IBRAHIM BAPAK TAUHID UMAT MANUSIA oleh Ja'far Subhani

Posted by | Posted on 08.26


 MENGAPA ADA PEMUJAAN KEPADA MAKHLUK

Faktor-faktor  yang  menimbulkan  penyembahan   manusia kepada  ciptaan  adalah  ketidaktahuannya  dan tuntutan alami yang  mutlak  dalam  dirinya  yang  pada  umumnya mempercayai adanya suatu penyebab bagi setiap fenomena. Di satu sisi, manusia, yang dikuasai oleh kodrat alami, merasa harus mencari perlindungan di suatu tempat, pada suatu pewenang kuat yang mampu menciptakan sistem  yang unik  ini.  Namun,  di  sisi  lain, ketika ia bermaksud menempuh jalan ini tanpa tuntunan  para  nabi  -pemandu Ilahi  dan  telah  ditunjuk untuk menjamin kesempurnaan perjalanan rohani manusia- ia mencari perlindungan pada makhluk-makhluk  tak-bernyawa,  hewan,  ataupun  sesama manusia  sebelum  ia  dapat  mencapai  tujuannya   yang sesungguhnya,  yakni  Tuhan  Yang  Esa, dan mendapatkan jejak-jejak-Nya dengan mengamati tanda-tanda penciptaan dan  mencari perlindungan pada-Nya. Oleh karena itu, ia membayangkan bahwa inilah  obyek  yang  dicari-carinya. Melihat  ini,  para  ilmuwan mengakui, setelah mengkaji kitab-kitab Ilahi dan cara bagaimana dakwah disampaikan kepada manusia oleh para nabi serta argumentasi mereka, bahwa  tujuan  para  nabi  bukanlah  untuk   meyakinkan manusia   tentang   adanya   pencipta   alam   semesta. Sesungguhnya,  peran   mereka   yang   mendasar   ialah membebaskan manusia dan cengkeraman syirik (politeisme) dan  penyembahan  berhala.  Dengan  kata  lain,  mereka datang  untuk  mengatakan kepada manusia, "Hai manusia! Allah  yang  kita  semua  percaya  akan  keberadaan-Nya adalah  ini, bukan itu. Ia esa, bukan berbilang. Jangan memberikan status Allah kepada makhluk. Terimalah Allah sebagai Yang Esa. Jangan menerima mitra atau sekutu apa pun bagi-Nya."
Kalimat "tiada Tuhan  selain  Allah,"  membuktikan  apa yang  kami  katakan  di  atas. Inilah titik mula dakwah Nabi  Muhammad.  Maksud  kalimat  ini  ialah,  tak  ada sesuatu  yang  patut  disembah  selain  Allah,  dan ini berarti bahwa adanya  Pencipta  telah  merupakan  fakta yang   diakui,  sehingga  manusia  dapat  diajak  untuk menerima  kemaha-esaan-Nya.  Kalimat  ini   menunjukkan bahwa di mata manusia zaman itu, bagian pertama –adanya Tuhan yang menguasai alam semesta-  bukanlah  hal  yang perlu  dipertengkarkan.  Disamping itu, kajian terhadap kisah-kisah Qur'ani dan  percakapan  para  nabi  dengan umat zamannya memperjelas masalah ini.
[Catatan   kaki:   Tetapi,  bagaimana  konsepsi  mereka tentang  berhala?  Apakah  mereka  memandangnya   patut disembah  dan  hanya  untuk  menjadi perantara, ataukah mereka berpikir bahwa berhala-berhala itu pun mempunyai kekuasaan  seperti  Allah?  Masalah  ini berada di luar bahasan kita sekarang, walaupun pandangan  pertama  itu kuat dan terbukti.]

TEMPAT KELAHIRAN NABI IBRAHIM
Jawara   Tauhid  ini  dilahirkan  di  lingkungan  gelap penyembahan berhala dan  penyembahan  manusia.  Manusia menundukkan  kerendahan hati kepada berhala yang dibuat dengan tangannya sendiri, atau kepada  bintang-bintang. Dalam   situasi  ini,  hal  yang  mengangkat  kedudukan Ibrahim dan menyukseskan usahanya adalah kesabaran  dan ketabahannya.
Tempat   kelahiran  pembawa  panji  tauhid  ini  adalah Babilon. Para sejarawan  telah  menyatakan  negeri  itu sebagai  salah  satu dari tujuh keajaiban dunia. Mereka telah mencatat banyak  riwayat  tentang  keagungan  dan kehebatan   peradaban  wilayah  itu.  Sejarawan  Yunani kenamaan, Herodotus  (483-425  SM),  menulis,  "Babilon dibangun  di  sebuah  lapangan  persegi-panjang  setiap sisinya 480 km (120 league), sehingga kelilingnya 1.920 km.    Pernyataan   ini,   betapapun  dibesar-besarkan, mengungkapkan  realitas  yang   tak   terbantah-apabila dibaca bersama tulisan-tulisan lainnya.
Namun,    dari    pemandangannya   yang   menarik   dan istana-istananya yang tinggi, tak ada lagi  yang  dapat dilihat  sekarang  selain  tumpukan  lempung, di antara sungai Tigris  dan  Efrat,  yang  diliputi  kebungkaman maut.  Kebungkaman  itu  kadang-kadang  dipecahkan oleh para  orientalis  yang   melakukan   penggalian   untuk
mendapatkan informasi tentang peradaban Babilonia.
Nabi   Ibrahim,  pelopor  tauhid,  dilahirkan  di  masa pemerintahan  Namrud  putra  Kan'an.  Walaupun   Namrud menyembah   berhala,  ia  juga  mengaku  sebagai  tuhan (dewa). Dengan memanfaatkan kejahilan rakyat yang mudah percaya, ia memaksakan kepercayaannya kepada mereka.
Mungkin  nampak  agak  ganjil  bahwa  seorang penyembah berhala mengaku pula  sebagai  dewa.  Namun,  Al-Qur'an memberikan   kepada  kita  suatu  contoh  lain  tentang kepercayaan  ini.  Ketika  Musa  mengguncang  kekuasaan Fir'aun   dengan   logikanya   yang  kuat  dan  menguak kebohongannya  dalam   suatu   pertemuan   umum,   para pendukung   Fir'aun  berkata  kepadanya,  "Apakah  kamu
membiarkan Musa dan kaumnya membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?" (QS, Surah al-A'raf,  7:127).  Telah  termasyhur  bahwa Fir'aun  mengaku  sebagai  tuhan  dan biasa menyerukan, "Aku adalah tuhanmu yang  tertinggi."  Namun  ayat  ini menunjukkan bahwa ia juga seorang penyembah berhala.
Dukungan  terbesar  yang  diperoleh  Namrud datang dari para  astrolog  dan  penenung  yang  dipandang  sebagai orang-orang  pintar di zaman itu. Ketundukan mereka ini membuka  jalan  bagi  Namrud  untuk  memanfaatkan  kaum tertindas  dan  kalangan  bodoh.  Selain  itu, sebagian famili Ibrahim, misalnya Azar yang membuat berhala  dan
juga  memahami astrologi, termasuk pengikut Namrud. Ini saja  sudah  merupakan  halangan  besar  bagi  Ibrahim, karena  di  samping  harus berjuang melawan kepercayaan umum itu, ia  juga  harus  menghadapi  perlawanan  kaum kerabatnya sendiri.
Namrud telah menerjunkan diri ke dalam laut kepercayaan takhayul. Ia telah membentangkan permadani untuk  pesta dan   minum-minum   ketika  para  astrolog  membunyikan lonceng bahaya pertama seraya mengatakan, "Pemerintahan Anda  akan  runtuh  melalui  seorang putra negeri ini." Ketakutan laten Namrud bangkit. Ia bertanya, "Apakah ia telah  lahir  atau  belum?"  Para astrolog itu menjawab bahwa ia belum lahir. Ia kemudian memerintahkan  supaya
diadakan  pemisahan  antara  perempuan dan laki-laki-di malam yang, menurut ramalan  para  astrolog,  kehamilan musuh mautnya itu akan terjadi. Walaupun demikian, para algojonya  membunuh  anak-anak  laki-laki.  Para  bidan diperintahkan    untuk   melaporkan   rincian   tentang anak-anak yang baru lahir ke suatu kantor khusus.
Pada malam itu juga terjadi kehamilan  Ibrahim.  Ibunya hamil   dan,   seperti   ibu   Musa  putra  'Imran,  ia merahasiakan  kehamilan  itu.  Setelah  melahirkan,  ia menyelamatkan  diri ke suatu gua yang terletak di dekat kota itu, untuk melindungi nyawa anaknya tersayang.  Ia meninggalkan   anaknya   di   suatu   sudut   gua,  dan mengunjunginya di waktu siang  atau  malam,  tergantung situasi.  Dengan  berlalunya waktu, Namrud merasa aman. Ia percaya bahwa musuh tahta dan pemerintahannya  telah dibunuh.
Ibrahim  menjalani  tiga belas tahun kehidupannya dalam sebuah gua dengan lorong  masuk  yang  sempit,  sebelum ibunya  membawanya  keluar.  Ketika  muncul  di  tengah masyarakat, para pendukung Namrud merasa bahwa ia orang asing.  Terhadap  hal  itu,  ibunya  berkata, "Ini anak saya. Ia lahir sebelum ramalan para astrolog."  (Tafsir al-Burhan, I, h. 535).
Ketika  keluar  dari  gua, Ibrahim memperkuat keyakinan batinnya dalam tauhid dengan mengamati bumi dan langit, bintang-bintang  yang  bersinar, dan pohon-pohonan yang hijau. Ia menyaksikan masyarakat yang aneh.  Dilihatnya sekelompok   orang  yang  memperlakukan  sinar  bintang dengan sangat tolol. Ia  juga  melihat  beberapa  orang dengan  tingkat  kecerdasan  yang  bahkan lebih rendah. Mereka membuat berhala dengan tangan sendiri,  kemudian menyembahnya.  Yang  terburuk dari semuanya ialah bahwa
seorang manusia, dengan mengambil keuntungan secara tak semestinya dari kejahilan dan kebodohan rakyat, mengaku sebagai  tuhan  mereka  dan  menyatakan  diri   sebagai pemberi  hidup  kepada semua makhluk dan penakdir semua peristiwa. Nabi Ibrahim  merasa  harus  mempersiapkan  diri  untuk memerangi tiga kelompok yang berbeda ini.

IBRAHIM BERJUANG MELAWAN PENYEMBAHAN BERHALA
Kegelapan  penyembahan  berhala  telah meliputi seluruh Babilon, tempat lahir Nabi Ibrahim, Banyak tuhan  dunia dan  langit  telah  merenggut  hak menalar dan berpikir dari berbagai lapisan masyarakat. Sebagiannya memandang tuhan-tuhan itu memiliki kekuasaan sendiri, sedang yang lainnya memperlakukan mereka  sebagai  perantara  untuk memperoleh nikmat dari Tuhan Yang Mahakuasa.  

RAHASIA POLITEISME
Orang Arab sebelum datangnya Islam percaya bahwa setiap makhluk dan setiap gejala tentulah  mempunyai  penyebab tersendiri,  dan  bahwa  Tuhan  Yang  Esa  tidak  mampu menciptakan semuanya. Pada masa itu,  ilmu  pengetahuan memang  belum  menemukan  hubungan  antara  makhluk dan fenomena  alami  serta   berbagai   kejadian.   Sebagai akibatnya,  orang-orang  itu  mengkhayalkan bahwa semua mahluk   dan   berbagai    fenomena    alami    berdiri sendiri-sendiri  dan  tidak  ada kaitan satu sama lain. Karena  itu,  mereka  menganggap  bahwa  untuk   setiap fenomena  seperti  hujan  dan  salju,  gempa  bumi  dan kematian,  paceklik  dan  kesukaran,   perdamaian   dan ketentraman,   kekejaman  dan  pertumpahan  darah,  dan sebagainya,  ada  tuhannya  masing-masing.  Mereka  tak menyadari  bahwa  seluruh  alam  semesta  adalah  suatu kesatuan,  di  mana  bagiannya   saling   terkait   dan masing-masingnya mempunyai efek timbal balik.  
Pikiran  bersahaja  manusia  masa  itu belum mengetahui rahasia penyembahan kepada Allah  Yang  Esa  dan  tidak menyadari  bahwa  Allah  yang  menguasai  alam  semesta adalah Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahatahu, Pencipta yang bebas  dari  segala  kelemahan  dan  cacat.  Kekuasaan, kesempurnaan, pengetahuan, dan  kebijaksanaanNya  tiada berbatas.  Ia  di  atas segala sesuatu yang dianggapkan kepada-Nya. Tak ada kesempurnaan yang tidak Ia  miliki.
Tak  ada  kemungkinan yang tak dapat diciptakan-Nya. Ia adalah Allah Yang Esa  yang  mampu  menciptakan  segala makhluk  dan  fenomena tanpa bantuan dan dukungan siapa pun. Ia dapat menciptakan makhluk lain dengan cara yang sama  sebagaimana  Ia  menciptakan makhluk-makhluk yang ada sekarang.
Karena itu, secara nalar, adanya perantaraan dari suatu wewenang  yang  dapat  mengurangi  kemandirian kehendak Allah  yang  tidak  bersekutu,  tidak  dapat  diterima. Kepercayaan  bahwa alam semesta mempunyai dua pencipta, yang satu merupakan sumber kebaikan dan  cahaya  sedang yang   satu   lagi   merupakan   sumber  kejahatan  dan kegelapan, juga tak dapat diterima.  Kepercayaan  bahwa ada  perantaraan  oleh  seseorang,  seperti  Maryam dan 'Isa, dalam hal penciptaan  alam  semesta,  atau  bahwa pengaturan  tatanan  dunia  fisik telah dikuasakan pada seorang  manusia,  merupakan  manifestasi  syirik   dan kelebih-lebihan.  Penganut  tauhid,  dengan rasa hormat yang  sewajarnya  kepada  para  nabi  dan  orang  suci, memelihara  keyakinan  pada  Pencipta Alam Semesta, dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain.  
Metode yang digunakan para nabi untuk memberi pelajaran dan  tuntutan  kepada  manusia  ialah metode logika dan penalaran,  karena  mereka  berurusan  dengan   pikiran manusia.  Mereka berhasrat mendirikan pemerintahan yang didasarkan pada keimanan,  pengetahuan,  dan  keadilan, dan   pemerintahan  semacam  itu  tak  dapat  didirikan melalui kekerasan, peperangan, dan  pertumpahan  darah. Oleh  karena  itu,  kita  harus membedakan pemerintahan para  nabi  dengan  pemerintahan  Fir'aun  dan  Namrud. Tujuan  dari  kelompok  yang  kedua  ini  ialah amannya kekuasaan dan pemerintahan mereka  dengan  segala  cara yang  mungkin,  sekalipun  negara  akan  runtuh setelah mereka mati.  Sebaliknya,  orang-orang  suci  bermaksud mendirikan  pemerintahan  yang  membawa  maslahat  pada individu maupun masyarakat, baik penguasa itu kuat atau lemah  pada  suatu  waktu  tertentu, sementara ia hidup maupun sesudah ia mati. Tujuan semacam itu  tentu  saja tak dapat dicapai dengan kekerasan dan tekanan.
Ibrahim  pertama-tama berjuang melawan kepercayaan kaum  kerabatnya  yang  menyembah  berhala,  di   mana   Azar merupakan  pentolannya.  Sebelum  mencapai keberhasilan penuh dalam bidang ini, ia sudah  harus  berjuang  pada bidang  operasi  lainnya. Taraf pemikiran kelompok yang kedua ini agak lebih tinggi dan lebih jelas  dari  yang pertama.  Berlawanan  dengan agama para famili Ibrahim, mereka ini telah membuang makhluk-makhluk duniawi  yang hina  dan  tak berharga, lalu memuja bintang di langit. Ketika melawan  pemujaan  bintang,  Ibrahim  menyatakan dengan kata-kata sederhana sejumlah kebenaran filosofis dan ilmiah yang belum dipahami oleh  manusia  di  zaman itu,   bahkan   sekarang   pun  argumennya  menimbulkan kekaguman para sarjana yang sangat mengenal seni logika dan perdebatan. Di atas semua ini, Al-Qur'an juga telah mengutip argumen-argumen  Ibrahim,  dan  kami  mendapat kehormatan untuk mengutipnya dengan penjelasan singkat.  
Untuk dapat menuntun masyarakatnya, suatu malam Ibrahim  menatap ke langit  di  saat  terbenamnya  matahari  dan terus   terjaga   hingga   ia  terbenam  lagi  di  hari berikutnya.  Selama  24  jam  ini   ia   berdebat   dan berdiskusi   dengan   tiga  kelompok,  dan  menyalahkan
kepercayaan mereka dengan argumen-argumennya yang kuat.  
Kegelapan  malam  mendekat  dan  menyembunyikan  segala tanda  kehidupan.  Bintang  Venus yang cemerlang muncul dari suatu sudut cakrawala.  Untuk  merebut  hati  para pemuja  Venus,  Ibrahim menyesuaikan diri dengan mereka dan mengikuti garis pikiran mereka  seraya  mengatakan, "Itu  adalah  pemeliharaku."  Namun, ketika bintang itu tenggelam dan menghilang di suatu  sudut,  ia  berkata, "Saya  tak dapat menerima tuhan yang tenggelam." Dengan penalarannya yang alami, ia  menolak  kepercayaan  para pemuja Venus dan membuktikan kebatilannya.  
Pada  tahap  berikutnya,  matanya tertuju pada bundaran bulan yang bercahaya terang  dengan  keindahannya  yang memukau.  Dengan  maksud  merebut  hati  pemuja  bulan, secara lahiriah ia bersikap  seakan  bulan  itu  tuhan, tapi  kemudian  ia  merontokkan  kepercayaan itu dengan logikanya yang kuat. Demikianlah, ketika Yang Mahakuasa membenamkan  bulan  itu  di balik cakrawala, dan cahaya
serta keindahannya lenyap dari muka  bumi,  maka  tanpa menyinggung  perasaan  para  pemuja  bulan itu, Ibrahim berkata,  "Apabila  Tuhanku  yang  sesungguhnya   tidak membimbing aku, tentulah aku tersesat, karena tuhan ini terbenam seperti bintang dan tunduk pada suatu  tatanan dan  sistem  yang pasti yang dibentuk oleh sesuatu yang lain."
Kegelapan  malam  berakhir  dan  matahari  pun  muncul,  membuka cakrawala, dan menyebarkan sinar keemasannya ke muka  bumi.  Para  pemuja  matahari  memalingkan  wajah mereka    kepada   tuhannya.   Untuk   menaati   aturan perdebatan,  Ibrahim  juga  bersikap  seolah   mengakui ketuhanan   matahari.   Namun,   terbenamnya   matahari mengukuhkan bahwa ia  tunduk  pada  suatu  sistem  alam semesta   yang   umum,   dan   Ibrahim  secara  terbuka menolaknya  sebagai  yang  patut  disembah.(lihat   QS,al-An'am, 6:75-79)
Tak  diragukan  bahwa  saat  tinggal  di  gua,  melalui anugerah Ilahi yang  luar  biasa,  Ibrahim  mendapatkan dari sumber yang gaib pengetahuan batin tentang tauhid, yang merupakan kekhususan  para  nabi.  Namun,  setelah memperhatikan  dan mengkaji benda-benda langit, ia juga memberikan bentuk  argumentasi  pada  pengetahuan  itu. Dengan  demikian,  di  samping  menunjukkan  jalan  yang benar  kepada  manusia  dan  memberikan  kepada  mereka
sarana    bimbingan,    Ibrahim    telah   meninggalkan pengetahuan yang  tak  ternilai  untuk  digunakan  oleh orang-orang yang mencan kebenaran dan realitas.  

PENJELASAN LOGIKA IBRAHIM
Ibrahim  sangat  menyadari  bahwa  Allah menguasai alam semesta, tetapi  pertanyaannya  adalah:  Apakah  sumber kekuatan  itu terdiri dari benda-benda langit ini, atau suatu  Wujud  Yang   Mahakuasa,   yang   lebih   tinggi daripadanya?  Setelah  mengkaji  kondisi-kondisi  benda yang  berubah-ubah  ini,  Ibrahim   mendapatkan   bahwa wujud-wujud  yang cerah dan bersinar itu sendiri tunduk pada ketetapan -terbit, terbenam, dan  lenyap-  menurut sistem  tertentu dan berotasi pada suatu jalan yang tak berubah-ubah. Ini membuktikan bahwa mereka tunduk  pada kehendak  dari  sesuatu  yang lain; suatu kekuatan yang lebih  besar  dan  lebih  kuat  mengontrol  mereka  dan membuat   mereka   berotasi   pada   orbit  yang  telah ditentukan.
Marilah kita  bahas  masalah  ini  lebih  lanjut.  Alam semesta   sepenuhnya   memiliki  "peluang-peluang"  dan "kebutuhan-kebutuhan." Berbagai  makhluk  dan  fenomena alami  tak  pernah  lepas  dari  Yang Mahakuasa. Mereka membutuhkan Tuhan Yang  Mahatahu  dalam  setiap  detik, siang  dan  malam  - Tuhan yang tidak pernah lalai akan kebutuhan mereka.  Benda-benda  langit  itu  hadir  dan diperlukan  pada  suatu  saat  dan  tak hadir serta tak berguna pada saat  lainnya.  Wujud  seperti  itu  tidak mempunyai kemampuan yang diperlukan untuk menjadi tuhan dan  wujud  lainnya,  untuk  memenuhi   kebutuhan   dan keperluan mereka
Teori   ini   dapat  diperluas  dalam  bentuk  berbagai pernyataan  teoritis  dan  filosofis.  Misalnya,   kita mungkin mengatakan: Benda-benda langit ini bergerak dan berputar   pada   sumbunya    masing-masing.    Apabila gerakannya   itu   tanpa   pilihan   dan  atas  paksaan semata-mata, tentulah ada tangan yang lebih  kuat  yang mengendalikannya.   Apabila  gerakannya  sesuai  dengan kehendaknya sendiri,  haruslah  dilihat  apakah  tujuan dari   gerakan   itu.  Apabila  mereka  bergerak  untuk mencapai kesempurnaan, seperti benih yang bangkit  dari bumi  untuk  tumbuh menjadi pohon dan berbuah, maka itu berarti mereka memerlukan suatu wujud yang  independen, kuasa,    dan   bijaksana   yang   akan   menyingkirkan kekurangan-kekurangan mereka dan menganugerahkan kepada mereka  sifat  kesempurnaan. Apabila gerakan dan rotasi mereka  menuju  kepada  kelemahan  dan  kekurangan,  dan halnya  seperti  orang yang melewati usia puncaknya dan memasuki  sisi  usia  yang  salah,  maka  itu   berarti gerakannya  cenderung kepada kemunduran dan kehancuran, dan dengan demikian tidak sesuai dengan posisi  sebagai tuhan yang akan menguasai dunia dan segala isinya.  

METODE DISKUSI DAN DEBAT PARA NABI
Sejarah  para  nabi  menunjukkan  bahwa  mereka memulai program  reformasi  dengan  mengundang   para   anggota keluarga  mereka  kepada  jalan  yang  benar,  kemudian mereka memperluas dakwah itu  kepada  orang  lain.  Ini pulalah  yang  dilakukan  Nabi  Muhammad segera setelah beliau  ditunjuk  sebagai  nabi.  Pertama-tama   beliau mengajak  kaumnya  sendiri kepada Islam, dan meletakkan fundasi dakwahnya pada reformasi mereka, sesuai  dengan
perintah   Allah,   "Dan   berilah   peringatan  kepada kerabat-kerabatmu yang  terdekat."  (QS,  asy-Syu'ara', 26:2l3)
Ibrahim  juga  mengambil  metode  yang  sama. Mula-mula beliau  berusaha  mereformasi  kaum  kerabatnya.   Azar menduduki   posisi   yang  sangat  tinggi  di  kalangan familinya,  karena,  selain  terpelajar   dan   seorang seniman,  ia  juga  ahli  astrologi.  Di istana Namrud, kata-katanya       sangat       berpengaruh,        dan kesimpulan - kesimpulan   astrologinya   diterima   semua penghuni istana.
Ibrahim sadar bahwa apabila ia herhasil meraih Azar  ke pihaknya maka ia akan merebut benteng terkuat dari para penyembah berhala. Oleh karena  itu,  ia  menasihatinya dengan  cara  sebaik  mungkin  supaya  tidak  mcnyembah benda-benda mati. Tetapi, karena beberapa alasan,  Azar tidak  menerima  ajakan  dan  nasihat  Ibrahim.  Namun,
sejauh berhubungan dengan kita,  hal  terpenting  dalam episode  ini  ialah metode dakwah dan bentuk percakapan Ibrahim dengan Azar. Lewat kajian mendalam  dan  cermat terhadap  ayat-ayat  Al-Qur'an  yang merekam percakapan ini, metode argumen dan dakwah yang ditempuh para  nabi itu  menjadi  amat  sangat  jelas.  Marilah  kita lihat bagaimana  Ibrahim  mengajak  Azar  kepada  jalan  yang benar:
"Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, 'Wahai ayahku,  mengapa  kamu  menyembah  sesuatu  yang  tidak mendengar;  tidak  melihat,  dan  tidak  menolong  kamu sedikitpun. Wahai  ayahku,  sesungguhnya  telah  datang kepadaku  sebagian  ilmu  pengetahuan yang tidak datang kepadamu,  maka  ikutilah   aku,   niscaya   aku   akan menunjukkan  kepadamu  jalan  yang lurus. Wahai ayahku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya  syaitan itu  durhaka  kepada  Tuhan  Yang  Maha  Pemurah. Wahai ayahku,  sesungguhnya  aku  khawatir  bahwa  kamu  akan ditimpa  azab  dan  Tuhan  Yang  Maha Pemurah, sehingga jadilah kamu kawan syaitan.'" (QS, Maryam, 19:42-45)
Sebagai jawaban  atas  ajakan  Ibrahim,  Azar  berkata,  "Beranikah   engkau   menyangkal   tuhan-tuhanku,   hai Ibrahim? Bertobatlah dari ketololan itu!  Kalau  tidak, engkau  akan dirajam sampai mati. Keluarlah segera dari rumahku!"
Ibrahim yang murah hati menerima kata-kata  kasar  Azar ini  dengan ketenangan sempurna seraya menjawab, "Salam atasmu.  Aku  akan   memohon   kepada   Tuhanku   untuk mengampunimu."
Adakah  jawaban yang lebih pantas dan ucapan yang lebih patut daripada kata-kata Ibrahim ini?

APAKAH AZAR AYAH IBRAHIM?

Ayat-ayat yang dikutip di atas, maupun ayat (15)  surah at-Taubah  dan (14) surah al-Mumtahanah, seakan memberi kesan hubungan Azar dengan  Ibrahim  sebagai  ayah  dan anak.  Namun,  perlu  diinformasikan di sini bahwa dari perspektif Syi'ah, penyembah berhala Azar sebagai  ayah Ibrahim  tidaklah  sesuai  dengan  konsensus para ulama mereka yang percaya bahwa nenek  moyang  Nabi  Muhammad
maupun semua nabi lainnya adalah orang-orang takwa yang beriman  tauhid.  Ulama  besar  Syi'ah,  Syekh   Mufid, memandang anggapan ini sebagai salah satu pendapat yang disepakati seluruh  ulama  Syi'ah  dan  sejumlah  besar ulama  Sunni  (lihat  Awa'il al-Malaqat, hal. 12). Oleh karena  itu,  timbul  pertanyaan:  Apakah  sesungguhnya maksud  ayat-ayat  yang nampak jelas itu, dan bagaimana masalah ini harus dipecahkan?  
Banyak mufasir Al-Qur'an menegaskan bahwa walaupun kata ab  dalam  bahasa  Arab  biasanya  digunakan dalam arti  "ayah," kadang-kadang kata  itu  juga  digunakan  dalam leksikon  Arab  dan  terminologi  Al-Qur'an  dalam arti "paman." Dalam ayat berikut, misalnya, kata ab  berarti "paman"
"Adakah    kamu    hadir   ketika   Ya'qub   kedatangan [tanda-tanda]   maut,   ketika   ia   berkata    kepada anak-anaknya,  'Apa  yang  kamu  sembah sepeninggalku?' Mereka menjawab, 'Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan ab-Smu,  [yakni]  Ibrahim,  Isma'il, dan Ishaq, [yaitu] Tuhan Yang  Maha  Esa,  dan  kami  hanya  tunduk  patuh kepada-Nya." (QS, al-Baqarah, 2:133)
Tiada keraguan bahwa Isma'il adalah paman Ya'qub, bukan ayahnya, karena Ya'qub adalah putra Ishaq yang  saudara Isma'il.    Walaupun   demikian,   putra-putra   Ya'qub memanggilnya "ayah Ya'qub" yakni ab Ya'qub. Karena kata ini  mengandung  dua  makna,  maka  pada ayat-ayat yang berhubungan dengan diajaknya Azar ke jalan  yang  benar oleh Ibrahim, boleh jadi yang dimaksud dengannya adalah "paman."  Dan  boleh  jadi  pula  Ibrahim  memanggilnya "ayah,"  karena ia telah bertindak sebagai wali baginya dalam waktu  yang  panjang,  dan  Ibrahim  memandangnya sebagai ayahnya.

Comment (1)

Posting Komentar