik berbeda diproses secara hukum oleh KPK karena terlibat kasus korupsi. Belum lagi anggota-anggota DPR yang muncul dalam proses hukum kasus korupsi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dengan terpidana Rokhim Dahuri yang kini ditindak lanjuti KPK. Selain itu, kasus aliran dana Bank Ondonesia yang sedang diproses KPK juga membuka deretan nama anggota DPR yang diduga kecipratan dana haram itu. Setidaknya demikian domumen pemeriksaan tersangka Hamka Yamdu disebutkan. [16] Meskipun kian banyak anggota DPR yang tertangkap tangan menerima uang haram, tetapi kondisi ini masih dipandang sebagai puncak gunung es dari korupsi yang sebenarnya terjadi di parlemen. Pasalnya, hampir pada semua kewenangan DPR, baik pada konteks pengawasan, penganggaran, maupun legislasi, semua rawan praktik korupsi.
Akar masalah korupsi di parlemen, pertama, akuntabilitas politik DPR amat rendah. Hampir tidak ada mekanisme yang dapat menjamin akuntabilitas politik itu dijalankan. Saat ini, pertanggungjawaban kerja parlemen hanya sebatas laporan lima tahun yang dibuat satu kali menjelang masa jabatan mereka berakhir. Dari sisi akuntabilitas anggaran, memang ada audit reguler yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tetapi wilayah anggaran mereka sendiri. Wilayah kerja korupsi parlemen lebih banyak dilakukan pada perdagangan kekuasaan dan wewenang, baik dalam fungsi pengawasan, penganggaran, maupun legislasi.
Kedua, mekanisme perekrutan politik di internal partai politik yang melahirkan anggota DPR berorientasi uang kader yang cukup bagus, memiliki integritas tinggi, tetapi tidak memiliki cukup dana untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen, kecil kemungkinan mendapat tempat. Sebaiknya, kader-kader yang buruk integritasnya, tetapi memiliki akses luas terhadap uang dan elite partai, akan menjadi calon kuat. Loyalitas antara partai politik dan kadernya diikat oleh uang.
Ketiga, mahalnya ongkos politik, bagi politisi yang kemudian menjadi pejabat publik dan menguasai sumber daya ekonomi, pertama-tama yang dilakukan adalah mengembalikan investasi politik yang telah untuk menjadi pejabat publik, lalu menggunakan sumber daya publik yang disini korupsi menjadi mata rantai yang sulit diputus karena sudah dimulai sejak ranah partai politik. [17]
Penutup
Pelaku korupsi merupakan suatu struktur yang rasio sebagai hasil dari sedimentasi dari perulangan praktik korupsi yang berjalan dari waktu ke waktu. Tindakan immoral ini yang bisa dilakukan berkali-kali memiliki implikasi pada terbaliknya cara berfikir. Perasaan kesenangan yang dirasakan setelah mengkonsumsi hasil korupsi membawa pelaku sebagai keyakinan bahwa melakukan tindakan korupsi dianggap lebih rasional ketimbang menghindarinya. Semakin banyak tindakan korupsi maka semakin wajar untuk terus melakukannya. Struktur perilaku korup yang telah terbentuk dalam rasio pelaku kemudian dijadikan sebagai praktik sosial. Berdasarkan pada tingkat rasionalitasnya, hal tersebut adalah tindakan yang wajar, normal, dan telah membudaya. Pelaku korup seolah-olah mereka seperti mendapatkan timbal balik jasa, atas kerjanya. Rasionalitas ini pada akhirnya menularkan kepada orang sekitarnya, menimbulkan suatu kesepahaman akan tindakan korupsi tersebut. Terkadang orang yang menjadi korban akan melakukan hal serupa. Sehingga kerja korupsi terlihat secara sistematis, terorganisai, dan saling terkait dengan pihak yang lainnya. Beberapa kasus korupsi yang terorganisasi biasanya melibatkan pihak yang memiliki kekuasaan dan pihak yang menentukan perijinan. Semua pihak menjadikanya sebagai suatu struktur yang dianggap wajar. Struktur terdiri dari aturan dan sumberdaya, pada akhirnya dapat dilihat sebagai suatu ciri atau sifat dari sistem sosial.
Jadi struktur korupsi adalah aturan dan sumber daya yang terdapat pada rasio pelaku sebagai hasil sedimentasi dari perulangan praktik korupsi yang berjalan dari waktu ke waktu. Struktur yang terbentu dari perulangan praktik korupsi ini, selanjutnya akan menjadi sarana praktik korupsi berikutnya. Struktur korupsi ini pada akhirnya dapat dilihat sebagai sifat atau ciri-ciri dari sistem yang korup. Sistem yang korup merupakan pelembagaan dari struktur korupsi, yaitu atutan-aturan dan sumberdaya yang korup.