PMB UNHAS LATENRITATTA

Posted by | Posted on 13.10

INILAH KADER ANGKATAN 2011 PMB UNHAS LATENRITATTA

tugas etika pemerintahan

Posted by | Posted on 12.30

NAMA : ANDI ASWIRMAN NIM : E121 09 003 JUR/PRODI : ILMU PEMERINTAHAN PLATO KONSEP NEGARA Plato menjelaskan bahwa puncak dari bentuk sebuah Negara adalah aristokrasi. Dimana kekuasaan Negara dipegang oleh para cerdik dan pandai. Semula para cerdik dan pandai ini melakukan segala sesuatu demi kepentingan umum. Namun, karena sifat manusia yang selalu berubah maka mereka tidak lagi melakukan demi kepentingan umum, tetapi mereka melakukan demi kepentingan mereka sendiri. Pemerintahan ini disebut timokrasi. Kaum yang mementingkan kepentingan mereka sendiri ini adalah kaum partikelir, dan beranggapan bahwa hanya orang-orang kaya saja yang dapat memerintah Negara. Kemudian kaum partikelir ini memiliki hasrat untuk lebih kaya lagi. Berubahlah bentuk Negara menjadi Oligarki. Hal ini menimbulkan adanya kebobrokan dan kesenjangan sosial, oleh karena itu kaum urban dan rakyat miskin bersatu untuk memberontak, mengingini kebebasan mereka. Setelah kekuasaan ada pada tangan rakyat, pemerintahan dengan bentuk seperti disebut demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Prinsip dari demokrasi adalah kemerdekaan dan kebebasan. Namun karena kemerdekaan dan kebebasan ini sangat di dewa-dewakan, maka timbul lah kebebasan yang tidak beraturan. Manusia menjadi bertindak sesuka hati, manusia ingin bebas sebebas-bebasnya dan merdeka semerdeka-merdekanya. Hal ini menimbulkan kekacauan dimana-mana, inilah yang disebut anarki. Untuk menangani hal ini, dibutuhkan seorang pemimpin bertangan besi, yang keras dan dipercaya dapat menjadi pemimpin. Namun demi tercapainya pemimpin tersebut melakukan segala cara demi menyingkirkan para saingannya, agar ia menjadi orang nomor satu di Negara tersebut dan manusia di negara itu tunduk padanya. Kemudian, pemimpin yang otoriter ini akan dicekal dan diturunkan yang kemudian digantikan oleh para cerdik dan pandai, yaitu aristokrasi. KONSEP PEMERINTAHAN Bentuk pemerintahan pada zaman Yunani Kuno mengutamakan peninjauan ideal (filsafat). Plato mengemukakan bahwa bentuk pemerintahan dapat dibagi menjadi lima, sesuai dengan sifat tertentu manusia, yaitu: 1. Aristokrasi: kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh aristokrat (cendekiawan), sesuai dengan pikiran keadilan. 2. Timokrasi: kekuasaan pemerintahan yang dilaksanakan oleh orang-orang yang ingin mencapai kemasyhuran dan kehormatan. 3. Oligarkhi: kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh orang-orang atau golongan hartawan. Keadaan ini melahirkan milik partikelir (swasta), sehingga orang-orang miskin pun akhirnya bersatu melawan kaum hartawan dan lahirlah demokrasi. 4. Demokrasi: kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh rakyat miskin (jelata); namun kesalahan pelaksanaannya berakhir dengan anarkhi. 5. Tirani: pemerintahan oleh seorang penguasa yang sewenang-wenang. Bentuk inilah yang paling jauh dari cita-cita keadilan. Telah dibuktikan melalui dialektika, aristokrasi merupakan bentuk pemerintahan terbaik dan bahwa prinsip keadilan yang dijalankan oleh orang-orang merdekalah yang membawa kebahagiaan. ARISTOTELES KONSEP NEGRA Konsep negara menurut Aristoteles adalah persekutuan dari keluarga dan desa untuk mencapai kehidupan sebaik-baiknya. Aristoteles menggunakan istilah Polis untuk untuk negara kota (city state) yang berfungsi sebagai tempat tinggal bersama warga negara dengan pemerintahan dan benteng untuk menjaga keamanan dan serangan musuh. Menurut Aristoteles, negara terjadi berkat adanya sifat kodrati setiap individu untuk hidup bersama. Ini secara tidak langsung telah menjelaskan bahwa manusia bukan semata-mata makhluk yang hanya ingin survive, melainkan makhluk yang mempunyai rasio dan berdasarkan itu mampu saling mengerti dan berdiskusi untuk mencapai kesejahteraan bersama. KONSEP PEMERINTAHAN Menurut dia pembedaan bentuk pemerintahan dapat dilakukan dengan kriteria kuantitatif, yaitu dilihat dari jumlah orang yang memerintah: 1. Monarkhi: kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh satu orang (raja/ kaisar). 2. Aristokrasi: kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh beberapa orang (cerdik pandai) 3. Polity: kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh banyak orang dengan tujuan untuk kepentingan umum. Aristoteles yang mengembangkan teori tersebut dari pendapat Herodotus (484-425 SM), menyatakan bahwa ketiga bentuk pemerintahan itu bersifat ideal dan bentuk metamorfosis masing-masing berturut-turut sebagai berikut: Tirani/ Diktator, Oligarkhi/ Plutokrasi, dan Okhlorasi. Pendapatnya berbeda dengan Plato. Menurut Plato, demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang ideal dan pemerosotannya berupa mobokrasi/ okhlorasi. Sedangkan Aristoteles justru menyatakan bahwa demokrasi merupakan bentuk kemerosotan polity. Keterangan: 1. Monarkhi berasal dari kata mono yang berarti satu dan archien yang berarti memerintah. Jadi, monarkhi adalah pemerintahan oleh satu orang, yaitu raja/ kaisar. 2. Tirani adalah pemerintahan oleh seseorang untuk kepentingan dirinya sendiri. 3. Aristokrasi berasal dari kata aristoi yang berarti cerdik pandai atau bangsawan dan archien. Jadi, aristokrasi adalah pemerintahan oleh kaum cerdik pandai demi kepentingan umum. 4. Oligarkhi berasal dari kata oligoi yang berarti sedikit atau beberapa dan archien. Jadi, oligarkhi adalah pemerintahan oleh beberapa orang untuk kepentingan mereka sendiri. 5. Plutokrasi berasal dari kata plutos yang berarti kekayaan dan archien atau kratein. Jadi, plutokrasi adalah pemerintahan oleh orang-orang kaya atau untuk mencari kekayaan. 6. Polity adalah pemerintahan oleh orang banyak dengan tujuan untuk kepentingan umum. Bentuk pemerintahan ini menurut Aristoteles bisa merosot menjadi demokrasi, yaitu pemerintahan yang diselenggarakan oleh orang banyak tetapi tidak bertujuan demi kesejahteraan seluruh rakyat. 7. Mobokrasi adalah pemerintahan yang diselenggarakan oleh rakyat yang sesungguhnya tidak tahu apa-apa atau tidak memahami pemerintahan. 8. Okhlorasi berasal dari kata okhloh yang berarti orang biadab, tanpa pendidikan, atau rakyat hina dan kratein. Jadi okhlorasi adalah pemerintahan yang dilaksanakan oleh orang yang biadab, tanpa pendidikan atau rakyat hina. 9. Anarkhi berasal dari kata an yang berarti tidak atau bukan dan archien. Jadi, anarkhi berarti tanpa pemerintahan/ kekuasaan. Seseorang atau sekelompok orang disebut bertindak anarkhis apabila ia atau mereka berlaku seolah-olah ia atau mereka sendirilah yang berkuasa atau menganggap kekuasaan pemerintahan yang sah tidak ada. THOMAS HOBBES KONSEP NEGARA PEMERINTAHAN DAN PEMERINTAH. Hobbes menggambarkan negara sebagai makhluk raksasa dan menakutkan yang melegitimasikan diri semata-mata karena kemampuannya untuk mengancam. Hal itu dikarenakan pada pemerintahan di zamannya terkenal dengan negara yang absolut. Hobbes tidak mau membenarkan kesewenangan para raja, melainkan ia mau mendasarkan suatu kekuasaan negara yang tidak tergoyahkan. Pendasaran itu dilakukan dengan secara konsisten mendasarkan kekuasaan negara pada kemampuannya untuk mengancam para warga negara Hobbes mengadakan dua reduksi yang sangat radikal : 1. Mengesampingkan kebebasan kehendak manusia 2. Mengembalikan segala kelakuan manusia pada satu dorongan saja Pandangan Hobbes ini mempunyai dua akar yang satu bersifat teologis dan yang satunya berlatar belakang ilmu alam. Hobbes mengadakan penelitian, yang kesimpulannya seluruh kelakuan manusia memang dapat dikembalikan pada satu motivasi saja yaitu pada perasaan takut terhadap maut, atau pada naluri untuk mempertahankan nyawanya Jadi menurut Hobbes pengaruh emosi dan nafsu atas tatanan masyarakat dapat dinetralisasikan. Manusia dapat diatur more geometrico, secara mekanistik. Apalagi organisasi masyarakat disusun sedemikian rupa hingga manusia merasa aman dan bebas sejauh ia bergerak dalam batas-batas hukum, dan terancam mati sejauh tidak, kehidupannya dapat terjamin berlangsung dengan teratur dan tentram. Pandangan inilah dasar filsafat negara Hobbes Negara itu benar-benar sang Leviathan, binatang purba itu yang mengarungi samudera raya dengan perkasa, tanpa menghiraukan siapapun. Kekuasaannya mutlak. “Siapa yang diserahi kekuasaan tertinggi, tidak terikat pada hukum negara (karena itu akan berarti bahwa ia berkewajiban terhadap dirinya sendiri) dan tidak memiliki kewajiban terhadap seorang warga negara. Masyarakat hanya tinggal menerima, atas dasar norma-norma moral dan keadilan pun negara tidak dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Karena apa yang harus dianggap adil ditentukan oleh negara sendiri. Maka menurut Hobbes negara tidak dapat bertindak dengan tidak adil. Penguasa melalui tindakan apapun tidak dapat melakukan sesuatu yang melanggar keadilan terhadap seorang bawahan dan tidak dapat didakwa bertindak dengan tak adil. Hobbes juga menolak segala pembagian kekuasaan negara. Negara, sang Leviathan, oleh Hobbes juga dijuluki “manusia buatan” dan Deus mortalis, “Allah yang dapat mati”. Negara itu manusia buatan karena hasil rekayasa manusia itu mirip dengan manusia:negara mempunyai kehidupan dan kehendak sendiri. Dan ia bagaikan Allah. Ia memang dpt mati, artinya bubar. Tetapi selama ia ada, ia seperti Allah, merupakan tuan atas hidup dan mati manusia, ia berwenang untuk menetapkan apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang adil namanya dan apa yang tidak, dan terhadap siapapun negara tidak perlu memberikan pertanggung jawaban Hobbes merekayasa Negara sebagai Leviathan karena ia memahami manusia sebagai mekanisme yang hanya mengikuti dorongan-dorongan irasionalnya saja. Rasionalitas; sosialitas dan keterbukaan manusia pada transendesnsi dikesampingkan. Penguasa memandang rendah pada masyarakat, yang tidak menghormati cita-cita, penilaian dan kehendaknya, yang memerintah dengan congkak dan dari atas, dengan menindas kritik dan menumpas pandangan lain, dengan demikian hanya membuka kedoknya sendiri. Ia sendirilah yang beluim dapat membedakan antara manusia dengan binatang, yang tidak paham akan akal budi dan kebebasan manusia sebagai mutiara anugerah Sang Pencipta. Negara Leviathan dipandang dari sudut Etika Politik Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia. Etika dibagi menjadi : 1) Etika Umum (mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia) dan 2) Etika Khusus (membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam berbagai lingkup kehidupannya) Etika individual = mempertanyakan kewajiban manusia sebagai individu, terutama terhadap dirinya sendiri. Etika sosial = membahas norma-norma moral yang seharusnya menentukan sikap dan tindakan antar manusia Etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga Negara terhadap Negara, hukum yang berlaku dan lain sebagainya. Dua-duanya kebaikan manusia sebagai manusia dan kebaikannya sebagai warga Negara memang tidak identik. Aristoteles mengatakan bahwa identitas antara manusia yang baik dan warga Negara yang baik hanya terdapat apabila Negara itu sendiri baik. Sedangkan apabila Negara tersebut buruk, maka orang yang baik sebagai warga Negara hidup sesuai dengan aturan Negara buruk itu, adalah buruk, barangkali jahat, sebagai manusia dan sebaliknya dalam Negara buruk, manusia yang baik sebagai manusia, jadi seseorang yang betul-betul bertanggung jawab, akan buruk sebagai warga Negara, karena tidak dapat hidup sesuai dengan aturan buruk Negara itu. THOMAS AQUINAS KONSEP NEGARA PEMERINTAHAN DAN PEMERINTAH Ia mengatakan bahwa hakikat manusia adalah berasal dari tuhan, yang mana tuhan kemudian menetapkan bahwa manusia adalah makhluk sosial dan politik. Dalam tulisanya ia juga sering mengusung pola hukum yang meliputi hukum kodrat, hukum alam dan hukum abadi. Menurutnya negara merupakan aktualisasi sifat alamiah manusia, sehingga terbentuknya suatu negara merupakan cerminan kebutuhan kodrati manusia. Negara memuat serangkaian kewajiban salah satunya adalah mengarahkan setiap kelas-kelas sosial dalam masyarakat untuk mencapai tujuan bersama sesuai dengan doktrin kristiani meyakini keberadaan alam akhirat yang abadi. Dalam hal ini, pemikiran Thomas Aquinas tidak jauh berbeda dengan Santo Agustinus. Keduanya memiliki pandangan yang sama bahwa negara mesti dibentuk oleh nilai ketuhanan. Bentuk negara yang sesuai dengan cita-cita keduanya yakni politea. Thomas Aquinas berpikirn bahwa tentang kehendak bebas manusia dan tujuan akhir manusia yang selalu bermuara pada kebaikan, idealnya, pada tujuan ketuhanan. Meski tidak dijelaskan secara tersurat dalam berbagai tulisan baik Santo Agustinus dan Thomas Aquinas mengenai posisi demokrasi. sedikit sekali mereka menyinggung bentuk negara demokrasi. adapun Thomas Aquinas pernah mengatakan bahwa bentuk negara terbaik adalah monarki, dan yang terburuk adalah tirani denga tambahan demokrasi, setidaknya telah mendapatkan posisi yang lebih baik daripada dulu pada zaman filsuf. Menurutnya, demokrasi, meskipun buruk, tapi masih lebih baik daripada tirani. J.J. ROSESAU KONSEP NEGARA PEMERINTAHAN DAN PEMERINTAH Secara umum teori perjanjian negara menganggap bahwa negara itu tercipta adalah dengan persetujuan dari masyarakat. Mereka mengadakan suatu musyawarah untuk membentuk negara dan pemerintahan yang akan mengatur dan menjamin kepentingan individual mereka, sehingga kehidupan mereka secara individual dapat terjamin . Pemerintah dianggap sebagai institusi yang telah disepakati bersama diantara masyarakat dan dipilih dari anggota masyarakat itu sendiri, sehingga secara moral pemerintah ini juga harus bertanggung jawab kepada masyarakat karena masyarakat tersebutlah yang mengangkat mereka. Menurut Rousseau bahwa manusia pada hakekatnya adalah baik sehingga manusia pada saat sebelum adanya negara(state of nature) tetap dapat eksis. Berbeda halnya dengan Hobbes yang menganggap manusia merupakan mahluk yang saling memangsa, sehingga dianggapnya bahwa manusia merupakan serigala dengan manusia lainnya . Menurut konsep Hobbes ini karena manusia itu saling memangsa maka diperlukanlah adanya lembaga negara yang akan mengatur kehidupan masyarakat itu,sehingga ada lembaga yang menjamin dihargainya hak-hak alami manusia . Sementara Rousseau berpendapat sebaliknya bahwa manusia itu pada hakekatnya baik. Alasan pembentukan negara menurut dia adalah supaya ada kekuatan memaksa yang bersifat legal untuk mempergunakan kekerasan kalau terdapat pengingkaran terhadap hak alamiah manusia itu. Tetapi walaupun begitu jelasnya uraian yang te lah disampaikan oleh pemikir teori perjanjian sosial akan pembentukan negara dapat dikatakan bahwa teori ini bersifat a historis. Artinya adalah bahwa tidak ada satu negara di dunia ini terbukti dalam sejarah dibentuk berdasarkan permufakatan seluruh warga masyarakat dari negara itu. Sehingga dapat dikatakan bahwa teori yang telah dikemukakan ini hanyalah berfungsi sebagai alat analisis saja, tanpa pernah terbukti secara empiri. Tetapi teori ini telah memberikan sumbangan yang besar yang menempatkan warga negara sebagai variabel yang harus diperhatikan dan memegang peranan dalam kehidupan kenegaraan Garis besar kritikan Rousseau dalam semua karya tulisnya adalah pendapat yang mengatakan agar kembali ke alam (back to nature). Rousseau mempunyai kepercayaan yang kuat bahwa pada kodratnya manusia itu adalah baik, anggapan ini menjadi prinsip dasar dari tulisannya tentang etika, di mana hal ini bukan suatu keyakinan menurut inteleknya, tetapi kebalikan dari ketakutannya yang hakiki bahwa dia adalah orang yang jahat. Disebutkan juga oleh Rousseau bahwa manusia alamiah itu hidup dalam keadaan polos dan mencintai dirinya sendiri secara spontan. Ia bebas dari wewenang orang lain dan secara hakiki semua individu itu sama kedudukannya. Kepolosan manusia itu hancur sewaktu manusia untuk menjamin kebutuhan-kebutuhannya masuk kedalam kesatuan masyarakat. Dengan menusia telah bermasyarakat maka ketidaksamaan menjadi begian yang tak terpisahkan dengan kehidupan mereka, dan sebagai ketidaksamaan itu maka timbullah segala kemerosotan dan egoisme. Di lain pihak Rousseau melihat bahwa manusia tidak mungkin kembali kepada keadaan state of nature. Sosialisasi adalah yang tak dapat dihindari karena hanya dalam kesatuan masyarakat itu manusia dapat menjamin kebutuhan-kebutuhannya. Dalam hal ini Rousseau berhadapan dengan suatu dilemma yakni di satu pihak proses pemasyarakatan manusia menghasilkan suatu keadaan akan kehilangan akan kepolosan dan kebebasannya yang alamiah, sementara di pihak lain manusia itu tidak dapat tidak bermasyarakat. Untuk menghadapi realitas yang ada di hadapan Rousseau maka dia memandang diperlukannya suatu institusi negara yang dapat menjamin dengan sungguh-sunguh akan kebebasan setiap warga negara. Dalam hal ini antara kehendak negara dengan kehendak warganya tidak ada perbedaan ataupun pertentangan,melainkan ditandai oleh suatu identitas di mana spontanitas alamiah manusia tidak dipatahkan, melainkan ditampung. Dengan keadaan seperti itu individu yang masuk kedalam negara itu tidak kehilangan apa-apa dari individualitas alamiahnya. Sarana untuk merancang negara yang ideal menurutnya adalah paham kehendak umum. MONTESQUE KONSEP NEGARA PEMERINTAHAN DAN PEMERINTAH Montesquieu dikenal dalam literatur Barat bukan hanya sebagai pemikir dan filosof politik saja, melainkan ia dikategorikan sebagai sosiolog mendahului August Comte. Ia juga seorang sejarawan dan novelis terkemuka di zamannya. Gagasan-gagasannya mempengaruhi perkembangan pemikiran negara dan hukum di berbagai belahan dunia selama berabad-abad. Pengaruh pemikirannya mudah dilacak dalam konstitusi dan formulasi ketatanegaraan dunia modern. Karena mempengaruhi perumusan konstitusi Amerika di abad XVIII, maka ia dihormati di kalangan perumus konstitusi Amerika, seperti George Washington dan Thomas Jefferson. Gagasannya yang paling terkenal yaitu mengenai Trias Politica yang memisahkan kekuasaan negara ke dalam tiga bentuk, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Konsep ini kemudian diterapkan di negara-negara Eropa dan Amerika. Karya-karya Montesquieu yang monumental adalah mengenai sebab kebangkitan dan kejatuhan Romawi, The Considerations on the Causes of the Grandeur and Decadence of the Roman, Letters Persanes, dan Spirit of the Laws yakni karya yang berisi konsep-konsep hukum dan ilmu politik modern. Di bagian awal buku The Considerations on the Causes of the Grandeur and Decadence of the Roman yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1743, Montesquieu menjelaskan tentang hakikat Roma, ibu kota pemerintahan imperium Romawi. Menurutnya Roma bukanlah sebuah kota (city) dalam pengertian modern yang kita pahami sekarang ini, melainkan sebuah tempat pertemuan umum, di mana tidak terdapat kejelasan tentang siapa yang diperintah dan yang memerintah. Dengan demikian, Roma tidak dapat dijadikan sebagai sebuah model pemerintahan Bacaan Montesquieu tentang karya-karya Polybius mengajarkannya bahwa sebuah konstitusi (UUD) bisa menyelamatkan suatu negara, apapun bentuk negara tersebut. Konstitusi Republik Romawi misalnya, diyakini telah berhasil mencegah republik itu dari kehancuran total. Karena pengaruh Polybius itulah Montesquieu banyak memberikan perhatian pada paham konstitusionalisme pada zamannya. Sama halnya Machiavelli, Montesquieu juga mengagumi semangat kebebasan, seni memerintah dan seni perang bangsa Romawi, khususnya keahlian mereka dalam memanipulasi agama dan kebijakan-kebijakan luar negeri untuk digunakan demi kepentinganmereka. Agama misalnya, hanya diperkenankan sejauh ia memperkokoh struktur nilai-nilai kekuasaan negara kota. Agama harus diabdikan demi kebesaran, kesatuan dan kejayaan imperium Romawi. Agama yang tidak memiliki fungsi seperti itu tidak diakui keberadaannya. Akan tetapi, yang membedakan kedua pemikir ini adalah bahwa Machiavelli melihat orang-orang besar yang mengejar kemasyhuran dan kekuasaan sebagai individu yang berperan penting dalam pembentukan sejarah bangsa itu. Sedangkan Montesquieu tidak percaya bahwa sejarah dibentuk oleh orang-orang besar. Mereka memang membentuk lembaga-lembaga sosial politik, militer, dan lain-lain, tetapi setelah itu, maka individu-individu itulah yang diatur oleh lembaga-lembaga itu. Montesquieu lebih jauh mengungkapkan bahwa latar belakang kejayaan dan kejatuhan Romawi adalah karena watak mereka yang suka berperang dan membunuh.Menurut Montesquieu faktor moral juga cukup berpengaruh terhadap proses kejatuhan Romawi. Kekejaman, kebiadaban, dan kebrutalan para jenderal militer atau kaisar telah membuat rakyat tertindas. Rakyat yang tertindas berupaya mencari celah untuk menjatuhkan penguasa. Mereka memanfaatkan saat-saat krisis untuk menjatuhkan pemerintah kaisar. Perlawanan rakyat dari dalam, dan kemudian diiringi oleh serangan brutal suku bangsa di sekitar imperium membuat Romawi tak mampu bertahan. Seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwa salah satu ajaran Montesquieu yang paling terkenal dan diterapkan oleh berbagai negara hingga kini, yaitu Trias Politica(pembagian kekuasaan ) ke dalam tiga bagian. Tiga kekuasaan yang dimaksud yaitu kekuasaan legislatif atau pembentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif atau yang menjalankan undang-undang, dan juga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan menngadili. Pembagian ini sebenarnya telah dikemukakan sebelumnya oleh John Locke. Tetapi oleh Locke, kekuasaan yudikatif tidak dikemukakan, melainkan kekuasaan federative. Oleh Montesquieu sendiri, pembagian ketiga kekuasaan ini adalah untuk menjamin adanya kemerdekaan. Apabila kekusaan legislatif dan eksekutif disatukan pada tangan yang sama, tidak mungkin terdapat kemerdekaan. Kemerdekaan itupun juga tidak bisa ditegakkan jika kekuasaan mengadili tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan yudikatif. Kemudian menurutnya, kekuasaan legislatif haruslah terletak pada seluruh rakyat. Namun karena melihat luasnya sebuah negara yang pastinya akan menimbulkan kesulitan mengenai kekuasaan legislatif di tangan seluruh rakyat ini, maka maka dibentuk suatu dewan rakyat. Rakyat yang dimaksud Montesquieu adalah berupa dewan rakyat, bukan orang-orang yang mewakili rakyat. Dengan kata lain, mereka bukanlah wakil rakyat seperti yang kita pahami sekarang. Dewan rakyat dalam pengertiannya adalah semacam dewan yang terdapat dalam zaman Yunani dan Romawi kuno. Mereka yang menjadi anggota dewan rakyat merupakan mediator rakyat dan penguasa, menjadi komunikator, dan agregator aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Selanjutnya, berbicara mengenai perwakilan, menurut Montesquieu, hal ini bukan satu macam saja. Ia memandang bahwa perlu untuk memberikan pengakuan kepada kaum bangsawan dengan menempatkan perwakilan tersendiri bagi mereka. Dengan demikian maka perwakilan rakyat menjadi terbagi dua. Dengan kata lain, sistem yang dimaksudkan olehnya adalah sistem bicameral (dua kamar). Dimana satu bagian bagi kaum bangsawan, sedangkan bagian yang satunya diperuntukkan bagi kaum yang bukan bangsawan. Kedua bagian ini selanjutnya hanya mungkin bergerak dengan persetujuan salah satunya. Tiap bagian, atau biasanya disebut kamar, mempunyai veto terhadap keputusan bagian lain. Persesuaian anatara kedua kamar ini merupakan penerapan dari perlunya saling mengawasi di dalam pemerintahan pada umumnya. Montesquieu pun menekankan bahwa tiap kekuasaan yang dibagi tiga tadi, masing-masing saling mengawasi dan menghambat kemungkinan penyelewengan. Hal yang perlu diingat dari pembagian kekuasaan menurut Montesquieu, bahwa pembagian kekuasaan bukan berarti pemisahan secara mutlak. Dalam praktek yang diperlihatkan oleh sebuah negara yang kerap disebut sebagai contoh dari pelaksanaan teori Montesquieu, Amerika Serikat, dapat dilihat adanya saling pengaruh antara badan-badan yang memegang masing-masing kekuasaan, saling pengaruh yang dekat pada campur tangan dalam pekerjaan masing-masing dalam batas-batas tertentu. Selain sebagai pemikir poltik, Montesquieu juga merupakan pemikir di bidang hukum. Mengenai masalah hukum ini, ia melihatnya dalam pengertian yang amat luas. Hukum bersifat kompleks, berkembang, dan berubah. Segala hubungan yang mungkin ada dan yang dapat dibayangkan antara manusia adalah hukum. Malah hukumlah yang menyebabkan perbedaan antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu hukum pun melingkupi adat kebiasaan. Tetapi sebaliknya, Montesquieu melihat perbedaan antara hukum dengan kebiasaan. Di sini hukum dipergunakan dalam pengertian yang sempit, di mana hukum dekat dengan hukum yang dibuat, atau yang dibentuk. Menurut Montesquieu suatu hukum memiliki perbedaan sesuai dengan tempat dan waktu hukum itu berlaku. Perbedaan tempat dan masa ini menyebabkan adanya perbedaan kebiasaan dan ada istiadat. Pengaruh iklim, alam lingkungan sekitar dan sebagainya juga turut menjadi penyebab perbedaan hukum. Oleh sebab itu, terdapat perbedaan hukum dan sifat-sifat pemerintahan di tiap-tiap negara. Pemikir asal Prancis ini juga berpendapat bahwa keadilan merupakan suatu pengertian yang telah ada telebih dulu sebelum adanya hukum positif. Oleh sebab itu dalam suatu masyarakat, manusia harus menyesuaikan diri dengan keadilan. Hukum positif yang sesuai dengan keadilan itu adalah hukum yang benar. JOHN LOCK KONSEP NEGARA PEMERINTAHAN DAN PMERINTAH Menurut Locke, setiap negara itu pada awalnya terbentuk sebagai hasil perjanjian asali yang diadakan oleh beberapa orang yang setara. Perjanjian asali ini menetapkan bahwa orang-orang yang mengadakan perjanjian tersebut sepakat untuk mengangkat beberapa orang menjadi atasan mereka dan dengan hak untuk membuat hukum positif dan memerintah berdasar hukum tersebut. Tujuan dari kesepakatan dan pendelegasian kekuasaan ini adalah untuk pemeliharaan milik mereka, yakni menciptakan situasi sosial yang aman dan damai memungkinkan para warga menikmati milik pribadi (kehidupan, kebebasan, dan harta pribadi) mereka secara tenang. Mengapa mereka membuat perjanjian asali tersebut dapat dicari jawabannya pada apa yang terjadi sebelum perjanjian asali dibuat. Pada saat itu, mereka hidup dalam situasi social yang anarkis (tanpa pemerintahan) atau dengan kata lain berada dalam state of nature. Keadaan ini sebetulnya cukup baik tetapi terjadi juga ketidaknyamanan. Ketidaknyamanan itu berupa tidak adanya hukum yang baku, sistematis dan diakui yang melalui persetujuan bersama dianggap dan diakui oleh semua orang sebagai norma untuk yang adil dan tak adil dan sebagai tolok ukur umum untuk memutuskan pertengkaran mereka. Manusia tetap dipengaruhi oleh kepentingan mereka sendiri (par. 124) . Selain itu, dalam keadaan alamiah, tidak ada hakim yang diakui dan tak memihak untuk memutuskan segala pertengkaran dengan otoritas menurut hukum yang baku. Dalam keadaan itu, setiap orang adalah hakim sekaligus pelaksana hukum alam, namun mereka memihak diri mereka sendiri . Dalam keadaan alamiah, juga sering tidak ada kekuasaan untuk memberikan pegangan bagi putusan yang adil, untuk mendukung putusan itu dan memastikan pelaksanaan putusan itu. Karenanya, manusia perlu menyerahkan kebebasan alamiahnya dan mengikatkan diri pada belenggu-belenggu masyarakat sipil. Hal ini terletak pada konsensus dengan orang-orang lain untuk berkumpul dan bersatu menjadi sebuah masyarakat dengan tujuan untuk hidup bersama yang nyaman, aman dan damai, dengan menikmati hak milik mereka dengan aman dan dengan keamanan yang lebih besar terhadap semua orang yang tidak termasuk di dalam komunitas itu. Dengan demikian, pemerintah/negara mendapat otoritas untuk melakukan apa saja yang perlu demi terlidunginya milik pribadi para warga. Ada dua hak istimewa yang dimiliki pemerintah yakni: hak untuk membuat hukum positif dan hak untuk menerapkan hukum positif dan menghukum pelanggaran atasnya. Ini dimaksudkan supaya tercipta kebaikan umum (public good), yakni situasi sosial yang damai dan aman, yang memungkinkan para warganya menikmati kehidupan, kebebasan, dan hara pribadinya dengan nyaman IBNU KHALADUN KONSEP NEGARA PEMERINTAHAN DAN PEMERINTAH Menurut Ibn Khaldun manusia diciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan (dharury) (Muqaddimah: 41). Pendapat ini agaknya mirip dengan pendapat Al-Mawardi dan Abi Rabi’. Lebih lanjut, manusia hanya mungkin bertahan untuk hidup dengan bantuan makanan. Sedang untuk memenuhi makanan yang sedikit dalam waktu satu hari saja memerlukan banyak pekerjaan. Sebagai contoh dari butir-butir gandum untuk menjadi potongan roti memerlukan proses yang panjang. Butir-butir gandum tersebut harus ditumbuk dulu, untuk kemudian dibakar sebelum siap untuk dimakan, dan untuk semuanya itu dibutuhkan alat-alat yang untuk mengadakannya membutuhkan kerjasama dengan pandai kayu atau besi. Begitu juga gandum-gandum yang ada, tidak serta merta ada, tetapi dibutuhkan seorang petani. Artinya, manusia dalam mempertahankan hidupnya dengan makanan membutuhkan manusia yang lain. (Muqaddimah: 42). Selain kebutuhan makanan untuk mempertahankan hidup, menurut Ibn Khaldun manusia memerlukan bantuan dalam hal pembelaan diri terhadap ancaman bahaya. Hal ini karena Allah ketika menciptakan alam semesta telah membagi-bagi kekuatan antara makhluk-makhluk hidup, bahkan banyak hewan-hewan yang mempunyai kekuatan lebih dari yang dimiliki oleh manusia. Dan watak agresif adalah sesuatu yang alami bagi setiap makhluk. Oleh karenanya Allah memberikan kepada masing-masing makhluk hidup suatu anggota badan yang khusus untuk membela diri. Sedang manusia diberikan akal atau kemampuan berfikir dan dua buah tangan oleh Tuhan. Dengan akal dan tangan ini manusia bisa mempertahankan hidup dengan berladang, ataupun melakukan kegiatan untuk mempertahankan hidup lainya. Tetapi sekali lagi untuk mempertahankan hidup tersebut manusia tetap saling membutuhkan bantuan dari yang lainnya, sehingga organisasi kemasyarakatn merupakan sebuah keharusan. Tanpa organisasi tersebut eksistensi manusia tidak akan lengkap, dan kehendak Tuhan untuk mengisi dunia ini dengan ummat manusia dan membiarkannya berkembang biak sebagai khalifah tidak akan terlaksana (Muqaddimah: 43). Setelah organisasi masyarakat terbentuk, dan inilah peradaban, maka masyarakat memerlukan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat betindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota masyarakat. Ini karena manusia mempunyai watak agresif dan tidak adil, sehingga dengan akal dan tangan yang diberikan Tuhan padanya tidak memungkinkan untuk mempertahankan diri dari serangan manusia yang lain karena setiap manusia mempunyai akal dan tangan pula. Untuk itulah diperlukan sesuatu yang lain untuk menangkal watak agresif manusia terhadap lainnya. Ia adalah seseorang dari masyarakat itu sendiri, seorang yang berpengaruh kuat atas anggota masyarakat, mempunyai otoritas dan kekuasaan atas mereka sebagai pengendali/ wazi’ (الوازع). Dengan demikian tidak akan ada anggota masyarakat yang menyerang sesama anggota masyarakat lain. Kebutuhan akan adanya seseorang yang mempunyai otoritas dan bisa mengendalikan ini kemudian meningkat. Didukung dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa seorang pemimpin (rais) dalam mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal, perdana Menteri, serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah Dinasti (daulah) atau kerajaan (mulk). (Muqaddimah: 139). Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini agaknya mirip dengan yang dikemukakan oleh Aristoteles, Farabi, Ibn Abi Rabi’, al-Mawardi. Sehingga pemikirannya dalam hal ini bukan hal baru, meskipun ia sendiri mengatakan bahwa teorinya ini adalah yang baru. Tetapi yang membedakannya bahwa penelitian yang dilakukan Ibn Khaldun dalam Muwaddimahnya bukan sekadar kajian filososif, melainkan kajian yang berdasarkan pada pengamatan Inderawi dan analisis perbandingan data-data yang obyektif, sebagai upaya untuk memahami manusia pada masa lampau dan kini untuk meramalkan masa depan dengan berbagai kecenderungannya. Sosiologi Masyarakat: Peradaban Badui, Orang Kota, dan Solidaritas Sosial Selain apa yang telah dipaparkan diatas, Ibn Khaldun berpendapat bahwa ada faktor lain pembentuk Negara (daulah), yaitu ‘ashabiyah (العصبـيّة). Teorinya tentang ‘ashabiyah inilah yang melambungkan namanya dimata para pemikir modern, teori yang membedakannya dari pemikir Muslim lainnya. ‘Ashabiyah mengandung makna Group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme, atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau disakiti. Ibn Khaldun dalam hal ini memunculkan dua kategori sosial fundamental yaitu Badawah (بداوة)(komunitas pedalaman, masyarakat primitif, atau daerah gurun) dan Hadharah (حضارة)(kehidupan kota, masyarakat beradab). Keduanya merupakan fenomena yang alamiah dan Niscaya (dharury) (Muqaddimah: 120). Penduduk kota menurutnya banyak berurusan dengan hidup enak. Mereka terbiasa hidup mewah dan banyak mengikuti hawa nafsu. Jiwa mereka telah dikotori oleh berbagai macam akhlak tercela. Sedangkan orang-orang Badui, meskipun juga berurusan dengan dunia, namun masih dalam batas kebutuhan, dan bukan dalam kemewahan, hawa nafsu dan kesenangan (Muqaddimah: 123). Daerah yang subur berpengaruh terhadap persoalan agama. Orang-orang Badui yang hidup sederhana dibanding orang-orang kota serta hidup berlapar-lapar dan meninggalkan makanan yang mewah lebih baik dalam beragama dibandingkan dengan orang yang hidup mewah dan berlebih. Orang-orang yang taat beragama sedikit sekali yang tinggal di kota-kota karena kota telah dipenuhi kekerasan dan masa bodoh. Oleh karena itu, sebagian orang yang hidup di padang pasir adalah orang zuhud. Orang Badui lebih berani daripada penduduk kota. Karena penduduk kota malas dan suka yang mudah-mudah. Mereka larut dalam kenikmatan dan kemewahan. Mereka mempercayakan urusan keamanan diri dan harta kepada penguasa. Sedangkan orang Badui hidup memencilkan diri dari masyarakat. Mereka hidup liar di tempat-tempat jauh di luar kota dan tak pernah mendapatkan pengawasan tentara. Karena itu, mereka sendiri yang mempertahankan diri mereka sendiri dan tidak minta bantuan pada orang lain (Muqaddimah: 125). Untuk bertahan hidup masyarakat pedalaman harus memiliki sentimen kelompok (‘ashabiyyah) yang merupakan kekuatan pendorong dalam perjalanan sejarah manusia, pembangkit suatu klan. Klan yang memiliki ‘ashabiyyah kuat tersebut dapat berkembang menjadi sebuah negeri (Muqaddimah: 120). Sifat kepemimpinan selalu dimiliki orang yang memiliki solidaritas sosial. Setiap suku biasanya terikat pada keturunan yang bersifat khusus (khas) atau umum (‘aam). Solidaritas pada keturunan yang bersifat khusus ini lebih mendarah-daging daripada solidaritas dari keturunan yang bersifat umum. Oleh karena itu, memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan. Maka solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat daripada solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan sanggup memimpin rakyatnya dengan sempurna. Solidaritas sosial menjadi syarat kekuasaan (Muqaddimah: 131). Di dalam memimpin kaum, harus ada satu solidaritas sosial yang berada di atas solidaritas sosial masing-masing individu. Sebab, apabila solidaritas masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas sosial sang pemimpin, maka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya (Muqaddimah: 132). Bangsa-bangsa liar lebih mampu memiliki kekuasaan daripada bangsa lainnya. Kehidupan padang pasir merupakan sumber keberanian. Tak ayal lagi, suku liar lebih berani dibanding yang lainnya. Oleh karena itulah, mereka lebih mampu memiliki kekuasaan dan merampas segala sesuatu yang berada dalam genggaman bangsa lain. Sebabnya, adalah karena kekuasaan dimiliki melalui keberanian dan kekerasan. Apabila di antara golongan ini ada yang lebih hebat terbiasa hidup di padang pasir dan lebih liar, dia akan lebih mudah memiliki kekuasaan daripada golongan lain (Muqaddimah: 138). Pendapat Ibn khaldun dalam hal ini tidak mengherankan, karena beliau melakukan penelitian pada masyarakat ‘Arab dan Barbar khususnya yang memang menjalani kehidupan sukar dipadang pasir. Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan. Karena solidaritas sosial itulah yang mempersatukan tujuan; mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Begitu solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tak ada hubungan dengannya. Jika solidaritas sosial itu setara, maka orang-orang yang berada di bawahnya akan sebanding. Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas lain, keduanya akan bercampur yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tinggi dari kedaulatan. Akhirnya, apabila suatu negara sudah tua umurnya dan para pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya, maka solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga ketika negara sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain. Dalam situasi demikian, negara akan memasukkan para pengikut solidaritas sosial yang kuat ke dalam kedaulatannya dan dijadikan sebagai alat untuk mendukung negara. Inilah yang terjadi pada orang-orang Turki yang masuk ke kedaulatan Bani Abbas (Muqaddimah: 139-140). Aka tetapi hambatan jalan mencapai kedaulatan adalah kemewahan. Semakin besar kemewahan dan kenikmatan mereka semakin dekat mereka dari kehancuran, bukan tambah memperoleh kedaulatan. Kemewahan telah menghancurkan dan melenyapkan solidaritas sosial. Jika suatu negara sudah hancur, maka ia akan digantikan oleh orang yang memiliki solidaritas yang campur di dalam solidaritas sosial (Muqaddimah: 140). Menurut Ibn Khaldun apabila suatu bangsa itu liar, kedaulatannya akan sangat luas. Karena bangsa yang demikian lebih mampu memperoleh kekuasaan dan mengadakan kontrol secara penuh dalam menaklukan golongan lain (Muqaddimah: 145). Tujuan akhir dari solidaritas sosial (‘ashabiyyah) adalah kedaulatan. ‘Ashabiyyah tersebut terdapat pada watak manusia yang dasarnya bisa bermacam-macam; ikatan darah atau persamaan keTuhanan, tempat tinggal berdekatan atau bertetangga, persekutuan atau aliansi, dan hubungan antara pelindung dan yang dilindungi. Khusus bangsa Arab menurut Ibn Khaldun, persamaan Ketuhananlah yang membuat mereka berhasil mendirikan Dinasti. Sebab menurutnya, Bangsa Arab adalah Bangsa yang paling tidak mau tunduk satu sama lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-masing ingin menjadi pemimpin. ‘Ashabiyyah yang ada hanya ‘ashabiyyah kesukuan/qabilah yang tidak memungkinkan mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. Hanya karena Agama yang dibawa oleh Nabi mereka akhirnya bisa dipersatukan dan dikendalikan (Muqaddimah: 151). Tetapi menurutnya pula, bahwa motivasi Agama saja tidak cukup sehingga tetap dibutuhkan solidaritas kelompok (‘ashabiyyah). Agama dapat memperkokoh solidaritas kelompok tersebut dan menambah keampuhannya, tetapi tetap ia membutuhkan motivasi-mativasi lain yang bertumpu pada hal-hal diluar Agama (Muqaddimah: 159). Homogenitas juga berpengaruh dalam pembentukan sebuah Dinasti yang besar. Adalah jarang sebuah Dinasti dapat berdiri di kawasan yang mempunyai beragam aneka suku, sebab dalam keadaan demikian masing-masing suku mempunyai kepentingan, aspirasi, dan pandangan yang berbeda-beda sehingga kemungkinan untuk membentuk sebuah Dinasti yang besar merupakan hal yang sulit. Hanya dengan hegemonitas akan menimbulkan solidaritas yang kuat sehingga tercipta sebuah Dinasti yang besar (Muqaddimah: 163). Dalam kaitannya tentang ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun menilai bahwa seorang Raja haruslah berasal dari solidaritas kelompok yang paling dominan. Sebab dalam mengendalikan sebuah negara, menjaga ketertiban, serta melindungi negara dari ancaman musuh baik dari luar maupun dalam dia membutuhkan dukungan, loyalitas yang besar dari rakyatnya. Dan hal ini hanya bisa terjadi jika ia berasal dari kelompok yang dominan. Khilafah, Imamah, Sulthanah Khilafah menurut Ibn Khaldun adalah pemerintahan yang berlandaskan Agama yang memerintahkan rakyatnya sesuai dengan petunjuk Agama baik dalam hal keduniawian atau akhirat. Maka pemerintahan yang dilandaskan pada Agama disebut dengan Khilafah, Imamah atau Sulthananh. Sedang pemimpinnya disebut Khalifah, Imam atau Sulthan. Khilafah adalah pengganti Nabi Muhammad dengan tugas mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia. Lembaga imamah adalah wajib menurut hukum agama, yang dibuktikan dengan dibai’atnya Abu Bakar sebagai khalifah. Tetapi ada juga yang berpendapat, imamah wajib karena akal/ perlunya manusia terhadap organisasi sosial. Namun hukum wajibnya adalah fardhu kifayah (Muqaddimah: 191-193). Ibn Khaldun sendiri menetapkan 5 syarat bagi khalifah, Imam, ataupun Sulthan, yaitu: 1. Memiliki pengetahuan. 2. Memiliki sifat ‘adil. 3. Mempunyai kemampuan. 4. Sehat Panca indera dan badannya. 5. Keturunan Quraisy. Berdasarkan teori ‘ashabiyah, Ibn Khaldun berpendapat sama dengan Pemikir Muslim sebelumnya tentang keutamaan keturunan Quraisy. Ia mengemukakan bahwa orang-orang Quraisy adalah pemimpin-pemimpin terkemuka, original dan tampil dari bani Mudhar. Dengan jumlahnya yang banyak dan solidaritas kelompoknya yang kuat, dan dengan keanggunannya suku Quraisy memiliki wibawa yang tinggi. Maka tidak heran jika kepemimpinan Islam dipercayakan kepada mereka, sebab seluruh bangsa Arab mengakui kenyataan akan kewibawaannya, serta mereka hormat pada keunggulan suku Quraisy. Dan jika kepemimpinan dipegang oleh suku lain, maka yang terjadi adalah pembangkangan serta berujung pada kehancuran. Padahal Nabi menginginkan persatuan, solidaritas, dan persaudaraan (Muqaddimah: 194). Tetapi menurut Ibn Khaldun hal ini jangan diartikan bahwa kepemimpinan itu dimonopoli oleh suku Quraisy, atau syarat keturunan Quraisy didahulukan daripada kemampuan. Ini hanya didasarkan pada kewibawaan dan solidaritas yang tinggi pada suku Quraisy pada saat itu, hingga ketika suku Quraisy telah dalam keadaan tidak berwibawa, atau ada suku lain yang mempunyai ‘ashabiyyah yang tinggi dan kebibawaan yang tinggi, dan juga kepemimpinan dari suku Quraisy sudah tidak dapat lagi diharapkan, maka kepemimpinan dapat berpindah ke suku atau kelompok lain yang mempunyai kewibawaan, solidaritas, dan kemampuan yang lebih. Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini mirip dengan pemikiran Al-Mawardi ataupun Ghazali, bahwa khalifah haruslah dari golongan Quraisy. Tetapi Ibn Khaldun merealisasikannya dengan teori ‘Ashabiyyah seperti dijelaskan diatas. Bentuk-Bentuk Pemerintahan Ibn Khaldun berpendapat bentuk pemerintahan ada 3: 1. Pemerintahan yang natural (siyasah thabi’iyah), yaitu pemerintahan yang membawa masyarakatnya sesuai dengan tujuan nafsu. Artinya, seorang raja dalam memerintah kerajaan (mulk) lebih mengikuti kehendak dan hawa nafsunya sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat yang akibatnya rakyat sukar mentaati akibat timbulnya terror, penindasan, dan anarki. Pemerintahan jenis ini dizaman sekarang menyerupai pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi, atau inkonstitusional. 2. Pemerintahan yang berdasarkan nalar (siyasah ‘aqliyah), yaitu pemerintahan yang membawa rakyatnya sesuai dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan. Pemerintahan yang berasaskan Undang-undang yang dibuat oleh para cendekiawan dan orang pandai. Bentuk Pemerintahan seperti ini dipuji disatu sisi tetapi dicela disatu sisi. Pemerintahan jenis ini dizaman sekarang serupa dengan pemerintahan Republik, atau kerajaan insitusional yang dapat mewujudkan keadilan sampai batas tertentu. 3. Pemerintahan yang berlandaskan Agama (siyasah Diniyyah), yaitu pemerintahan yang membawa semua rakyatnya sesuai dengan tuntunan agama, baik yang bersifat keduniawian maupun keukhrawian. Menurut Ibn Khaldun model pemerintahan seperti inilah yang terbaik, karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran Agama akan terjamin tidak saja keamanan dan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat. Dan karena yang dipakai sebagai asas kebijaksanaan pemerintahan itu adalah ajaran Agama, khususnya Islam, maka kepala Negara disebut Khalifah dan Imam. Khalifah, oleh karena ia adalah pengganti Nabi dalam memelihara kelestarian Agama dan kesejahteraan duniawi rakyatnya. Imam, karena sebagai pemimpin dia ibarat Imam Shalat yang harus diikuti oleh rakyatnya sebagai makmum (Muqaddimah: 191). Dari pembagian pemerintahan diatas, nampak bahwa Ibn Khaldun menempuh jalur baru dibanding Al-Farabi dan Ibn Abi Rabi’ dalam pengklasifikasian pemerintahan. Ia tidak memandang pada sisi personalnya, juga pada jabatan Imam itu sendiri, melainkan pada makna fungsional keimamahan itu sendiri. Sehingga menurutnya substansi setiap pemerintahan adalah undang-undang yang menjelaskan karakter suatu sistem pemerintahan.


tugas final pempolak

Posted by | Posted on 21.18


NAMA : ANDI ASWIRMAN NIM : E12109003 PRODI : ILMU PEMERINTAHAN OTONOMI DAN POLITIK LOKAL 1. OTONOMI Negara Indonesia merupakan suatu negara yang sangat strategis dalam lalu lintas ekonomi dunia. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki wilayah yang luas dan penduduknya yang lumayan besar 13.677 pulau bukanlah suatu daerah yang ringan untuk ditangani ditambah lagi macam ragam budaya yang beraneka. Oleh karena itu perlu kiranya suatu sistem pengorganisasian yang sistematik dalam pengaturan wilayah-wilayah dalam ruang lingkup negara kesatuan Republik Indonesia. Hukum administrasi negara merupakan hukum secara khusus mengenai seluk beluk daripada administrasi negara. Untuk sebagian hukum administrasi negara merupakan pembatasan terhadap pembebasan pemerintah, jadi merupakan jaminan bagi mereka yang harus taat kepada pemerintah, akan tetapi untuk sebagian besar hukum administrasi mengandung arti pula bahwa mereka yang taat kepada pemerintah menjadi dibebani berbagai kewajiban tugas bagaimana dan sampai dimana batasnya dan berhubung itu berarti juga bahwa wewenang pemerintah menjadi luas dan tegas. Sejalan dengan perkembangan zaman hukum administrasi negara yang berfungsi mengatur sarana bagi penguasa untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat dan mengatur cara-cara partisipasi warga negara dalam proses pengaturan dan pengendalian administrasi negara tersebut tidak lagi dapat memenuhi keinginan rakyat dimana dalam administrasi negara eksekutiflah yang paling berperan dan bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pemerintah administrasi negara. Dalam kehidupan kenegaraan peran pihak eksekutif dengan seluruh jenjang dan biro kratisasinya sangat-sangat besar, sedemikian besarnya sehingga ada kalanya administrasi negara diidentikkan dengan administrasi pemerintah negara. Di era reformasi ini hukum administrasi negara diharapkan benar-benar dapat memenuhi keinginan rakyat. Menurut UUD 1945 sistem pemerintahan negara Republik Indonesia memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah disamping harus menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi dan peran serta masyarakat, potensi dan keanekaragaman daerah seyogyanya disertai pula dengan berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang baik. Asas-asas umum pemerintahan yang baik itu meliputi: 1. Asas kejujuran 2. Asas kecermatan 3. Asas kemurnian dalam tujuan 4. Asas keseimbangan 5. Asas kepastian hukum Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintah kewenangan tersebut diberikan secara profesional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan-perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentralisasi dan tugas pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan yang diatur berdasarkan pembina tugas dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintah. Sebelumnya memang ada undang-undang nomor 32 tahun 1956 tentang perimbangan keuangan antar negara dengan daerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Akan tetapi UU no. 32 tahun 1956 sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan dalam mendukung otonomi daerah yang telah berkembang pesat. Oleh karena itu dipandang perlu menetapkan undang-undang yang mengaturnya yang terwujud dalam UU no. 25 tahun 1999. 2. POLITIK LOKAL Terhitung sejak itu, pada tahun 1999, Indonesia mencatatkan sejarah dalam memasuki era desentralisasi sesungguhnya. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi membuka peluang politik lokal mencari jalan keluar menuju kemandirian daerah. Dapat dibayangkan semangat euphoria putra-putra daerah memindahkan kekuasaan dari pusat ke daerah berarti juga memberikan kesempatan mereka untuk menjadi “raja-raja” baru daerah. Tidak sedikit daerah-daerah dengan sumber daya alam kuat berencana memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Langkah-langkah strategis Presiden Habibie saat itu selain memberikan kebebasan pers, kebebasan mendirikan partai-partai politik, pemilu bebas, dan pemberian referendum bagi masyarakat Timor Timur yang berujung lepasnya provinsi termuda Indonesia tersebut menjadi merdeka sepenuhnya. Dengan demikian UU Nomor 22/1999 telah memberikan dasar-dasar pemerintahan desentralisasi administratif yang sangat banyak kelemahannya. Menurut Michael Malley (2004) dan Turner et al (2003), aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah tersebut mengadung kelemahan karena tidak mengikutsertakan masukan dari daerah-daerah. Sekelompok elit bekerja secara tergesa-gesa melahirkan model desentralisasi ala Barat. Desentralisasi tersebut memang sengaja dirancang atas dasar titipan dari pemikiran-pemikiran Barat yang sangat itu sangat ingin memberlakukan model desentralisasi mereka ke negara-negara berkembang. Institusi-institusi internasional yang didanai oleh negara-negara maju berlomba-lomba menggelontorkan bantuannya bagi keniscayaan proses desentralisasi di Indonesia tanpa memperhatikan sendi-sendi kelembagaan di Indonesia yang sama sekali lemah dan tidak demokratis. Pemaksaaan model desentralisasi Barat tersebut sangat didukung oleh institusi semacam IMF dan World Bank yang memang memiliki kepentingan menggolkan skema bantuan keuangan untuk menolong ekonomi negara berkembang yang mengalami krisis pasca gonjang ganjing moneter 1997. Akibatnya, desentralisasi mengobarkan konflik lokal karena terjadi banyak kesalahpahaman interpretasi di kalangan pejabat daerah yang menginginkan perluasan kekuasaan dibandingkan sebaliknya. Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (2007) mengatakan bahwa dari sudut pandang tertentu undang-undang tahun 1999 itu menghidupkan kembali proses desentralisasi yang sempat terhenti di akhir 1950-an. Akan tetapi bila kita memandang dari sudut pandang lainnya, justru desentralisasi seperti memindahkan pola politik lama devide et impera di masa lalu ke dalam pemerintahan pusat yang bertindak seolah-olah sebagai pemecah belah kesatuan daerah-daerah. Pada prinsipnya, Undang-undang Nomor 22/1999 berusaha mendekatkan pemerintahan daerah agar lebih responsif kepada rakyatnya dan memberikan ruang transparansi lebih besar demi mencapai devolusi kekuasaan. Peran pemerintah pusat hanyalah terbatas sebagai penjaga malam saja karena sisa tanggung jawab setelah menjadi urusan daerah adalah meliputi: pertahanan keamanan nasional, kebijaksanaan luar negeri, masalah-masalah fiskal dan moneter, perencanaan ekonomi makro, sumber-sumber alam, kehakiman, dan eagama. Daerah memiliki kewenangan mengurus pekerjaan umum, pendidikan dan kebudayaan, pemeliharaan kesehatan, pertanian, perhubungan, industri, perdagangan, investasi, masalah-masalah lingkungan, koperasi, tenaga kerja, dan tanah (Ray dan Goodpaster, 2003). Di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, masalah desentralisasi semakin mencuat ke permukaan dengan bantuan liputan berbagai media. Masalah-masalah seperti korupsi, kepala daerah yang memainkan politik uang ketimbang melaksanakan janji pada konstituennya, kemudian wakil rakyat yang hanya mementingkan ‘perut’ sendiri, memaksa pemerintahannya melahirkan undang-undang ‘penangkal’ baru, yaitu Undang-undang Nomor 32/2004 dan 33/2004, masing-masing tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Menurut Malley (2004), pemerintahan Megawati bukanlah mengamandemen undang-undang yang ada, tetapi malah menggantinya sama sekali. Sekalipun demikian, perubahan tidak banyak memunculkan gejolak berarti, bahkan terbilang tidak mengalami hambatan berarti karena pemilu Bupati pertama di bulan juni 2005 berlangsung lancar. Pilkada memilih pemimpin daerah secara langsung bukan simbol-simbol partai seperti masa lalu mendorong masyarakat secara aktif berpartisipasi dalam kampanye dan datang berduyun-duyun mencoblos calon pilihannnya di bilik-bilik pemilihan. Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono diwarnai dengan kebijakan-kebijakan desentralisasi bernama pemekaran. Pemekaran adalah nama yang dipergunakan dalam proses desentralisasi yang menciptakan unit-unit administratif baru di dalam provinsi-provinsi dan distrik-distrik yang telah ada sebelumnya. Istilah tersebut mungkin meniru sistem redistricting di Amerika Serikat yang berarti pembentukan kembali distrik-distrik.9 Proses redistricting di Amerika Serikat sama sekali bukan hal yang spesifik karena setiap tahun pemilihan hampir dapat dipastikan karena perubahan laju pertumbuhan penduduk, urbanisasi, imigrasi, dan emigrasi, sehingga peta wilayah pemilihan harus selalu disesuaikan. Lain halnya dengan proses serupa di negara-negara Afrika terutama Nigeria, pemekaran hampir selalu dikaitkan dengan maksud-maksud politis tertentu seperti penguasaan sumber-sumber daya alam, kekuasaan segelintir elit daerah, dan peluang mendapatkan alokasi bantuan dana dari pusat. Ketika Mahkaman Konstitusi menyetujui tinjauan yuridis (judicial review) terhadap UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah di tahun 2008 yang memperbolehkan calon independen berkompetisi dalam ajang pemilihan kepala daerah dengan calon-calon kader partai politik, politik lokal seperti tidak terpisahkan dari proses politik dan demokrasi di Indonesia. Selama ini, menurut ketentuan perundangan dalam UU tersebut, calon kepala daerah hanya boleh diajukan oleh partai politik sehingga calon-calon lain di luar partai politik tidak diberikan kesempatan sama sekali maju dalam pilkada. Momen bersejarah ini sangat penting bagi terbukanya ruang partisipasi masyarakat lokal dalam memilih pemimpin dambaannya. Figur-figur partai politik akan dipaksa lebih memperhatikan aspirasi masyarakat ketimbang ambisi pribadi dan partai pengusungnya Walaupun demikian, jalan panjang masih harus dibenahi guna menggolkan calon-calon independen kepala daerah dalam pilkada masing-masing daerah. Aturan main dan batasan-batasan etika pengajuan calon masih terbentur dengan pola pemilihan lama yang mengandalkan kekuatan mesin-mesin politik partai dan uang sebagai jaminan kemenangan calon. Alhasil, calon independen sangatlah sulit memenangkan pilkada tanpa kehadiran partai politik pendukung. Padahal, terbukanya ruang bagi calon independen merupakan ajang pembelajaran masyarakat lokal menjalankan demokrasi sesungguhnya. Sejalan dengan fitrahnya berdemokrasi akan kembali kepada rakyatnya juga. Masyarakat berpartisipasi aktif dalam proses kehidupan sosial dan politik negaranya begitupun di tiap daerah tempat mereka tinggal. Keadaan seperti itu akan mendorong demokrasi ke level lokal. Tarik ulur antara proses demokratisasi pusat dan lokal serta interaksinya dengan sistem demokrasi di luar Indonesia, menghasilkan dinamika. Selain itu, desentralisasi terjadi di seluruh pelosok kabupaten dan kota di Indonesia turut menghasilkan dinamika politik lokal. Menguatnya politik lokal dapat dilihat dari gegap gempita pelaksanaan pilkada yang di tahun 2008 ini serentak terjadi di hampir 300-an lebih Kabupaten Kota termasuk ke 33 Provinsi. Dapat dibayangkan berapa energi, waktu, dan uang bermain dalam kontes demokrasi lokal tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa jauh kemanfaatan proses demokratisasi lokal tersebut bagi pembelajaran politik bagi masyarakat lokal yang bukan hanya sebatas menyuarakan kepentingannya saja. Namun lebih jauh, terlibat dalam setiap pengambilan keputusan yang akan berdampak pada kehidupan mereka. FENOMENA OTONOMI DAN POLITIK LOKAL YANG TERJADI di INDONESIA OTONOMI daerah sepanjang tahun 2003 belum memberikan otonomi kepada masyarakat-dengan maksud menyejahterakan masyarakat-sebagai hakikat utama otonomi daerah. Otonomi daerah masih hanya dinikmati oleh para elite lokal dengan mengeruk keuntungan politik dan finansial untuk kepentingannya sendiri.Utama pelaksanaan otonomi daerah itu adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Implementasi otonomi daerah itu sendiri baru dimulai awal tahun 2001. Namun, pijakan otonomi yang lebih khusus dilaksanakan pada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua yang masing-masing didasarkan pada UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi NAD dan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua. Khusus untuk Provinsi Papua, tahun ini terjadi dinamika yang menimbulkan pro-kontra. Secara tiba-tiba, pemerintah pusat mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 tertanggal 27 Januari 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, dan Irian Jaya Timur. Hal ini menimbulkan komplikasi baru dan menjadi persoalan tersendiri terhadap pelaksanaan UU Otonomi Khusus Papua. Di luar konteks Aceh dan Papua yang lebih berdimensi untuk mengatasi separatisme, di tempat lain masih terjadi konflik yang melibatkan pemerintah pusat-dalam hal ini Departemen Dalam Negeri-pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, partai politik, dan masyarakat. PADA awal tahun 2003, Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah memublikasikan hasil survei pelaksanaan otonomi daerah selama dua tahun. Kesimpulannya, otonomi daerah yang seharusnya menyejahterakan masyarakat ternyata dimanfaatkan oleh pejabat korup, preman, dan "tuyul birokrasi" yang berlindung di balik tameng otonomi (Kompas, 16/1/2003). Dua tahun pelaksanaan otonomi daerah itu telah membuat politisi lokal di DPRD "berfoya-foya" dengan membelanjakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memperkaya diri. Studi yang dilakukan staf pengajar di Badan Pendidikan dan Latihan Depdagri Dr Zuhan Arif Fakrullah terhadap belanja per tahun per anggota DPRD beberapa provinsi menunjukkan bahwa banyak belanja yang melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Untuk DPRD DKI Jakarta saja, pada APBD tahun 2001 belanja anggota DPRD DKI rata-rata per tahun per anggota DPRD mencapai Rp 1,059 miliar. Padahal, menurut PP 110 yang diperbolehkan untuk belanja DPRD DKI per anggota DPRD dalam setahun hanya Rp 354,766 juta. Belanja anggota DPRD DKI per bulan per anggota Rp 88,265 juta. Angka yang cukup fantastis untuk ukuran penghasilan rata-rata pegawai di Indonesia (Kompas, 13/1/ 2003). Di DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta, pada bulan Mei 2003 diramaikan dengan skandal "asuransi-gate" karena terjadi dugaan penyimpangan dana asuransi. Dana Rp 20 juta per tahun-untuk jaminan tiga tahun-yang seharusnya digunakan untuk premi asuransi, diduga tidak seluruhnya digunakan oleh anggota DPRD DIY. Bahkan, diduga ada anggota DPRD yang hanya menggunakan Rp 3 juta per tahun untuk premi asuransinya dan sisanya dipergunakan untuk kepentingan pribadi (Kompas, 1/05/2003). Mahasiswa Universitas Sriwijaya, Palembang, pertengahan Mei 2003 menduduki DPRD Sumatera Selatan (Sumsel) untuk memprotes kasus bagi-bagi dana operasional kepada anggota DPRD sebesar Rp 7,5 miliar melalui APBD Sumsel tahun 2003. Kecuali satu orang anggota, 74 anggota DPRD lainnya menerima dana operasional (Kompas, 25/5/2003). Selain soal upaya memperkaya diri-sendiri oleh para elite politik lokal, otonomi daerah tahun 2003 juga diwarnai dengan berbagai konflik pemilihan kepala daerah (pilkada) yang biasanya juga merupakan buntut berbagai kasus dugaan politik uang. Kasus pilkada Gubernur Lampung adalah yang paling dramatis tahun ini. Pasangan Gubernur/Wagub Lampung yang terpilih pada 30 Desember 2002, Muhammad Alzier Dianis Thabrani dan Ansory Yunus, akhirnya gagal menduduki kursi jabatan itu karena dugaan korupsi. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Tanjung Karang 25 Oktober 2003, jaksa mendakwa Muhammad Alzier Dianis Thabrani atas tindak pidana penipuan 500 ton pupuk milik PT Pusri Lampung (Kompas, 16/10/2003). Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Depdagri Tursandi Alwi ditunjuk sebagai Pelaksana Harian Gubernur Lampung. Pilkada bupati tak kalah serunya. Pilkada Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, tanggal 17 Oktober 2002 yang menghasilkan pasangan Rina Iriani- Sri Sadoyo, akhirnya terkatung-katung selama setahun lebih karena dugaan politik uang. Dugaan itu akhirnya tak terbukti dan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno mengeluarkan keputusan melalui kawat Mendagri Nomor T.130.33/ 1689/OTDA tertanggal 3 Desember 2003 agar pasangan itu segera dilantik (Kompas, 4/12/2003). Kemelut politik lokal selama setahun lebih karena berbagai kepentingan politik di DPRD Karanganyar tersebut mengakibatkan pemerintahan tak berjalan baik. Kemelut itu menyebabkan terbengkalainya sekitar 17 rancangan peraturan daerah yang seharusnya sudah mulai digarap DPRD Karanganyar (Kompas, 17/5/2003) Pemekaran wilayah tahun 2003 menambah rumit masalah otonomi daerah. Baru memasuki tahun 2003, Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat paripurnanya tanggal 27 Januari 2003 menyetujui pembentukan 23 kabupaten dan dua kota baru yang tersebar di 10 provinsi. Pemekaran itu tertuang dalam 10 rancangan undang-undang yang merupakan usul inisiatif DPR. Dasar pemekaran itu adalah UU No 22/1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Selain persyaratan potensi daerah dan kemampuan keuangan, syarat untuk membentuk kabupaten/kota adalah minimal memiliki tiga kecamatan. Terlalu mudahnya pembentukan kabupaten/kota baru itu segera memunculkan wacana untuk merevisi PP 129 dengan memperberat persyaratan pembentukan kabupaten/kota baru, misalnya, minimal lima kecamatan. Namun, wacana itu tidak berlanjut dengan langkah konkret karena sudah menunggu pemekaran 24 kabupaten/ kota baru tahun ini.Komisi Pemilihan Umum 10 Juni 2003 pernah meminta agar pemekaran daerah itu dihentikan maksimal bulan September 2003 karena dikhawatirkan akan mengganggu penetapan daerah pemilihan untuk Pemilihan Umum 2004. Namun, permintaan itu tak digubris. Buktinya, pada 20 November 2003, DPR dalam rapat paripurnanya menyetujui pembentukan 24 kabupaten/kota baru yang tersebar di 13 provinsi (13 RUU). Dengan persetujuan itu berarti sejak tahun 1999 telah terbentuk 110 kabupaten/kota baru. Jumlah itu hampir setara dengan sepertiga jumlah kabupaten/kota yang ada di era Orde Baru yang berjumlah 324 kabupaten/kota. Dalam sambutan pembentukan 24 kabupaten/kota baru itu, Mendagri Hari Sabarno mengakui, dimensi politis seperti aspirasi masyarakat yang didinamisasi oleh elite politik untuk membentuk daerah otonom banyak yang lebih menonjolkan aspek historis, wilayah kelompok etnis tertentu, dan sosial budaya. Pemekaran itu kurang memperhitungkan kemampuan ekonomi dan potensi daerah yang berbasis geografis dan demografis (Kompas, 21/11/2003) Dengan berbagai kasus nyata seperti di atas, tampak bahwa persoalan otonomi daerah tahun 2003 itu masih berkutat pada pemenuhan kepentingan pribadi para elite politik lokal sehingga kepentingan masyarakat banyak terabaikan.Namun, secara umum dinamika otonomi daerah yang berpijak pada UU No 22/1999 dinilai pemerintah relatif stabil dibandingkan ketika tahun pertama hingga kedua pelaksanaan UU tersebut. Depdagri, garda terdepan pemerintah dalam pelaksanaan otonomi daerah, mencatat banyak kemajuan. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Depdagri Oentarto Sindungmawardi mencatat, sepanjang tahun ini berbagai masalah yang dialami daerah, apakah itu eksekutif atau legislatif daerah, parpol ataupun tokoh daerah, pemecahannya adalah dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada. Mereka tahu batas-batasnya, mana yang untuk porsinya daerah, mana yang porsinya pusat. Kemajuan lain adalah kreasi daerah yang meningkat setelah implementasi UU No 22/1999. Jika sebelum itu daerah menunggu bola dari pemerintah pusat, sekarang di antara daerah sudah terjadi kompetisi antardaerah dan terdorong untuk melakukan kerja sama antardaerah. Daerah juga lebih bertanggung jawab sehingga dalam pembuatan kebijakan, seperti peraturan daerah atau pilkada, lebih berhati-hati karena mereka harus mempertanggungjawabkan apa yang diputuskan. "Jadi, sebetulnya rumusan UU No 22/1999 tidak ada masalah, tetapi dalam praktik format politik berbeda, dinamika politik berbeda. Makanya, mempengaruhi keluarannya," kata Oentarto. Ia memberi contoh dalam soal pemekaran daerah yang dirumuskan dalam UU No 22/1999 dengan UU sebelumnya, yaitu UU No 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah tidak berbeda. Hanya saja, dalam pelaksanaannya, pada masa UU No 5/1974 yang aktif adalah pemerintah untuk mengamati daerah-daerah mana yang siap dimekarkan. Namun, setelah UU No 22/1999, karena ada format dan dinamika politik yang berbeda, elite politik lokal memprovokasi kelompok-kelompok masyarakat untuk membentuk daerah otonom.Misalnya, jika ada suatu daerah yang kurang perhatian, lalu elite setempat berkepentingan dan merasa ingin punya bupati dan DPRD sendiri. Hal itu berarti ada tambahan jabatan-jabatan baru, yang pada gilirannya berarti ada peluang kedudukan politik dan perolehan finansial baru. "Elite politik lokal memanfaatkan kepentingan daerah untuk kepentingan sendiri. Bukan untuk kepentingan rakyat," kata Oentarto. Aspek lain dari pelaksanaan UU No 22/1999 yang bertumpu pada otonomi kabupaten/kota tersebut adalah "berkurangnya" wewenang para gubernur. Merekalah yang paling terpukul dengan UU No 22/1999 karena kebijakannya banyak dilangkahi oleh para bupati/wali kota. Oleh karena itu, mereka mendesak UU No 22/1999 direvisi. Memaparkan hasil Rapat Kerja Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Banda Aceh 24 September 2003, Ketua APPSI Sutiyoso mengemukakan bahwa hubungan pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota harus dipertegas lewat pemberian kewenangan dekonsentrasi pada gubernur yang rinci untuk semua bidang pemerintahan. Ini penting agar posisi gubernur di tingkat provinsi tidak asal dilewati oleh bupati atau wali kota dengan dalih menerapkan otonomi daerah. "Pemberian posisi yang jelas disertai kewenangan supervisi, fasilitasi, koordinasi, dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat kabupaten dan kota harus tegas. Artinya, harus dipahami bahwa gubernur adalah atasan dari bupati/wali kota," kata Sutiyoso, yang juga Gubernur DKI Jakarta (Kompas, 25/9/2003). Hasil Raker APPSI itu telah disampaikan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri pada 1 Desember 2003.Tentang wewenang gubernur tersebut, Oentarto menilai sebetulnya tidak ada yang salah dengan kewenangan gubernur di UU No 22/1999. Hanya saja formulasinya campur aduk antara gubernur dalam kapasitasnya sebagai kepala daerah dan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.Akan tetapi, para gubernur, terutama yang hasil pemilihan zaman Orde Baru, mengalami trauma psikopolitik karena dipilih oleh rezim Orde Baru. Kekuasaan gubernur waktu itu juga besar karena mereka juga menjadi penasihat Golkar di daerah sehingga bupati/wali kota dan DPRD takut. Sekarang, zamannya sudah memasuki zaman reformasi sehingga mereka mudah menjadi kambing hitam. Akibatnya, para gubernur tersebut menjadi minder."Itulah akibatnya gubernur berteriak-teriak seolah-olah kekuasaannya dikebiri dan kekuasaannya tidak ada. Padahal, mereka sendiri yang tidak menggunakan kewenangannya. UU No 22/1999-nya sudah betul," kata Oentarto. Berbeda dengan APPSI, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) yang tadinya sempat menolak revisi UU 22/1999 akhirnya mendukung revisi UU No 22/1999 yang merupakan hasil Rapat Kerja Nasional Ke-3 Apkasi 26 Agustus 2003 di Jakarta. Ketua Apkasi Syaukani menyatakan, Apkasi mendukung penuh revisi UU No 22/1999 sepanjang untuk memperkuat dan memberdayakan daerah, tidak mengarah pada resentralisasi dan tidak menimbulkan masalah baru. Apkasi meminta agar revisi itu difokuskan pada kejelasan pembagian kewenangan daerah agar tidak multitafsir dan tumpang tindih. Kewenangan pengawasan DPRD juga harus dipertegas. "Rencana pemilihan langsung kepala daerah hendaknya mempertimbangkan waktu dan sosialisasi pelaksanaannya," kata Syaukani, yang juga Bupati Kutai Kartanegara itu. MESKIPUN demikian, tuntutan untuk merevisi UU No 22/1999 tidak dapat terelakkan. Revisi UU No 22/1999 itu merupakan amanat Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang memerintahkan perintisan awal revisi yang bersifat mendasar terhadap UU No 22/1999. Selain itu, substansi UU No 22/1999 itu mesti menyesuaikan dengan hasil perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18. Dalam UUD 1945 itu ada perubahan mendasar dari istilah "kewenangan", seperti pada UU No 22/1999 menjadi sekadar "urusan pemerintahan". Perubahan istilah ini akan membawa implikasi besar dalam pelaksanaan otonomi daerah pascarevisi nanti karena pelimpahan kewenangan ke daerah seperti di UU No 22/1999 hanya menjadi sekadar pelimpahan urusan pemerintahan yang menimbulkan kesan resentralisasi. Sekarang ada dua naskah RUU Perubahan UU No 22/1999 tersebut, yaitu RUU usul DPR yang telah disepakati dalam rapat paripurna DPR 10 November 2003, dan RUU buatan Depdagri yang akan diserahkan ke DPR pada bulan Desember 2003. "Tak ada masalah dengan adanya dua RUU karena akan saling melengkapi," kata Oentarto. Perbedaan mendasar dari kedua draf RUU Perubahan UU No 22/1999 adalah RUU usul DPR lebih terfokus pada pilkada langsung, sedangkan pemerintah melakukan perubahan secara komprehensif terhadap materi UU No 22/1999. Di samping itu, pada Maret 2003 sempat beredar naskah RUU usulan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang akhirnya hanya menjadi kajian akademik karena terlalu radikal. "Dalam usulan LIPI itu otonomi tidak mesti dilaksanakan di kabupaten/kota karena potensi dan kemampuannya tidak sama. Oleh karena itu, otonomi tidak harus penuh. Bisa juga otonomi hanya dikenakan pada tingkat provinsi," kata Kepala Pengembangan Politik Nasional LIPI Sjamsuddin Haris. Oentarto mengemukakan, beberapa hal di UU No 22/1999 yang perlu diperjelas supaya tidak menimbulkan multitafsir di antaranya mengenai soal hierarki pemerintahan, kewenangan daerah mengelola sumber daya nasional, masalah kepegawaian, pilkada langsung, kewenangan DPRD, serta pemerintahan desa. Namun, Sjamsuddin mengamati adanya kegamangan pemerintah dalam revisi UU No 22/1999 tersebut karena tidak terlalu jelas kapan pembahasan RUU perubahan UU No 22/1999 itu akan dilakukan. Belum lagi setelah Pemilu 2004 nanti akan terbentuk Dewan Perwakilan Daerah yang memiliki kewenangan mengusulkan kebijakan otonomi daerah. Presiden Megawati sendiri berjanji revisi UU No 22/1999 akan selesai sebelum pelaksanaan Pemilu 2004 (Media Indonesia, 2/12/2003). Salah satu masalah utama pelaksanaan otonomi daerah selama tiga tahun ini, kata Sjamsuddin, adalah hampir tidak adanya peningkatan pelayanan masyarakat sebagai tujuan utama otonomi daerah. Hal itu karena tidak adanya standar pelayanan minimum di pemerintah daerah-pemerintah daerah yang mestinya dibuat oleh pemerintah pusat. Pendek kata, revisi UU No 22/1999 adalah keniscayaan. Akan tetapi, apabila hasil revisi UU No 22/1999 itu tidak menghasilkan peningkatan kesejahteraan rakyat, yang akan menikmati hanya elite politik lokal. Otonomi daerah hanyalah otonomi elite politik lokal.

pelantikan dan raker

Posted by | Posted on 04.32


tugas juga

Posted by | Posted on 04.28

NAMA : ANDI ASWIRMAN
NIM : E12109003
MATAKULIAH : KEPEMIMPINAN DALAM PEMERINTAHAN
KEPEMIMPINAN PANCASILA
Kepemimpinan pancasila adalah kepemimpinan yang berdasarkan pada kebijakan dalam suatu permusyawaratan. kepemimpinan yang dapat melanjutkan perjuangan untuk mengisi kemerdakaan bangsa Indonesia dengan pembangunan yang makin meningkat dan bermutu. Untuk memunculkan pemimpin-pemimpin unggul Bangsa Indonesia, perlu diuji, dilatih, dibina , dicoba , didewasakan dan dikembangkan kepemimpinan nya. Pemuda-pemudi yang berwawasan jatidiri bangsa, cinta tanah air, patriotisme , pantang menyerah, berjiwa kejuangan Pancasila dan UUD 1945 serta watak kokoh kuat, perlu ditemukan, dan dipersiapkan. Pemuda-pemudi yang ber-Citra Indosensia, bercitra khas Ibu pertiwi.. Kepemimpinan Pancasila adalah kepemimpinan khas bangsa Indonesia. Ciri Kepemimpinan Pancasila adalah, Penilaian dan dalam pengabdiannya. Penilaian keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan ini tidak dinilai didunia saja, tetapi juga dinilai di akherat. Maka moral kepemimpinan ini tidak hanya berhadapan dengan masyarakat didunia, akan tetapi berhadapan pula dengan Tuhan Yang Maha Esa di akherat.
SOSIAL BUDAYA
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing. Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat.
IMPLEMENTASI KEPMIMPINAN PANCASILA TERHADAP SOSIAL BUDAYA
Mencegah Disintegrasi Nasional.
Apabila pemahaman Pancasila sebagai ideologi negara tidak ditingkatkan dan tidak diimplementasikan, maka akan dapat terjadi fenomena sebagai berikut :
A. Pembuatan peraturan perundang-undangan tidak memperhatikan keterkaitannya dangan nilai dasar Pancasila, sehinga terjadi tari menarik antar pihak yang berkepentingan sesuai organisasinya, dan tidak lagi berorientasi kepada kepentingan bangsa dan negara.
B. Masuknya subtansi budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa kedalam berbagai aturan atau perundang-undangan nasional, tanpa memperhatikan nilai-nilai dasar Pancasila
C. Kendornya nilai-nilai kekeluargaan, semangat gotong royong, tenggang rasa, norma susila, kesopanan dan adat istiadat bangsa..
D. Munculnya sikap primordialisme, dimana sikap ini berwawasan sempit dan isolatif serta hanya mengutamakan kepentingan asal usul kelompoknya saja, seperti dinasti, ras, suku, golongan, daerah dan agama, yang sangat bertentangan dengan Pancasila.
Semua hal-hal tersebut diatas akan dapat mengurangi ketangguhan bangsa Indonesia dalam membangun masyarakat. Bangsa dan negara sesehingga dapat memecah belah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Siapapun yang menjadi pemimpin pada saat ini pasti akan menghadapi atau menerima situasi yang sangat sulit dalam menata bangsa ini. Sudah menjadi kewajiban semua komponen bangsa ini untuk membantu para pemimpin bangsa ini dengan melakukan upaya politik tentang Pancasila.
Pembangunan politik, keamanan, ekonomi, sosial, budaya, dan beragama harus didasarkan pada pemahaman terhadap Pancasila sesuai dengan situasi yang sedang berjalan. Rezim dalam suatu orde yang sedang berkuasa, cenderung menganggap tidak baik, menyingkirkan, bahkan menghancurkan apa saja yang berbau orde sebelumnya. Kini, mulai ada yang mempertanyakan Pancasila sebagai dasar sistem kenegaraan setelah Indonesia dalam kondisi terpuruk sekarang ini. Sementara itu proses implementasi Pancasila sekarang ini belum tergarap serius dan terumuskan secara konseptual.
Sebenarnya, dalam hal sikap konsistennya terhadap falsafah bangsa dan ideologi negara, pemerintahan Soekarno dan pemerintahan Soeharto memiliki kemiripan. Pancasila adalah pilihan satu-satunya yang dianggap ideal. Bedanya, dalam pemerintahan Soekarno yang diperingati tiap 1 Juni adalah hari kelahirannya. Dalam pemerintahan Soeharto yang diperingati adalah hari kesaktiannya, tiap 1 Oktober. Keduanya merupakan manifestasi sikap konsisten tersebut.
Proses implementasi dalam kedua masa orde tersebut memiliki kemiripan. Dalam era dua pemerintahan itu telah lahir kader-kader bangsa yang meyakini peran Pancasila sebagai bingkai kebangsaan dan perekat identitas nasional lewat proses pendidikan dan pelatihan. Proses inilah yang kemudian dianggap indoktrinatif dan sloganistik oleh generasi penerusnya.
Jika demikian persoalannya, bukan sistem kenegaraan yang berdasarkan Pancasila yang harus diganti, tetapi proses yang dianggap indoktrinatif dan sloganistik itu yang harus dibenahi. Namun, harus diingat, proses implementasi dan pensosialisasian suatu falsafah bangsa dan ideologi negara tidak sama sebangun dengan proses pembelajaran mata pelajaran di sekolah, dan tidak cukup hanya lewat proses pendidikan formal. Falsafah bangsa dan ideologi negara juga harus dipahami dalam konteks kebangsaan. Itu berarti Pancasila sebagai dasar sistem kenegaraan, harus dipahami perannya sebagai bingkai pluralitas dan modal utama integrasi nasional. Pemahaman ini harus ikut mewarnai proses implementasi dan pensosialisasian yang diterapkan.
Bukan mustahil berkat pemahaman seperti itulah pemerintah Soekarno maupun pemerintah Soeharto menerapkan cara-cara yang mirip, suatu cara yang kemudian dianggap indoktrinatif dan sloganistik. Tidak selalu rezim yang tergulingkan, semuanya selalu jelek dan harus disingkirkan. Tidakkah harus disingkap problem yang ada, masalah kulit luar atau persoalan isi, soal prinsip atau masalah teknis. Tidak semua cacat dan borok pemerintahan terdahulu hanya akibat proses implementasi dan pensosialisasian Pancasila yang mereka terapkan.
Perumusan cara implementasi dan pensosialisasian yang akan diterapkan terasa sangat mendesak sekarang ini. Pancasila harus menjadi bingkai kebangsaan dan perekat identitas nasional sebagai daya ketahanan kita dalam era global. Tanpa ketahanan kokoh, bangsa Indonesia bukan hanya tidak mampu bersaing, tetapi juga terlempar dari percaturan global.
Di dalam negeri tantangannya juga tidak kalah besar. Kecenderungan warga bangsa ini yang menatap persoalan lewat kacamata sempit, kacamata kedaerahan atau agama sendiri, misalnya, merupakan kendala segera terwujudnya Pancasila sebagai bingkai kebangsaan dan perekat identitas nasional. Guna merumuskan proses implementasi falsafah bangsa dan ideologi negara, kita bisa belajar dari para pendahulu kita. Yang baik dikembangkan, yang buruk ditinggalkan. Kehadiran rumusan itu sudah sangat mendesak. Beberapa hal yang penting diperhatikan didalam upaya implementasi Pancasila adalah, sebagai berikut:
1. Meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya laten.
Di era reformasi, masyarakat cenderung kurang peka dan peduli terhadap ancaman ideologi bangsa, karena mereka lebih mementingkan kebutuhan ekonomi dan mengatasi kesulitan hidup sehari-hari. Selain itu, berkembang kecendrungan menafsirkan reformasi, dengan segala macam dapat diperbolehkan, termasuk yang ekstrim mengembangkan ideologi liberal dan komunis dianggap sah-sah saja. Kondisi seperti ini perlu mendapatkan penegasan aparatur pemerintah, karena bila hal tersebut berkembang, maka kewaspadaan masyarakat terhadap ancaman ideologi liberal dan ideologi komunis serta ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila akan menurun. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah strategi dengan induksi yudikatif, sosialisme untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan ancaman Pancasila dan bahaya laten komunis.
2. Merumuskan Kebijaksanaan Pemerintah tentang implementasi Pancasila.
Seminar Nasional HUT Lemhanas tahun 2003, telah menyepakati bahwa kita perlu mereformasi kepemimpinan (leadership) dan meningkatkan wawasan kebangsaan untuk mengatasi permasalahan bangsa. Kelemahan sistem nilai inilah yang menyebabkan lemahnya kondisi antar lembaga instansi dan ORMAS/ORPOL dalam upaya memasyarakatkan dan menanamkan ideologi Pancasila di masyarakat. Oleh karenanya diperlukan kebijakan dari instansi yang berwenang, sehingga dapat mendorong upaya sosialisasi Pancasila di bidang pendidikan dan gerakan untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya ideologi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa serta bernegara.
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara tidak perlu dipersoalkan, sedangkan yang harus menjadi ijtihad politik hanya sebatas pada upaya mencari kesepakatan tentang paradigma yang akan digunakan untuk memahaminya. Pada masa Orde Lama, Bung Karno memahami Pancasila dengan USDEK dan pada masa Orde Baru, Soeharto memahaminya dengan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Pada masa Orde Reformasi sekarang belum ada pengganti paradigma untuk memahami Pancasila seperti pada masa orde sebelumnya.
3. Meningkatkan keteladanan pemimpin dalam implementasi Pancasila.
Maraknya KKN (Korupsi, kolusi dan nepotisme) yang telah merusak sendi-sendi kehidupan bangsa merupakan salah satu faktor yang menghambat pemulihan krisis multi dimensional bangsa Indonesia. Untuk itu perlu, mencari solusi yang tepat untuk mengatasi segala permasalahan bangsa. Salah satu alternatif mendorong terampilinya kader pemimpin yang berani tampil sebagai teladan bagi masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Keteladanan para pemimpin, terutama para pemimpin yang sekaligus sebagai penyelenggara negara, akan berdampak positif pada upaya untuk mengurangi KKN. Hanya pemimpin yang bermoral dan etika yang tinggi, yang mampu tapil sebagai teladan. Oleh karenaya, perlu upaya penanaman dan pengembangan etika dan moral bagi pelajar, pemuda dan mahasiswa sebagai kader kepemimpinan nasional dimasa depan. Disisi lain, keteladanan hanya dapat berkembang dengan baik, bila para elit bangsa, memmpunyai kemauan yang keras dan tinggi untuk mengembangkan etika dan moralnnya. Etika dan moral yang dikembangkan oleh bangsa Indonesia adalah implementasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

4. Meningkatnya Pemahaman masyarakat pada Pancasila.
Pancasila sebagai ideologi negara, falsafah bangsa dan dasar negara, di era reformasi ini cendrung ditanggapi “sinis” oleh sekelompok masyarakat. Kondisi ini terjadi karena kurangnya pemahaman terhadap Pancasila. Disisi lain kebijakan publik yang ada, dirasakan masih banyak yang belum berpihak kepada rakyat kecil. Sebagai contoh, kebijakan penataan dan penertiban di Jakarta, dengan praktek “penggusuran”, dirasakan oleh masyarakat sebagai tindakan yang kurang mencerminkan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Walaupun hal tersebut dilaksanakan untuk menegakkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, agar dikemudian hari seluruh perundang-undangan yang berlaku dapat menjadi wujuddari implementasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Kondisi tersebut dapat terwujud, apabila pemahaman terhadap Pancasila sudah berkembanng dikalangan masyarakat dan para penyelenggara negara.
Implementasi Pancasila yang diharapkan akan mampu memecahkan permasalahan bangsa, namun sekaligus memerlukan kondisi pendukung dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
5. Peningkatan pemahaman semua Komponen Masyarakat terhadap ideologi Pancasila.
Pemahaman merupakan suatu kondisi awal yang sangat penting agar tiap warga negara mampu mengamalkan Pancasila dengan benar. Tanpa pemahaman yang benar, maka proses berpikir, ucapan dan tindakan tiap warga negara, berkaitan dengan kepentingan pembangunan dapat menjadi salah arah, bahkan dapat mengganggu pembangunan Nasional yang pada akhirnya akan memperlemah persatruan dan kesatuan bangsa.
Kualitas pemahaman individu para penyelenggara negara diharapkan akan semakin tinggi, dengan meningkatnya tugas dan tanggung jawab ybs. dalam kegiatan kenegaraan. Pemahaman tersebut juga diharapkan meningkat, mencakup prosentase yang cukup besar untuk tingkatan Pimpinan, midealnya formal maupun informal, dan dapat dijaga kondisi pemahamannya walaupun dengan menurunnya tugas dan tanggung jawab yang bersangkutan. dalam kepentingan Pembangunan Nasional dan aktivitas kenegaraan.
Pelaksanaan P4 yang dilakukan pada masa orde baru yang lalu, terkesan dilakukan dengan pola indoktrinasi, sehingga timbul reaksi negati dari peserta P4 yang menciptakan suasana yang kurang kondusif. Mengacu pada pengalaman tersebut, maka proses peningkatan pemahaman yang direncanakan, perlu dirancang sedemikian rupa, agar terhindar dari kesan indoktrinasi.
6. Internalisasi Keyakinan atau Pembudayaan terhadap Pancasila.
Proses pemahaman Pancasila, perlu dilakukan sedemikian rupa, sampai pada tingkat dimana bukan hanyasekedar paham, namun juga tumbuhnya keyakinan pada warga negara bahwa Pancasila adalah falsafah dan nilai-dasar bangsa yang sesuai untuk bangsa Indonesia, mampu acuan arah dan pendorong pembagunan Nasional dan mampu menjadi penguat persatuan kebangsaan.
Kualitas internalisasi pada individu, diharapkan dimulai dari penerimaan atas ideologi Pancasila, kemampuan pengendalian diri, sampai pada kondisi, dimana tumbuhnya motivasi kuat untuk mengamalkannya. Tingkat keyakinan tersebut juga diharapkan dapat membangun kekuatan internal individu, sehingga individu yang bersangkutan mampu melakukan seleksi dengan benar atas pengaruh dari luar, mengambil pengaruh positif dan menolak pengaruh negatif.

tugas pempolak 2

Posted by | Posted on 04.27

NAMA : YUSUF DJABBAR
NIM : E12108510
TUGAS PENGGANTI MID
PEMERINTAHAN DAN POLITIK LOKAL

Analisis Teori Strukturasi Giddens (Kasus Pedagang Pasar Keputran Kota Surabaya)

Di berbagai kota termasuk Surabaya selalu tak pernah luput dari tumbuhnya pedagang kaki lima (PKL). Eksistensi dan keberadaan PKL seakan sebagai anak kandung sebuah kota. Di manapun PKL tak dapat dipisahkan dengan sebuah kota. Di kota-kota kecil, sedang apalagi besar PKL selalu tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan kota itu sendiri. Semakin besar suatu kota maka semakin menjamur dan berkembang pedagang kaki lima-nya. Fenomena pedagang kaki lima tidak saja terdapat di negara-negara dunia ketiga atau sedang berkembang tetapi juga di kota-kota negara-negara maju.
Kota Surabaya yang merupakan terbesar kedua setelah Jakarta tidak dapat menghindari tumbuhnya pedagang kaki lima (PKL). Di berbagai sudut jalan di kota Surabaya dengan mudah dapat ditemui rombong-rombong untuk berjualan. Kalau tidak menggunakan rombong tidak sedikit pedagang kaki lima menggelar dagangannya baik di trotoar maupun di jalanan. Beberapa contoh dapat disebut, misalnya jalan Tunjungan, Kapasan, Gembongan, perempatan jalan Diponegoro, Girilaya dan dari jurusan pasar kembang, depan stasiun Wonokromo, jalan Pahlawan dan di tempat-tempat lainnya semakin hari semakin meluas. Bahkan konon pasar Simo Gunung yang berada di jalan Banyuurip pernah disebut tempat pedagang kali lima terpanjang di kota ini.
Seiring dengan dengan berjalannya kehidupan kota aktifitas pedagang kali lima yang semakin tak terkendali. Tanpa disadari telah banyak mengganggu warga kota lainnya yang juga berhak menikmati kenyamanan. Jalanan menjadi macet, kawasan menjadi kumuh dan warga sekitar tempat menggelar dagangan merasa dirugikan. Terganggunya warga sekitar jalan Banyuurip misalnya dapat disebut sebagai contoh bahwa aktifitas pedagang kaki lima sering membuat kesal karena pedagang membuang sampah sembarangan. Akibatnya bau busuk menyengat hidung dan ketika hujan turun maka banjir menjadi keniscayaan.
Hasil penertiban terhadap pedagang kaki lima (PKL) di kota Surabaya selama bulan februari tercatat sebanyak 103.993 yang berhasil ditertibkan dan sebanyak 53.058 yang membongkar sendiri tempat usahanya. Merujuk dari hasil penertiban pada periode februari 2002 terlihat paling tidak di kota Surabaya minimal terdapat sebanyak 157.051 PKL. Jumlah ini barangkali masih lebih kecil dari jumlah sebenarnya. Karena di beberapa tempat mungkin masih lolos dari kegiatan penertiban, terutama di jalan-jalan yang berada di luar 21 (dua puluh satu) jalur lalu lintas yang ditetapkan dan dijadikan sasaran penertiban (hasil-hasil penertiban bulan februari dan april 2002).
Sebelum dan sesudah penertiban, jalan Pahlawan adalah kawasan lain yang dikuasai oleh pedagang kaki lima. Di jalan ini semakin banyak jumlah pedagangnya terjadi pada waktu hari minggu atau hari libur. Pada hari-hari seperti ini hampir semua ruang jalan Pahlawan penuh pedagang yang mayoritas berjualan pakaian. Akibatnya lalulintas di jalan ini biasanya lumpuh, tidak bisa lagi dilewati. Sementara pada hari-hari biasa masih agak longgar karena hanya separo badan jalan yang dipergunakan berjualan. Namun demikian tak jarang lalulintas di jalan Pahlawan sering macet karena memang volume di kawasan ini tergolong padat kendaraan. Menurut data penjaringan kecamatan pada bulan Mei 2001, jumlah pedagang di di jalan pahlawan sekitar 600 orang. Sementara itu pada tahun 2002, jumlahnya meningkat cukup besar. Pendataan pada bulan juni 2002 ditemukan data bahwa di jalan Pahlawan jumlahnya mencapai sebanyak 1.041 pedagang.
Jika di jalan Pahlawan dipenuhi pedagang yang sebagian besar berjualan pakaian, lain lagi dengan jalan Tunjungan. Di jalan yang merupakan akses jalan utama di kota Surabaya ini sebelum penertiban besar-besar awal bulan februari 2002 sempat mendapat julukan glodoknya Surabaya. Hampir semua pedagang kaki lima (PKL) yang berada di jalan Tunjungan terutama di seputar depan pusat pertokoan Siola adalah penjual video compact disc (VCD). Di kawasan jalan Tunjungan menujukkan bahwa jumlah PKL Tunjungan melonjak sangat tajam pada tahun 2001. Sebelum puasa diperkirakan hanya sebanyak 240 PKL, sementara setelah lebaran melonjak menjadi 400 PKL. Data terakhir pada akhir tahun 2001 menunjukkan antara 700 sampai 1.000 PKL. Menurut data resmi yang di himpun lewat penjaringan informasi kecamatan pada bulan mei 2001 jumlah pedagang yang berada di kawasan jalan Tunjungan sekitar 800 pedagang.
Semakin tumbuh dan berkembangnya PKL berakibat semakin banyak fasilitas publik seperti jalan dipergunakan untuk tempat berjualan. Tidak sedikit ruang jalan di kota Surabaya ini yang berubah fungsi tidak lagi menjadi tempat berlalulintas transportasi tetapi telah berubah menjadi pasar. Sementara pasar sendiri ada yang berubah fungsi menjadi tempat tinggal tidak lagi memiliki arti pasar sebagai arena jual-beli bagi penjual dan pembeli. Seperti pasar Keputran yang memiliki dua lantai telah berubah fungsi, terutama pada lantai dua. Di lantai dua ini yang terdiri dari 245 kios telah berubah menjadi tempat tinggal dalam arti sebenarnya, bukan dalam arti hanya sebagai tempat istirahat dikala lelah berjualan. Tidak sedikit kios yang telah berubah fungsi seperti rumah yang dilengkapi dengan alat-alat keperluan rumah tangga seperti almari, alat dapur, tempat tidur bahkan ada stand yang dilengkapi meja kursi layaknya sebagai ruang tamu.
Sementara itu pada pedagang memiliki berjualan di lantai satu dan di jalan-jalan sekitar pasar Keputran. Semakin hari perkembangan jumlah pedagang yang berjualan di jalan-jalan sekitar pasar Keputran tidak saja yang memiliki stand di lantai dua saja. Tetapi semakin banyak pedagang kagetan yang terutama sayuran juga membuka stand. Akibatnya jumlah pedagangnya membengkak dan mampu lagi di dalam pasar kalau toh dimasukkan kembali. Menurut perkiraan, di pasar Keputran dan jalan-jalan sekitarnya terdapat sekitar 800 pedagang kagetan. Karena itu tak mengherankan sepanjang jalan Keputran utara mulai ujung selatan depan pasar Keputran hingga perempatan depan hotel Brantas pada sore mulai sekitar pukul 15.00 hingga pagi hari sekitar jam 05.00 dipenuhi para pedagang. Selain jalan Keputran utara, di jalan Bayu sebelah selatan gedung Darmala menunjukkan pemandangan serupa, yaitu dipenuhi para pedagang.
Selain di sepanjang jalan Keputran utara (depan pasar Keputran), jalan Kapasan hampir bernasib serupa. Hampir-hampir jalannya dipenuhi oleh para pedagang. Berbeda dengan di jalan Keputran utara, para pedagangnya berjualan sayuran yang menyisakan banyak sampah. Di jalan Kapasan dan Gembong para pedagangnya berjualan barang-barang bekas. Karena itu di dua jalan ini jalan kapasan dan Gembong dikenal sebagai pusat barang bekas. Kalau di jalan Keputran pada waktu sore hingga pagi hari ditutup total oleh para pedagang, di jalan Kapasan masih agak lumayan bagi pengendara. Kendati masih tersisa dua jalur bahkan kadang-kadang hanya satu jalur lalulintas masih dapat berjalan meskipun sering terjadi kepadatan yang sangat tinggi dan cenderung macet.
Semakin tumbuh dan berkembangnya pedagang kaki lima (PKL) yang cenderung banyak menguasai ruang-ruang publik sehingga dianggap merugikan orang lain mengilhami pemerintah kota harus memutar otak untuk melakukan tindakan antisipatif dan kuratifnya. Telah banyak keluhan masyarakat yang menganggap bahwa akibat semakin tidak teraturnya para pedagang kaki lima (PKL). Semakin banyaknya PKL yang tidak teratur berdampak dan andil dalam semakin memperparah kemacetan. Selain itu dari segi keindahan kota keberadaan PKL seringkali dituduh merusak pemandangan. Pemandangan yang kumuh dan kotor di sepanjang trotoar yang digunakan untuk berjualan serta rombong-rombong yang kusam tak teratur semakin menambah tidak sedap ruang-ruang publik di pinggir-pinggir jalan.
Pemerintah kota sebagai institusi yang memiliki kewenangan mengatur kota mau tidak mau harus turun tangan. Kecenderungan seperti itu kalau dibiarkan tanpa adanya intervensi regulasi dari pemerintah kota akan beresiko dan harus dibayar dengan biaya yang tidak murah. Biaya sosial maupun ekonomi di kelak kemudian hari jika dibiarkan berkembang secara alami tidak menutup kemungkinan semakin menambah kerawanan kawasan kota. Sejumlah pengalaman menunjukkan bahwa sebuah tempat yang dibiarkan dari serbuan kaum migran akan membentuk perkampungan kumuh atau slum area. Dalam perkembangannya perkampungan kumuh yang bermunculan sedikit banyak akan menimbulkan persoalan bagi perkembangan kota.
Kebijakan yang sama juga diberlakukan di kawasan jalan Pahlawan. Operasi penertiban di jalan memang tidak hanya mengusir para pedagang dari tempat berjualan. Tetapi memberi alternatif kepada para pedagang untuk berjualan di seputar Tugu Pahlawan. Upaya alternatif inipun tidak bertahan lama. Para pedagang akhirnya kembali lagi memenuhi jalan Pahlawan. Demikian juga di jalan Kapasan dan beberapa ruas jalan lainnya. Usaha pemerintah kota untuk mengembalikan fungsi pasar Keputran sebagai tempat transaksi jual beli juga belum berhasil secara maksimal. Kendati usaha menertibkan bangunan yang sebelumnya berfungsi sebagai tempat tinggal yang dilaksanakan pada tanggal 16 Mei 2002 dapat dibilang sukses. Usaha penertiban dengan membongkar stand-stand yang berubah fungsi menjadi tempat tinggal tidak mendapat perlawanan sedikitpun dari penghuninya. Tetapi dari segi pemfungsian kembali pasarnya masih jauh dari berhasil. Pedagang masih tetap memilih berjualan di lantai satu atau di jalan-jalan sekitar pasar Keputran.
Di kawasan lain sudut kota Surabaya menunjukkan fakta yang sama, yaitu para PKL masih tetap berjualan di tempat semula. Hanya saja kadar keberanian untuk kembali ke tempat semula berbeda-beda. Demikian juga sikap perlawanan dari PKL dari berbagai kawasan kota ini juga berbeda-beda. Misalnya penertiban di jalan Tunjungan adalah usaha penertiban yang paling a lot dan mungkin menakutkan selain penertiban di jalan Keputran Utara. Penertiban PKL VCD di kawasan jalan Tunjungan sempat dihantui oleh adanya kerusuhan massa. Sehingga berkali-kali usaha penertiban di kawasan ini berkali-kali tertunda. Pada saat penertiban yang melibatkan aparat kemanan baik tentara dari angkatan darat, laut maupun marinir serta aparat kepolisian memang terbukti ada perlawanan yang tergolong keras. Hanya saja tidak sampai ada jatuh korban jiwa hingga meninggal, yang ada hanya korban luka-luka.
Kendati sebelumnya bulan februari 2002 telah diadakan penertiban keberadaan PKL masih tetap bermunculan kendati jumlahnya realtif berkurang drastis. Di beberapa ruas jalan yang sebelumnya ditertibkan ternyata dalam waktu singkat bermunculan kembali. Khususnya cara pandang terhadap PKL tampaknya memerlukan perubahan pendekatan dan penanganan. Di razia dan ditertibkan bagaimanapun PKL yang ada di kota Surabaya masih saja terus bermunculan. Sanksi hukuman dan di bawa ke pengadilan ternyata tidak membuat PKL jera yang akhirnya tidak berjualan lagi. Namun kenyataannya di beberapa ruas jalan tampak kembali PKL menggelar dagangannya. Ancaman akan membawa ke pengadilan, menyita rombong dan tindakan refresif lainnya ternyata tidak menyiutkan nyali PKL untuk berjualan kembali. Berbagai halangan yang sengaja dibuat berupa gangguan di tempat berjualan ternyata tidak menjadi masalah yang serius bagi aktifitas PKL.
Kasus semacam ini dapat dilihat di sekitar pasar Keputran. Pemerintah kota Surabaya sampai saat ini belum berhasil memasukkan kembali ke dalam pasar para pedagang yang setiap sore hingga malam hari selalu menempati ruas-ruas jalan di sekitar pasar Keputran. Di dua ruas jalan seputar pasar Keputran, yaitu jalan Bayu yang berada di sebelah selatan gedung Dharmala dan jalan Keputran utara dari ujung selatan sampai utara setiap sore hingga pagi hari praktis berubah menjadi pasar. Ketika sore hingga pagihari tak ada ruang yang dapat digunakan untuk lalulintas kendaraan. Semua ruas jalan digunakan untuk pedagang menggelar daganganya, terutama sayuran dan kebutuhan dapur.
Di kawasan jalan-jalan lainnya ternyata tidak menunjukkan gejala yang berbeda. Banyak ruas-ruas jalan tetap saja ditumbuhi PKL kendati operasi penertiban telah dilakukan beberapa kali. Bahkan surat perintah walikota yang mengatur solusi kegiatan PKL tidak banyak diindahkan. Di lokasi-lokasi yang dinyatakan bebas PKL-pun tetap berdiri sejumlah PKL menggelar dagangannya kendati jumlahnya tidak sebanyak sebelum adanya operasi penertiban.
Menurut surat perintah walikota Surabaya beberapa jalan seperti Bubutan, Pegirikan, Tunjungan Center, Dharmawangsa, Airlangga, Indragiri, Basukui Rachmad, Embong Malang dan Raya Darmo adalah bebas PKL baik siang maupun malam. Tetapi ketika di lakukan mapping tanggal 18 juni 2002 ternyata di 9 (sembilan) ruas jalan yang dinyatakan bebas PKL masih terdapat sebanyak 397 PKL. Jumlah paling banyak terdapat di jalan Pegirikan, yaitu masih terdapat sebanyak 85 PKL pada jam 14.00, kemudian disusul di jalan Embong Malang berjumlah 65 PKL yang menggelar dagangannya pada pukul 16.00. Pemandangan yang sama dapat dengan mudah ditemukan di jalan Raya Darmo. Di jalan yang merupakan jalur utama kota Surabaya masih ditemukan sebanyak 60 PKL pada jam 13.00.
Sementara itu sesuai surat perintah walikota di jalan Pahlawan masih diperbolehkan berjualan antara jam 07.00-11.00. Namun demikian tidak semua PKL mematuhi jam kegiatan yang telah ditetapkan. Di atas jam 11.00 sebagian PKL masih tetap berjualan dengan tidak ada tindakan dari pemerintah kota. Pada hari-hari biasa di seputar jalan Pahlawan khususnya sebelah timur bank Indonesia jumlahnya tidak sebanyak pada hari minggu. Pada hari biasa jumlah PKL di seputar Tugu Pahlawan dan bank Indonesia sekitar 246 pedagang. Tetapi pada hari minggu jumlahnya meningkat drastis menjadi sampai 1.041 pedagang. Tidak pelak ruas jalan di seputar jalan Pahlawan khususnya di sebelah timur bank Indonesia hanya tersisa satu jalur kendaraan. Sampai-sampai ada sebutan bahwa seputar Tugu Pahlawan dijuluki sebagai TP5.
Pasca penertiban besar-besar yang dimulai pada tanggal 1 Pebruari 2002, memang terlihat jumlah PKL di beberapa sudut jalan mulai berkurang. Bahkan di beberapa ruas jalan bersih sama sekali dari PKL. Kendati upaya pemerintah kota Surabaya memperlihatkan keberhasilan membersihkan PKL dari beberapa ruas jalan terutama yang berada di 7 jalur jalan protokol, ternyata masih menyisakan pekerjaan yang tidak ringan. Kalau di tempat lain dapat menghalau PKL menempati ruas-ruas jalan yang dilarang oleh pemerintah kota sebagai tempat berjualan tetapi tidak demikian pada kasus pedagang yang menempati ruas jalan Keputran utara dan jalan Bayu (seputar pasar Keputran).
Sudah berkali-kali pemerintah kota mengupayakan agar pedagang pasar yang memenuhi jalan masuk kembali ke dalam pasar Keputran tetapi berkali-kali pula tidak berhasil. Penertiban bedak-bedak yang telah berubah fungsi menjadi tempat tinggal di lantai dua di pasar Keputran dilakukan pemerintah kota. Tetapi pembongkaran tempat tinggal di lantai dua pasar Keputran dan memfungsikan kembali menjadi bedhag-bedhag untuk berjualan ternyata tidak banyak menarik minat pedagang kembali ke dalam pasar. Pedagang masih tetap saja menempati dan memenuhi jalan-jalan di sekitar pasar Keputran. Karena itu akhirnya pemerintah kota Surabaya menempuh jalan kompromi hanya dengan melakukan pembatasan areal pasar agar tidak sampai merembet dan memacetkan alur lalulintas yang berada di jalan Panglima Sudirman dan jalan Sono Kembang.
Dalam tulisan ini mencoba menelisik komunitas terbatas atau kelompok kecil pedagang pasar Keputran yang menempati jalanan dan tidak mudah direlokasi oleh pemerintah kota. Mengapa pemerintah kota Surabaya yang mewakili simbol negara dengan kekuatan sumberdaya yang ada dan memadai baik dari segi politik, ekonomi, maupun pertahanan dan keamanan ternyata tidak mampu dan akhirnya harus menyerah menghadapi pedagang yang jelas-jelas menempati jalan yang mestinya berfungi sebagai jalur lalulintas kendaraan.

Landasan Teoritis
Menurut Giddens struktur merupakan aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang terbentuk dari dan perulangan praktik sosial (Gidens, 1976,1993:126, 1979:63, 1984:xxxi). Dualitas antara struktur dan pelaku terletak pada proses di mana struktur sosial merupakan hasil (outcome) dari praktek sosial. Selain itu struktur sekaligus merupakan sarana (medium) yang memungkinkan berlangsunganya praktek sosial (Giddens.constraining) seperti pada pengertian Dhurkheimian. Tetapi struktur dalam pengertian Giddens memiliki sifat memberdayakan (eabling) yang memungkinkan praktek sosial. 1976,1993:128-129, 1979:5, 1984:374). Struktur bukanlan bersifat mengekang (
Dalam teori strukturasi Giddens membedakan antara struktur dengan sistem. Struktur dipahami dari dimensi sintagmatik dan paradigmatik dalam penstrukturan hubungan-hubungan sosial. Dimensi sintagmatik dapat dilihat dari resproduksi praktek-praktek yang terikat pada ruang dan waktu tertentu. Sementara itu dimensi paradigmatik dapat dilihat dari tata cara-cara penstrukturan yang terjadi berulang kali dalam proses reproduksi. Karenanya struktur merujuk pada sifat-sifat penstrukturan yang memberikan bentuk sistemik pada kegiatan-kegiatan sosial serupa dan yang memungkinkan mereka bertahan dalam lintas ruang dan waktu (Suhartono, dalam: Basis 2000).
Sementara itu sistem-sistem sosial merujuk pada praktek-praktek sosial yang direproduksikan (Gidddens, 1984:17). Praktek-praktek sosial yang direproduksikan ini adalah kegiatan-kegiatan yang terikat pada ruang dan waktu tertentu yang diadakan kembali dalam lintas ruang dan waktu yang secara berulang melibatkan struktur di dalamnya. Karenanya struktur mengatasi ruang dan waktu. Struktur hanya ada dalam perwujudan seketika dalam sistem sosial dan jejak-jejak ingatan bagi orientasi perilaku manusia. Karenanya struktur bukan berada di luar individu. Giddens mendefinisikan strukturasi sebagai strukturasi relasi-relasi sosial yang melintasi waktu dan ruang berkat adanya dualitas struktur. Strukturasi adalah proses praktek-praktek sosial menjadi struktur yang hanya bisa terjadi dalam lintas ruang dan waktu. Giddens memandang ruang dan waktu secara integral turut membentuk kegiatan sosial. (Giddens, 1984:142).
Dalam teori strukturasi, individu bukanlah ditempatkan pada posisi titik pusat (decentred subject) tetapi juga bukan subyek dalam lingkup semesta kosong tanda-tanda. Dalam kaitan ini Giddens melihat adanya titik temu antara kegiatan sosial mencekeram ruang dan waktu dengan akar pembentukan dari subyek maupun obyek (Giddens, 1984:xxii). Seluruh kehidupan sosial terjadi dalam dan dibentuk oleh persimpangan kehadiran dan ketidakhadiran dalam waktu dan ruang. Karenanya kehidupan sosial dikontekstualitaskan dengan ruang dan waktu. Dalam kontekstualitas ruang dan waktu manusia dipandang sebagai suatu proses yang terus menerus bukan sebagai kumpulan tindakan atau tindakan yang terpisah-pisah. Konsep-konsep seperti maksud, alasan, sebab dan rasionalisasi dalam pandangan Giddens dilihat sebagai suatu proses bukan keadaan (Giddens, 1984:3). Tindakan manusia tak dapat dipisahkan dari tubuh dengan penempatannya dalam dimensi waktu dan ruang. Dengan kata lain interaksi sosial atau kehidupan sosial harus dipelajari dalam kehadiran bersama.
Giddens membedakan tiga dimensi waktu, yaitu pengalaman sehari-hari, jangka hidup individual dan lembaga-lembaga (Gidens, 1984:35). Dimensi pengalaman berkaitan dengan waktu yang terbentuk dalam kegiatan atau pengalaman sehari-hari yang dapat dibalik. Dimensi jangka hidup individual berkaitan dengan rentang waktu kehidupan individu yang tidak dapat dibalik atau disebut sebagai waktu tubuh. Dimensi lembaga-lembaga berkaitan dengan waktu keberlangsungan jangka panjang dan dapat dibalik dari lembaga. Dimensi waktu yang berkaitan dengan lembaga ini merupakan waktu kelembagaan yang merupakan baik syarat (condition) maupun hasil (outcome) kegiatan-kegiatan yang terpola dalam keberlangsungan hidup sehari-hari. Dalam konteks ini maka sejarah dipahami sebagai pengertian temporalitas kegiatan-kegiatan manusia yang terjadi dalam keterkaitan tiga dimensi waktu.
Konsep lain dalam teori strukturasi adalah rutinisasi (routinization). Sesuatu yang rutin inilah yang menjadi elemen dasar kegiatan sosial hari per hari. Apa yang rutin ini menunjukkan adanya keterulangan kegiatan sosial dalam lintas waktu-ruang. Menurut Giddens apa yang rutin dari suatu kehidupan sosial ini yang menjadi bahan dasar bagi apa yang disebutnya sebagai hakekat keterulangan kehidupan sosial (Giddens, 1984:xxiii). Dari keterulangan ini maka sifat-sifat terstruktur dari kegiatan sosial yang terus menerus diciptakan kembali dari sumber-sumber daya yang dibentuknya.
Sementara itu untuk memahami ruang maka penting menyadari posisi tubuh. Dalam kerangka pemikiran Giddens, tubuh dipandang sebagai sebagai tempat kedudukan diri yang aktif (the locus of the active self) (Giddens, 1984:36). Dalam kehidupan sehari-hari individu-individu bertemu dengan individu-individu lainnya yang hadir bersama secara fisik dan interaksi yang terikat pada konteks situasi. Ciri khas sosial adalah kehadiran yang berakar pada spasialitas tubuh yang terarah pada diri sendiri maupun kepada orang lain. Giddens melihat pada posisi tubuh manusia ketika hadir dalam interaksi tidak menempati ruang dan waktu seperti halnya benda-benda material dalam ruang dan waktu. Tetapi spasialitas tubuh manusia merujuk pada situasi aktif yang terarah pada tugas-tugasnya (Giddens, 1984:65). Karenanya posisi tubuh menurut Giddens harus dipahami sebagai pengambilan posisi dalam kehadiran bersama.
Menurut Giddens dalam prinsip struktural terdapat tiga gugus besar struktur, yaitu signifikasi (signification), dominasi (domination) dan legitimasi (legitimation) ((Giddens, 1979:82, 1984:29-33). Struktur signifikasi atau penandaan adalah struktur yang menyangkut simbolik, pemaknaan, penyebutan dan wacana. Adapun struktur dominasi atau penguasaan mencakup penguasaan atau orang dan barang. Penguasaan atas orang berkaitan dengan politik. Sementara penguasaan terhadap barang berkaitan dengan bidang ekonomi. Struktur legitimasi atau pembenaran menyangkut peraturan normatif yang terungkap dalam tata hukum (Giddens, dalam Herry-Priyono, 2002:24).
Struktur dominasi mengacu pada hubungan asimetri pada tataran struktur, sementara itu kekuasaan menyangkut kapasitas yang terlibat dalam hubungan sosial pada tataran praktek sosial. Karena itu kekuasaan menempati pada tataran langue sementara kekuasaan menempati pada tataran parole.transformative capacity (Giddens, 1979:92. Kapasitas transformatif adalah kemampuan mengadakan intervensi dalam peristiwa tertentu dan mengadakan perubahan. Karena itu kekuasaan akan tampak ketika digunakan dalam struktur (Giddens, 1979:91). Menurut Giddens kekuasaan dilihat sebagai
Sementara itu ada dua macam sumber daya yang terlibat dalam membentuk struktur dominasi, yaitu sumberdaya alokatif dan otoritatif (Giddens, 1979:100). Pertama, sumber daya alokatif yaitu yang memungkinkan dominasi manusia atas dunia material. Sumber alokatif ini seperti misalnya bahan mentah, peralatan produksi, teknologi, hasil-hasil produksi. Kedua, adalah sumber daya otoritatif. Sumber daya ini yang memungkinkan dominasi manusia atas dunia sosial. Sumber daya otoritatif ini seperti misalnya pengorganisasian ruang-waktu, organisasi dan relasi manusia dalam asosiasi timbal balik, pengorganisasian kemungkinan kehidupan, ketika menggunakan dua sumber daya tersebut
Dalam pandangan Giddens ketika individu menggunakan kekuasaan dalam struktur di dalamnya terdapat apa yang disebut sebagai rules dan baik pada sumber daya alokatif maupun sumber daya otoritatif. Resources merupakan media kekuasaan pada tataran praktis dan sekaligus media struktur dominasi yang direproduksikan. Karenanya Giddens melihat peran resources merupakan faktor vital bagi individu dalam mewujudkan kekuasaan. Resources inilah yang memampukan individu untuk melakukan dominasi dengan pihak lain. Atau dengan kata lain dengan resources individu telah menciptakan struktur dominasi (Giddens, 1979:92). resources

Pada tataran praktek sosial, ketiga gugus prinsip struktural tersebut saling terkait satu dengan lainnya. Struktur signifikasi pada tataran prakteknya akan mencakup struktur dominasi dan legitimasi. Misalnya penyebutan atau signifikasi dosen, pada gilirannya akan menyangkut prinsip struktural dominasi yang berupa otoritas dosen atas mahasiswa. Sementara prinsip struktural legitimasi akan mengikuti pula ketika dosen berhak mengadakan ujian untuk menilai sejauhmana mahasiswa memiliki keberhasilan proses belajar mengajar di kampusnya. Teori strukturasi Giddens yang berlandaskan dualitas antara struktur dan individu dengan berangkat dari kerangka analisis hubungan tiga gugus prinsip struktural sebagai praktek sosial, yang akan digunakan untuk menganalisis komunitas kecil pedagang kaki lima yang menempati sekitar pasar Keputran.

Alih Fungsi.
Pedagang yang sekarang ini menempati di jalan Keputran utara dan jalan Bayu (sekitar pasar Keputran) pada awalnya memang seperti pedagang kaki lima (PKL) lainnya di di berbagai tempat termasuk di kota Surabaya. Pada awalnya pedagang di jalan seputar pasar Keputran tidak langsung berjumlah besar apalagi ratusan. Pada awalnnya hanya berjumlah satu dua orang yang hanya berjualan di jalan. Dalam perjalanan waktu ternyata pedagang yang berada di ruas jalan inilah yang lebih laku dibanding dengan pedagang-pedagang pasar yang menempati bedak-bedak resmi dalam pasar. Lama kelamaan pedagang yang berada di dalam pasar tidak hanya membuka stan yang telah resmi di sewa dari PD pasar. Tetapi pedagang yang memiliki stan resmi di dalam pasar mulai membuka stan tidak resmi yang berada di ruas jalan.
Bagi pedagang pilihan untuk menempati ruas jalan atau di luar pasar adalah langkah rasional praktis untuk menjemput para pembeli. Bagi pedagang yang masih tetap berjualan di dalam pasar lama kelamaan ternyata semakin sepi pembeli. Karena itu pilihannya adalah mengikuti pedagang yang lain berjualan di ruas jalan kendati dengan resiko penertiban oleh aparat yang berwenang. Pada awalnya memang sering ada penertiban kepada para pedagang yang berjualan di ruas badan jalan. Bagi para pedagang adanya penertiban dan barang dagangan disita pertugas adalah resiko yang mesti ditanggung. Bagi para sebagian pedagang memang menyadari berjualan di ruas jalan akan menanggung resiko, karena memang bukanlah tempat yang legal untuk berjualan.
Semakin lama perkembangan berjualan di ruas jalan tampaknya tidak lagi menjadi pilihan alternatif sekunder, tetapi sudah menjadi pilihan primer bahkan semacam keharusan. Berjualan di jalan tidak lagi merupakan pilihan untuk menyambut dan mempermudah pembeli, tetapi sudah berubah menjadi keharusan untuk berjualan. Dalam perkembangan selanjutnya para pedagang tidak lagi berjualan di dua tempat, satu di dalam pasar pada tempat bedak resmi yang disewa dari PD pasar, tetapi secara penuh berjualan di ruas jalan.
Sementara di sisi lain bedhag-bedhag yang semula di gunakan untuk berjualan berubah fungsi menjadi tempat tinggal. Pada awalnya memang hanya digunakan untuk beristirahat ketika lelah atau tidak sedang berjualan. Tetapi lama-kelamaan bedak dalam pasar tidak lagi digunakan sebagai tempat istirahat sementara tetapi berubah secara penuh menjadi tempat tinggal. Berubahnya bedak menjadi tempat tinggal bagi para pedagang di pasar Keputran salah satu sebab karena tempat tinggal pedagang yang kebanyakan berjauhan dengan pasar Keputran. Sebagian bertempat tinggal di dalam Surabaya tetapi harus menempuh alat transportasi yang membutuhkan biaya sementara sebagian pedagang justru dari luar Surabaya. Khususnya bagi para pedagang yang bertempat tinggal yang jauh bahkan di luar Surabaya, jika setiap hari harus pulang pergi akan memboroskan waktu dan biaya. Oleh karena itu karena masih memiliki stand di dalam pasar, maka pilihanya menjadikan pasar sebagai tempat tinggal adalah langkah yang rasional, terutama dari segi waktu maupun menghemat biaya.
Semakin banyaknya pedagang yang menempati ruas jalan yang notabene tempat publik dan berfungsi sebagai lalulintas maka pihak pemerintah kota juga tidak berani untuk menarik retribusi kepada para pedagang. Kalau pemerintah kota sampai menarik retribusi kepada pedagang yang berjualan di ruas badan jalan berarti melegalkan tepat tersebut sebagai lahan untuk berusaha. Karenanya pihak pemerintah kota menghadapi dilema, satu sisi menarik retribusi adalah tindakan salah karena tidak berdasarkan peraturan yang ada, sementara di sisi lain jumlah pedagang semakin banyak jumlahnya sehingga tidak mudah menghalau agar tidak berjualan di ruas badan jalan.
Bagi pedagang menempati ruas badan jalan disadari bukan pada tempatnya dan melanggar peraturan. Karena itu bagi para pedagang menyadari bahwa tempat berjualannya rentan terhadap penggusuran yang dilakukan aparat pemerintah kota. Sewaktu-waktu aparat pemerintah kota secara tiba-tiba dapat saja akan melakukan penertiban. Kalau penertiban yang dilakukan pemerintah kota dilaksanakan maka resikonya sangat besar. Bisa-bisa semua barang dagangan akan disita petugas dan tidak dikembalikan. Kalau ini yang terjadi berarti bagi pedagang akan kehilangan asset produksi sumber penghasilan ekonomi.

Penguasaan Ruang Publik
Kendati berada di bawah bayang-bayang penertiban atau penggusuran para pedagang yang menempati ruas badan jalan tetap melakukan aktivitas berjualannya. Perkembangan selanjutnya yaitu ketika semakin banyak pedagang yang berjualan di ruas badan jalan, maka para pedagang mulai melakukan pengaplingan tempat-tempat usaha menjadikan hak milik khusus (De Soto, 1991:89). Para pedagang memberi batas-batas wilayah tempat berjualan dengan memberi tanda misalnya garis dengan cat atau menempatkan alat yang digunakan berjualan.
Sejarah perkembangannya di berbagai tempat sektor informal termasuk pedagang pasar Keputran utara menduduki suatu lokasi telah melakukan proses yang panjang. Pada umumnya suatu tempat tidak diduduki sekaligus secara bersamaan, tetapi sebaliknya secara berangsur-angsur. Pola semacam ini bukan suatu kebetulan, tetapi merupakan tahap untuk melakukan uji coba dari segala tindakan yang telah diambil oleh penguasa atau pengapling ruang-ruang publik dan dampak-dampak yang dimunculkan sebagai akibatnya.
Keberhasilan untuk menguasai tempat ruang publik dan lancarnya beraktifitas ekonomi yang telah diraih oleh PKL generasi pertama ini umumnya kemudian diikuti dengan generasi lanjutan untuk mngapling ruang-ruang publik yang berada di sekitarnya. Terbukti di berbagai tempat termasuk jalan Keputran utara dan jalan Bayu, pada awalnya hanya satu-dua pedagang saja yang melakukan pengaplingan dan menjalankan aktivitas ekonomi. Tetapi lambat-laun semakin bertambah baik kuantitas maupun kualitas jenis barangnya.
Bagi pedagang lama kehadiran pedagang baru ini bukan dianggap sebagai saingan apalagi sebagau musuh, tetapi sebaliknya justru dapat memberikan energi baru yang semakin memperkokoh posisi khususnya secara ekonomi maupun keamanan. Kehadiran pedagang baru yang mengapling ruang publik yang masih belum ada penguasanya dan membawa barang dagangan kemudian berjualan di tempat tersebut baik sama jenis barang sama atau tidak, justru dapat dianggap sebagai sarana untuk meraih banyak calon pembeli. Dalam benak pedagang, semakin banyak pedagang yang berjualan di sekitar tempatnya justru akan semakin menarik calon pembeli untuk datang. Semakin banyak dan seringnya penjual dan pembeli melakukan transaksi di tempat yang sama lama-kelamaan menjadi tempat yang permanen. Keputusan pedagang untuk menetap di suatu tempat merupakan proses yang panjang dan berulang-ulang. Energi yang menopang keputusan ini makin diperkuat oleh ikatan kepentingan yang sama diantara sesama pedagang yang berdekatan untuk mengukuhkan dan menduduki secara permanen lokasinya masing-masing.
Di seputar pasar Keputran yang berupa ruas badan jalan sebagai tempat berjualan dianggap oleh orang-orang tertentu merupakan tempat yang prospektif, karenanya layak dan laku untuk diperdagangkan. Bersamaan para pedagang pasar yang melakukan pengaplingan di ruas badan jalan, maka ada beberapa orang juga melakukan hal yang sama. Beberapa orang melakukan pengaplingan lebih dari satu-dua stan yang tidak hanya digunakan untuk berjualan sendiri, tetapi dijual atau disewakan kepada pihak lain. Para pedagang yang ingin berjualan di ruas badan jalan Keputran utara dan jalan Bayu pada tahap berikutnya tidak lagi secara bebas menggelar dagangannya. Para pedagang yang bermaksud berjualan tidak lagi secara gratis memperoleh tempat untuk melakukan aktivitas jual-beli. Para pedagang yang ingin berjualan di tempat itu harus membeli atau menyewa kepada pemilik kapling yang telah menguasai ruas jalan Keputran utara dan jalan Bayu.
Penguasa kapling inilah yang disebut sebagai penguasa pedagang dalam tulisan ini bukan istilah preman. Dalam istilah lain banyak kalangan menyebut sebagai preman sebagai penguasa tempat-tempat ruang publik. Istilah preman sering merujuk partikelir, sipil, swasta atau dilawankan dengan tentara. Tetapi dalam tulisan ini penguasa pedagang yang dimaksudkan adalah penguasa ruas jalan Keputran utara dan jalan Bayu yang memiliki kekuasaan mengatur siapa yang boleh dan tidak menempati areal ruas badan jalan untuk berjualan.
Di jalan-jalan seputar pasar Keputran setidaknya ada enam penguasa pedagang yang menguasai jalan Keputran utara dan jalan Bayu. Penguasa jalan Bayu adalah H. Kacung yang menguasai wilayah mulai ujung barat (sebelah selatan gedung Dharmala) hingga pertigaan jalan Keputran utara. Sementara di sepanjang jalan Keputran utara dikuasai oleh lima orang. Dari pertigaan jalan Bayu dengan Keputran utara ke arah selatan dikuasai oleh tiga orang, yaitu H. Sanam, Salom dan Marsuki. H. Sanam menguasai wilayah di sekitar depan pasar Keputran, sementara Salom dan Marsuki menguasai daerah sekitar pertigaan jalan Bayu-Keputran Utara. Pada pertigaan jalan Bayu-Keputran utara ke arah utara dikuasai oleh dua orang yaitu Suratijo dan Muhammad. Muhammad menguasai wilayah jalan yang berada di depan hotel Brantas, sementara Suratijo di sekitar pertigaan jalan Bayu-Keputran utara sebelah utara.

Gugus Signifikasi
Dalam dualitas antara struktur dan tindakan dalam konteks pedagang pasar jalan Keputran utara dan jalan Bayu juga melibatkan sarana-sarana. Gugus signifikasi melibatkan sarana yang berwujud bingkai interpretasi tentang wacana penguasa pedagang sebagai satu-satunya pintu masuk untuk melakukan aktivitas berjualan di jalan Keputran utara dan Bayu. Sebelum seorang pedagang membuka stand dan berjualan maka terlebih dahulu harus bertemu penguasa pedagang atau kaki tangannya. Penguasa pedagang seakan menjadi semacam juragan bagi para pedagang penguasa pedagang inilah seakan-akan yang dapat menentukan nasib para pedagang. Wacana penguasa pedagang atau seseorang yang menguasai tempat berjualan terus direproduksi bagi siapa saja yang berkepentingan dengan ada tempat berjualan di ruas badan jalan Keputran utara dan Bayu. Tidak hanya kepada para pedagang tetapi juga pemerintah kota tidak dapat melepaskan wacana penguasa pedagang atau seseorang yang menguasai pedagang yang menggelar dagangannya sore hari hingga pada hari hari.
Pada konteks praktek sosial pedagang pasar di jalan Keputran utara dan Bayu ini dapat diidentifikasi gugus prinsip struktural Giddens. Struktur signifikasi dapat ditemukan dalam sebutan penguasa pedagang yang menguasai jalan Bayu dan jalan Keputran utara. Siapapun yang berkeinginan memasuki, mengusik atau memiliki kepentingan yang berkaitan dengan perdagangan di ruas badan jalan Bayu dan Keputran utara mau tidak mau akan bersinggungan dengan apa yang disebut sebagai penguasa pedagang. Jangankan para pedagang yang berkepentingan langsung dengan tempat usaha yang dikuasainya, pihak pemerintah kotapun tidak dapat menganggap peran penguasa pedagang ini sebagai persoalan yang ringan bahkan tidak ada. Penyebutan penguasa pedagang inilah yang yang menjadi kata yang sangat disegani oleh pihak lain. Wacana penguasa pedagang bagi kalangan pedagang yang berjualan di dua ruas jalan tersebut telah terlembaga menjadi kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Karenanya wacara penguasa pedagang selalu akan muncul ketika akan berbicara sesuatu yang berkaitan dengan pedagang pasar di ruas jalan Bayu dan Keputran utara.
Struktur sebagai hasil dari keterulangan praktek sosial dalam konteks pedagang pasar di jalan Keputran utara dan jalan Bayu dalam hal gugus signifikasi dapat diidentifikasi dari pembakuan signifikasi yang terbentuk melalui pengulangan bahwa berdagang di kawasan jalan Bayu dan Keputran utara harus memberikan sejumlah uang kepada penguasa pedagang sebagai uang sewa stand. Wacana penguasa pedagang terus direproduksi sehingga menjadikan semakin kokoh membentuk sebuah struktur bahwa di dalam komunitas pedagang yang menempati jalan Keputran utara dan Bayu tidak dapat melupakan apa yang disebut sebagai penguasa pedagang. Karena itu segala tingkah laku pedagang tidak dapat lepas dari wacana penguasa pedagang di dalamnya. Di mana posisi berjualan, seberapa luas stan yang ditempati, kapan buka dan tutup tidak dapat lepas dari wacana penguasa pedagang. Penguasa pedagang inilah pada gilirannya menjadi semacam bagian dari struktur praktek sosial yang terjadi di dalamnya. Sementara itu ketika berjualan, maka setiap hari harus mengeluarkan uang iuran yang telah ditetapkan. Keterulangan struktur ini ditunjang juga melalui wadah-wadah koordinator yang memiliki tugas masing-masing, seperti membawa pedagang baru, menarik uang sewa, menarik uang iuran dan melakukan pengawasan terhadap pedagang.
Gugus signifikasi lain dapat diidentifikasi pada soal perlindungan keamanan dari penguasa pedagang. Selain wacana penguasa pedagang itu sendiri maka gugus signifikasi lain yang terus direproduksi adalah jaminan keamanan yang diberikan penguasa pedagang. Signifikasi jaminan keamanan semakin kokoh direproduksi dengan cara fakta bahwa ketika ada upaya penggusuran dari pemerintah kota, maka para penguasa pedagang akan berusaha menghadangnya. Sebaliknya di luar lingkup pedagang bersangkutan, bahwa wacana perlindungan berada di tangan penguasa pedagang juga telah tereproduksi dalam benak pemerintah kota. Karena itu ketika ada upaya kebijakan yang menyangkut pedagang di seputar jalan Keputran utara dan Bayu secara otomatis wacana penguasa pedagang sebagai kepala suku selalu mendapat prioritas yang harus didengar suaranya. Di kalangan pedagang sendiri jaminan keamanan yang diberikan penguasa pedagang direproduksi lewat pembayaran uang kemananan setiap harinya. Lewat pembayaran uang keamanan ini, bagi pedagang menganggap urusan keamanan yang dapat menopang keberlangsungan berdagang di tempat yang sama akan lebih terjamin. Kalau misalnya para penguasa pedagang tidak dapat lagi berunding dengan pemerintah kota dan harus kalah, maka informasi kekalahan itu dapat segera sampai sehingga pedagang jauh-jauh telah mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada tindakan represif dari pemerintah kota. Karena itu jika ada penertiban yang sungguh-sungguh dilaksanakan dari pemerintah kota paling tidak para pedagang telah mengetahui terlebih dahulu dari para penguasa pedagang sehingga dapat menyelamatkan barang dagangannya sebelum dirazia apalagi disita petugas.

Simpulan
Titik sentral teori strukturasi Giddens adalah dualitas struktur dengan pelaku dan sentralitas ruang dengan waktu. Dalam komunitas kecil di kalangan pedagang yang berjualan di jalan Keputran utara dan jalan Bayu dapat ditemukan dan diidentikasi dualitas struktur-pelaku dan sentralitas waktu ruang. Di dalamnya juga dapat diidentikasi tiga gugus besar prinsip strukturalnya, seperti gugus signifikasi, dominasi dan legitimasi.
Pada tataran praktek bagaimana komunikasi yang terjadi atas dasar bingkai intrepretatif dari signifikasi, kekuasaan terbangun dengan fasilitas sumber-sumber kekuasaan serta sanksi diterapkan melalui sarana norma sebagai akibat dari legitimasi yang dimiliki oleh salah satu pihak. Konteks waktu dan ruang juga diidentifikasi dalam komunitas pedagang yang menjadi obyek verifikasi teori strukturasi Giddens.
Konteks waktu dapat dilihat dalam praktek sosial pada saat pedagang menggelar dagangan pada waktu sore hingga pagi hari (setelah barang dagangan habis). Konteks ruang hanya terjadi di jalan Keputran utara dan jalan Bayu kota Surabaya, di luar ruang itu maka tak ada praktek sosial antara penguasa dan pedagang yang diikat oleh sebuah norma sebagai landasannya
Struktur sosial bukanlah dibentuk berdasarkan pendekatan struktural yang mengatasi setiap praktek sosial warga kota. Pendekatan struktural mempercapai bahwa setiap praktek sosial mendasarkan pada struktur-struktur yang telah ada dan mapan sebelumnya. Kalau dilihat dalam kontaks ini maka seharusnya setiap warga kota mendasarkan perilakunya pada struktur-struktur yanag telah ada. Misalnya struktur sosial yang mengatakan bahwa berjualan di jalan adalah sebagai bentuk pelanggaran dan sudah semestinya tidak dilakukan. Tetapi dalam kasus tulisan berjualan di jalan seakan telah menjadi struktur tersendiri, kendati dari dimensi ruang dan waktu di tempat lain kota ini berjualan di jalan tetap menjadi bentuk pelanggaran dan mendapat tindakan tegas dari aparat berwenang.