tugas final pempolak

Posted by | Posted on 21.18


NAMA : ANDI ASWIRMAN NIM : E12109003 PRODI : ILMU PEMERINTAHAN OTONOMI DAN POLITIK LOKAL 1. OTONOMI Negara Indonesia merupakan suatu negara yang sangat strategis dalam lalu lintas ekonomi dunia. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki wilayah yang luas dan penduduknya yang lumayan besar 13.677 pulau bukanlah suatu daerah yang ringan untuk ditangani ditambah lagi macam ragam budaya yang beraneka. Oleh karena itu perlu kiranya suatu sistem pengorganisasian yang sistematik dalam pengaturan wilayah-wilayah dalam ruang lingkup negara kesatuan Republik Indonesia. Hukum administrasi negara merupakan hukum secara khusus mengenai seluk beluk daripada administrasi negara. Untuk sebagian hukum administrasi negara merupakan pembatasan terhadap pembebasan pemerintah, jadi merupakan jaminan bagi mereka yang harus taat kepada pemerintah, akan tetapi untuk sebagian besar hukum administrasi mengandung arti pula bahwa mereka yang taat kepada pemerintah menjadi dibebani berbagai kewajiban tugas bagaimana dan sampai dimana batasnya dan berhubung itu berarti juga bahwa wewenang pemerintah menjadi luas dan tegas. Sejalan dengan perkembangan zaman hukum administrasi negara yang berfungsi mengatur sarana bagi penguasa untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat dan mengatur cara-cara partisipasi warga negara dalam proses pengaturan dan pengendalian administrasi negara tersebut tidak lagi dapat memenuhi keinginan rakyat dimana dalam administrasi negara eksekutiflah yang paling berperan dan bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pemerintah administrasi negara. Dalam kehidupan kenegaraan peran pihak eksekutif dengan seluruh jenjang dan biro kratisasinya sangat-sangat besar, sedemikian besarnya sehingga ada kalanya administrasi negara diidentikkan dengan administrasi pemerintah negara. Di era reformasi ini hukum administrasi negara diharapkan benar-benar dapat memenuhi keinginan rakyat. Menurut UUD 1945 sistem pemerintahan negara Republik Indonesia memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah disamping harus menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi dan peran serta masyarakat, potensi dan keanekaragaman daerah seyogyanya disertai pula dengan berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang baik. Asas-asas umum pemerintahan yang baik itu meliputi: 1. Asas kejujuran 2. Asas kecermatan 3. Asas kemurnian dalam tujuan 4. Asas keseimbangan 5. Asas kepastian hukum Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintah kewenangan tersebut diberikan secara profesional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan-perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentralisasi dan tugas pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan yang diatur berdasarkan pembina tugas dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintah. Sebelumnya memang ada undang-undang nomor 32 tahun 1956 tentang perimbangan keuangan antar negara dengan daerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Akan tetapi UU no. 32 tahun 1956 sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan dalam mendukung otonomi daerah yang telah berkembang pesat. Oleh karena itu dipandang perlu menetapkan undang-undang yang mengaturnya yang terwujud dalam UU no. 25 tahun 1999. 2. POLITIK LOKAL Terhitung sejak itu, pada tahun 1999, Indonesia mencatatkan sejarah dalam memasuki era desentralisasi sesungguhnya. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi membuka peluang politik lokal mencari jalan keluar menuju kemandirian daerah. Dapat dibayangkan semangat euphoria putra-putra daerah memindahkan kekuasaan dari pusat ke daerah berarti juga memberikan kesempatan mereka untuk menjadi “raja-raja” baru daerah. Tidak sedikit daerah-daerah dengan sumber daya alam kuat berencana memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Langkah-langkah strategis Presiden Habibie saat itu selain memberikan kebebasan pers, kebebasan mendirikan partai-partai politik, pemilu bebas, dan pemberian referendum bagi masyarakat Timor Timur yang berujung lepasnya provinsi termuda Indonesia tersebut menjadi merdeka sepenuhnya. Dengan demikian UU Nomor 22/1999 telah memberikan dasar-dasar pemerintahan desentralisasi administratif yang sangat banyak kelemahannya. Menurut Michael Malley (2004) dan Turner et al (2003), aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah tersebut mengadung kelemahan karena tidak mengikutsertakan masukan dari daerah-daerah. Sekelompok elit bekerja secara tergesa-gesa melahirkan model desentralisasi ala Barat. Desentralisasi tersebut memang sengaja dirancang atas dasar titipan dari pemikiran-pemikiran Barat yang sangat itu sangat ingin memberlakukan model desentralisasi mereka ke negara-negara berkembang. Institusi-institusi internasional yang didanai oleh negara-negara maju berlomba-lomba menggelontorkan bantuannya bagi keniscayaan proses desentralisasi di Indonesia tanpa memperhatikan sendi-sendi kelembagaan di Indonesia yang sama sekali lemah dan tidak demokratis. Pemaksaaan model desentralisasi Barat tersebut sangat didukung oleh institusi semacam IMF dan World Bank yang memang memiliki kepentingan menggolkan skema bantuan keuangan untuk menolong ekonomi negara berkembang yang mengalami krisis pasca gonjang ganjing moneter 1997. Akibatnya, desentralisasi mengobarkan konflik lokal karena terjadi banyak kesalahpahaman interpretasi di kalangan pejabat daerah yang menginginkan perluasan kekuasaan dibandingkan sebaliknya. Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (2007) mengatakan bahwa dari sudut pandang tertentu undang-undang tahun 1999 itu menghidupkan kembali proses desentralisasi yang sempat terhenti di akhir 1950-an. Akan tetapi bila kita memandang dari sudut pandang lainnya, justru desentralisasi seperti memindahkan pola politik lama devide et impera di masa lalu ke dalam pemerintahan pusat yang bertindak seolah-olah sebagai pemecah belah kesatuan daerah-daerah. Pada prinsipnya, Undang-undang Nomor 22/1999 berusaha mendekatkan pemerintahan daerah agar lebih responsif kepada rakyatnya dan memberikan ruang transparansi lebih besar demi mencapai devolusi kekuasaan. Peran pemerintah pusat hanyalah terbatas sebagai penjaga malam saja karena sisa tanggung jawab setelah menjadi urusan daerah adalah meliputi: pertahanan keamanan nasional, kebijaksanaan luar negeri, masalah-masalah fiskal dan moneter, perencanaan ekonomi makro, sumber-sumber alam, kehakiman, dan eagama. Daerah memiliki kewenangan mengurus pekerjaan umum, pendidikan dan kebudayaan, pemeliharaan kesehatan, pertanian, perhubungan, industri, perdagangan, investasi, masalah-masalah lingkungan, koperasi, tenaga kerja, dan tanah (Ray dan Goodpaster, 2003). Di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, masalah desentralisasi semakin mencuat ke permukaan dengan bantuan liputan berbagai media. Masalah-masalah seperti korupsi, kepala daerah yang memainkan politik uang ketimbang melaksanakan janji pada konstituennya, kemudian wakil rakyat yang hanya mementingkan ‘perut’ sendiri, memaksa pemerintahannya melahirkan undang-undang ‘penangkal’ baru, yaitu Undang-undang Nomor 32/2004 dan 33/2004, masing-masing tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Menurut Malley (2004), pemerintahan Megawati bukanlah mengamandemen undang-undang yang ada, tetapi malah menggantinya sama sekali. Sekalipun demikian, perubahan tidak banyak memunculkan gejolak berarti, bahkan terbilang tidak mengalami hambatan berarti karena pemilu Bupati pertama di bulan juni 2005 berlangsung lancar. Pilkada memilih pemimpin daerah secara langsung bukan simbol-simbol partai seperti masa lalu mendorong masyarakat secara aktif berpartisipasi dalam kampanye dan datang berduyun-duyun mencoblos calon pilihannnya di bilik-bilik pemilihan. Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono diwarnai dengan kebijakan-kebijakan desentralisasi bernama pemekaran. Pemekaran adalah nama yang dipergunakan dalam proses desentralisasi yang menciptakan unit-unit administratif baru di dalam provinsi-provinsi dan distrik-distrik yang telah ada sebelumnya. Istilah tersebut mungkin meniru sistem redistricting di Amerika Serikat yang berarti pembentukan kembali distrik-distrik.9 Proses redistricting di Amerika Serikat sama sekali bukan hal yang spesifik karena setiap tahun pemilihan hampir dapat dipastikan karena perubahan laju pertumbuhan penduduk, urbanisasi, imigrasi, dan emigrasi, sehingga peta wilayah pemilihan harus selalu disesuaikan. Lain halnya dengan proses serupa di negara-negara Afrika terutama Nigeria, pemekaran hampir selalu dikaitkan dengan maksud-maksud politis tertentu seperti penguasaan sumber-sumber daya alam, kekuasaan segelintir elit daerah, dan peluang mendapatkan alokasi bantuan dana dari pusat. Ketika Mahkaman Konstitusi menyetujui tinjauan yuridis (judicial review) terhadap UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah di tahun 2008 yang memperbolehkan calon independen berkompetisi dalam ajang pemilihan kepala daerah dengan calon-calon kader partai politik, politik lokal seperti tidak terpisahkan dari proses politik dan demokrasi di Indonesia. Selama ini, menurut ketentuan perundangan dalam UU tersebut, calon kepala daerah hanya boleh diajukan oleh partai politik sehingga calon-calon lain di luar partai politik tidak diberikan kesempatan sama sekali maju dalam pilkada. Momen bersejarah ini sangat penting bagi terbukanya ruang partisipasi masyarakat lokal dalam memilih pemimpin dambaannya. Figur-figur partai politik akan dipaksa lebih memperhatikan aspirasi masyarakat ketimbang ambisi pribadi dan partai pengusungnya Walaupun demikian, jalan panjang masih harus dibenahi guna menggolkan calon-calon independen kepala daerah dalam pilkada masing-masing daerah. Aturan main dan batasan-batasan etika pengajuan calon masih terbentur dengan pola pemilihan lama yang mengandalkan kekuatan mesin-mesin politik partai dan uang sebagai jaminan kemenangan calon. Alhasil, calon independen sangatlah sulit memenangkan pilkada tanpa kehadiran partai politik pendukung. Padahal, terbukanya ruang bagi calon independen merupakan ajang pembelajaran masyarakat lokal menjalankan demokrasi sesungguhnya. Sejalan dengan fitrahnya berdemokrasi akan kembali kepada rakyatnya juga. Masyarakat berpartisipasi aktif dalam proses kehidupan sosial dan politik negaranya begitupun di tiap daerah tempat mereka tinggal. Keadaan seperti itu akan mendorong demokrasi ke level lokal. Tarik ulur antara proses demokratisasi pusat dan lokal serta interaksinya dengan sistem demokrasi di luar Indonesia, menghasilkan dinamika. Selain itu, desentralisasi terjadi di seluruh pelosok kabupaten dan kota di Indonesia turut menghasilkan dinamika politik lokal. Menguatnya politik lokal dapat dilihat dari gegap gempita pelaksanaan pilkada yang di tahun 2008 ini serentak terjadi di hampir 300-an lebih Kabupaten Kota termasuk ke 33 Provinsi. Dapat dibayangkan berapa energi, waktu, dan uang bermain dalam kontes demokrasi lokal tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa jauh kemanfaatan proses demokratisasi lokal tersebut bagi pembelajaran politik bagi masyarakat lokal yang bukan hanya sebatas menyuarakan kepentingannya saja. Namun lebih jauh, terlibat dalam setiap pengambilan keputusan yang akan berdampak pada kehidupan mereka. FENOMENA OTONOMI DAN POLITIK LOKAL YANG TERJADI di INDONESIA OTONOMI daerah sepanjang tahun 2003 belum memberikan otonomi kepada masyarakat-dengan maksud menyejahterakan masyarakat-sebagai hakikat utama otonomi daerah. Otonomi daerah masih hanya dinikmati oleh para elite lokal dengan mengeruk keuntungan politik dan finansial untuk kepentingannya sendiri.Utama pelaksanaan otonomi daerah itu adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Implementasi otonomi daerah itu sendiri baru dimulai awal tahun 2001. Namun, pijakan otonomi yang lebih khusus dilaksanakan pada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua yang masing-masing didasarkan pada UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi NAD dan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua. Khusus untuk Provinsi Papua, tahun ini terjadi dinamika yang menimbulkan pro-kontra. Secara tiba-tiba, pemerintah pusat mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 tertanggal 27 Januari 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, dan Irian Jaya Timur. Hal ini menimbulkan komplikasi baru dan menjadi persoalan tersendiri terhadap pelaksanaan UU Otonomi Khusus Papua. Di luar konteks Aceh dan Papua yang lebih berdimensi untuk mengatasi separatisme, di tempat lain masih terjadi konflik yang melibatkan pemerintah pusat-dalam hal ini Departemen Dalam Negeri-pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, partai politik, dan masyarakat. PADA awal tahun 2003, Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah memublikasikan hasil survei pelaksanaan otonomi daerah selama dua tahun. Kesimpulannya, otonomi daerah yang seharusnya menyejahterakan masyarakat ternyata dimanfaatkan oleh pejabat korup, preman, dan "tuyul birokrasi" yang berlindung di balik tameng otonomi (Kompas, 16/1/2003). Dua tahun pelaksanaan otonomi daerah itu telah membuat politisi lokal di DPRD "berfoya-foya" dengan membelanjakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memperkaya diri. Studi yang dilakukan staf pengajar di Badan Pendidikan dan Latihan Depdagri Dr Zuhan Arif Fakrullah terhadap belanja per tahun per anggota DPRD beberapa provinsi menunjukkan bahwa banyak belanja yang melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Untuk DPRD DKI Jakarta saja, pada APBD tahun 2001 belanja anggota DPRD DKI rata-rata per tahun per anggota DPRD mencapai Rp 1,059 miliar. Padahal, menurut PP 110 yang diperbolehkan untuk belanja DPRD DKI per anggota DPRD dalam setahun hanya Rp 354,766 juta. Belanja anggota DPRD DKI per bulan per anggota Rp 88,265 juta. Angka yang cukup fantastis untuk ukuran penghasilan rata-rata pegawai di Indonesia (Kompas, 13/1/ 2003). Di DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta, pada bulan Mei 2003 diramaikan dengan skandal "asuransi-gate" karena terjadi dugaan penyimpangan dana asuransi. Dana Rp 20 juta per tahun-untuk jaminan tiga tahun-yang seharusnya digunakan untuk premi asuransi, diduga tidak seluruhnya digunakan oleh anggota DPRD DIY. Bahkan, diduga ada anggota DPRD yang hanya menggunakan Rp 3 juta per tahun untuk premi asuransinya dan sisanya dipergunakan untuk kepentingan pribadi (Kompas, 1/05/2003). Mahasiswa Universitas Sriwijaya, Palembang, pertengahan Mei 2003 menduduki DPRD Sumatera Selatan (Sumsel) untuk memprotes kasus bagi-bagi dana operasional kepada anggota DPRD sebesar Rp 7,5 miliar melalui APBD Sumsel tahun 2003. Kecuali satu orang anggota, 74 anggota DPRD lainnya menerima dana operasional (Kompas, 25/5/2003). Selain soal upaya memperkaya diri-sendiri oleh para elite politik lokal, otonomi daerah tahun 2003 juga diwarnai dengan berbagai konflik pemilihan kepala daerah (pilkada) yang biasanya juga merupakan buntut berbagai kasus dugaan politik uang. Kasus pilkada Gubernur Lampung adalah yang paling dramatis tahun ini. Pasangan Gubernur/Wagub Lampung yang terpilih pada 30 Desember 2002, Muhammad Alzier Dianis Thabrani dan Ansory Yunus, akhirnya gagal menduduki kursi jabatan itu karena dugaan korupsi. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Tanjung Karang 25 Oktober 2003, jaksa mendakwa Muhammad Alzier Dianis Thabrani atas tindak pidana penipuan 500 ton pupuk milik PT Pusri Lampung (Kompas, 16/10/2003). Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Depdagri Tursandi Alwi ditunjuk sebagai Pelaksana Harian Gubernur Lampung. Pilkada bupati tak kalah serunya. Pilkada Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, tanggal 17 Oktober 2002 yang menghasilkan pasangan Rina Iriani- Sri Sadoyo, akhirnya terkatung-katung selama setahun lebih karena dugaan politik uang. Dugaan itu akhirnya tak terbukti dan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno mengeluarkan keputusan melalui kawat Mendagri Nomor T.130.33/ 1689/OTDA tertanggal 3 Desember 2003 agar pasangan itu segera dilantik (Kompas, 4/12/2003). Kemelut politik lokal selama setahun lebih karena berbagai kepentingan politik di DPRD Karanganyar tersebut mengakibatkan pemerintahan tak berjalan baik. Kemelut itu menyebabkan terbengkalainya sekitar 17 rancangan peraturan daerah yang seharusnya sudah mulai digarap DPRD Karanganyar (Kompas, 17/5/2003) Pemekaran wilayah tahun 2003 menambah rumit masalah otonomi daerah. Baru memasuki tahun 2003, Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat paripurnanya tanggal 27 Januari 2003 menyetujui pembentukan 23 kabupaten dan dua kota baru yang tersebar di 10 provinsi. Pemekaran itu tertuang dalam 10 rancangan undang-undang yang merupakan usul inisiatif DPR. Dasar pemekaran itu adalah UU No 22/1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Selain persyaratan potensi daerah dan kemampuan keuangan, syarat untuk membentuk kabupaten/kota adalah minimal memiliki tiga kecamatan. Terlalu mudahnya pembentukan kabupaten/kota baru itu segera memunculkan wacana untuk merevisi PP 129 dengan memperberat persyaratan pembentukan kabupaten/kota baru, misalnya, minimal lima kecamatan. Namun, wacana itu tidak berlanjut dengan langkah konkret karena sudah menunggu pemekaran 24 kabupaten/ kota baru tahun ini.Komisi Pemilihan Umum 10 Juni 2003 pernah meminta agar pemekaran daerah itu dihentikan maksimal bulan September 2003 karena dikhawatirkan akan mengganggu penetapan daerah pemilihan untuk Pemilihan Umum 2004. Namun, permintaan itu tak digubris. Buktinya, pada 20 November 2003, DPR dalam rapat paripurnanya menyetujui pembentukan 24 kabupaten/kota baru yang tersebar di 13 provinsi (13 RUU). Dengan persetujuan itu berarti sejak tahun 1999 telah terbentuk 110 kabupaten/kota baru. Jumlah itu hampir setara dengan sepertiga jumlah kabupaten/kota yang ada di era Orde Baru yang berjumlah 324 kabupaten/kota. Dalam sambutan pembentukan 24 kabupaten/kota baru itu, Mendagri Hari Sabarno mengakui, dimensi politis seperti aspirasi masyarakat yang didinamisasi oleh elite politik untuk membentuk daerah otonom banyak yang lebih menonjolkan aspek historis, wilayah kelompok etnis tertentu, dan sosial budaya. Pemekaran itu kurang memperhitungkan kemampuan ekonomi dan potensi daerah yang berbasis geografis dan demografis (Kompas, 21/11/2003) Dengan berbagai kasus nyata seperti di atas, tampak bahwa persoalan otonomi daerah tahun 2003 itu masih berkutat pada pemenuhan kepentingan pribadi para elite politik lokal sehingga kepentingan masyarakat banyak terabaikan.Namun, secara umum dinamika otonomi daerah yang berpijak pada UU No 22/1999 dinilai pemerintah relatif stabil dibandingkan ketika tahun pertama hingga kedua pelaksanaan UU tersebut. Depdagri, garda terdepan pemerintah dalam pelaksanaan otonomi daerah, mencatat banyak kemajuan. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Depdagri Oentarto Sindungmawardi mencatat, sepanjang tahun ini berbagai masalah yang dialami daerah, apakah itu eksekutif atau legislatif daerah, parpol ataupun tokoh daerah, pemecahannya adalah dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada. Mereka tahu batas-batasnya, mana yang untuk porsinya daerah, mana yang porsinya pusat. Kemajuan lain adalah kreasi daerah yang meningkat setelah implementasi UU No 22/1999. Jika sebelum itu daerah menunggu bola dari pemerintah pusat, sekarang di antara daerah sudah terjadi kompetisi antardaerah dan terdorong untuk melakukan kerja sama antardaerah. Daerah juga lebih bertanggung jawab sehingga dalam pembuatan kebijakan, seperti peraturan daerah atau pilkada, lebih berhati-hati karena mereka harus mempertanggungjawabkan apa yang diputuskan. "Jadi, sebetulnya rumusan UU No 22/1999 tidak ada masalah, tetapi dalam praktik format politik berbeda, dinamika politik berbeda. Makanya, mempengaruhi keluarannya," kata Oentarto. Ia memberi contoh dalam soal pemekaran daerah yang dirumuskan dalam UU No 22/1999 dengan UU sebelumnya, yaitu UU No 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah tidak berbeda. Hanya saja, dalam pelaksanaannya, pada masa UU No 5/1974 yang aktif adalah pemerintah untuk mengamati daerah-daerah mana yang siap dimekarkan. Namun, setelah UU No 22/1999, karena ada format dan dinamika politik yang berbeda, elite politik lokal memprovokasi kelompok-kelompok masyarakat untuk membentuk daerah otonom.Misalnya, jika ada suatu daerah yang kurang perhatian, lalu elite setempat berkepentingan dan merasa ingin punya bupati dan DPRD sendiri. Hal itu berarti ada tambahan jabatan-jabatan baru, yang pada gilirannya berarti ada peluang kedudukan politik dan perolehan finansial baru. "Elite politik lokal memanfaatkan kepentingan daerah untuk kepentingan sendiri. Bukan untuk kepentingan rakyat," kata Oentarto. Aspek lain dari pelaksanaan UU No 22/1999 yang bertumpu pada otonomi kabupaten/kota tersebut adalah "berkurangnya" wewenang para gubernur. Merekalah yang paling terpukul dengan UU No 22/1999 karena kebijakannya banyak dilangkahi oleh para bupati/wali kota. Oleh karena itu, mereka mendesak UU No 22/1999 direvisi. Memaparkan hasil Rapat Kerja Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Banda Aceh 24 September 2003, Ketua APPSI Sutiyoso mengemukakan bahwa hubungan pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota harus dipertegas lewat pemberian kewenangan dekonsentrasi pada gubernur yang rinci untuk semua bidang pemerintahan. Ini penting agar posisi gubernur di tingkat provinsi tidak asal dilewati oleh bupati atau wali kota dengan dalih menerapkan otonomi daerah. "Pemberian posisi yang jelas disertai kewenangan supervisi, fasilitasi, koordinasi, dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat kabupaten dan kota harus tegas. Artinya, harus dipahami bahwa gubernur adalah atasan dari bupati/wali kota," kata Sutiyoso, yang juga Gubernur DKI Jakarta (Kompas, 25/9/2003). Hasil Raker APPSI itu telah disampaikan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri pada 1 Desember 2003.Tentang wewenang gubernur tersebut, Oentarto menilai sebetulnya tidak ada yang salah dengan kewenangan gubernur di UU No 22/1999. Hanya saja formulasinya campur aduk antara gubernur dalam kapasitasnya sebagai kepala daerah dan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.Akan tetapi, para gubernur, terutama yang hasil pemilihan zaman Orde Baru, mengalami trauma psikopolitik karena dipilih oleh rezim Orde Baru. Kekuasaan gubernur waktu itu juga besar karena mereka juga menjadi penasihat Golkar di daerah sehingga bupati/wali kota dan DPRD takut. Sekarang, zamannya sudah memasuki zaman reformasi sehingga mereka mudah menjadi kambing hitam. Akibatnya, para gubernur tersebut menjadi minder."Itulah akibatnya gubernur berteriak-teriak seolah-olah kekuasaannya dikebiri dan kekuasaannya tidak ada. Padahal, mereka sendiri yang tidak menggunakan kewenangannya. UU No 22/1999-nya sudah betul," kata Oentarto. Berbeda dengan APPSI, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) yang tadinya sempat menolak revisi UU 22/1999 akhirnya mendukung revisi UU No 22/1999 yang merupakan hasil Rapat Kerja Nasional Ke-3 Apkasi 26 Agustus 2003 di Jakarta. Ketua Apkasi Syaukani menyatakan, Apkasi mendukung penuh revisi UU No 22/1999 sepanjang untuk memperkuat dan memberdayakan daerah, tidak mengarah pada resentralisasi dan tidak menimbulkan masalah baru. Apkasi meminta agar revisi itu difokuskan pada kejelasan pembagian kewenangan daerah agar tidak multitafsir dan tumpang tindih. Kewenangan pengawasan DPRD juga harus dipertegas. "Rencana pemilihan langsung kepala daerah hendaknya mempertimbangkan waktu dan sosialisasi pelaksanaannya," kata Syaukani, yang juga Bupati Kutai Kartanegara itu. MESKIPUN demikian, tuntutan untuk merevisi UU No 22/1999 tidak dapat terelakkan. Revisi UU No 22/1999 itu merupakan amanat Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang memerintahkan perintisan awal revisi yang bersifat mendasar terhadap UU No 22/1999. Selain itu, substansi UU No 22/1999 itu mesti menyesuaikan dengan hasil perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18. Dalam UUD 1945 itu ada perubahan mendasar dari istilah "kewenangan", seperti pada UU No 22/1999 menjadi sekadar "urusan pemerintahan". Perubahan istilah ini akan membawa implikasi besar dalam pelaksanaan otonomi daerah pascarevisi nanti karena pelimpahan kewenangan ke daerah seperti di UU No 22/1999 hanya menjadi sekadar pelimpahan urusan pemerintahan yang menimbulkan kesan resentralisasi. Sekarang ada dua naskah RUU Perubahan UU No 22/1999 tersebut, yaitu RUU usul DPR yang telah disepakati dalam rapat paripurna DPR 10 November 2003, dan RUU buatan Depdagri yang akan diserahkan ke DPR pada bulan Desember 2003. "Tak ada masalah dengan adanya dua RUU karena akan saling melengkapi," kata Oentarto. Perbedaan mendasar dari kedua draf RUU Perubahan UU No 22/1999 adalah RUU usul DPR lebih terfokus pada pilkada langsung, sedangkan pemerintah melakukan perubahan secara komprehensif terhadap materi UU No 22/1999. Di samping itu, pada Maret 2003 sempat beredar naskah RUU usulan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang akhirnya hanya menjadi kajian akademik karena terlalu radikal. "Dalam usulan LIPI itu otonomi tidak mesti dilaksanakan di kabupaten/kota karena potensi dan kemampuannya tidak sama. Oleh karena itu, otonomi tidak harus penuh. Bisa juga otonomi hanya dikenakan pada tingkat provinsi," kata Kepala Pengembangan Politik Nasional LIPI Sjamsuddin Haris. Oentarto mengemukakan, beberapa hal di UU No 22/1999 yang perlu diperjelas supaya tidak menimbulkan multitafsir di antaranya mengenai soal hierarki pemerintahan, kewenangan daerah mengelola sumber daya nasional, masalah kepegawaian, pilkada langsung, kewenangan DPRD, serta pemerintahan desa. Namun, Sjamsuddin mengamati adanya kegamangan pemerintah dalam revisi UU No 22/1999 tersebut karena tidak terlalu jelas kapan pembahasan RUU perubahan UU No 22/1999 itu akan dilakukan. Belum lagi setelah Pemilu 2004 nanti akan terbentuk Dewan Perwakilan Daerah yang memiliki kewenangan mengusulkan kebijakan otonomi daerah. Presiden Megawati sendiri berjanji revisi UU No 22/1999 akan selesai sebelum pelaksanaan Pemilu 2004 (Media Indonesia, 2/12/2003). Salah satu masalah utama pelaksanaan otonomi daerah selama tiga tahun ini, kata Sjamsuddin, adalah hampir tidak adanya peningkatan pelayanan masyarakat sebagai tujuan utama otonomi daerah. Hal itu karena tidak adanya standar pelayanan minimum di pemerintah daerah-pemerintah daerah yang mestinya dibuat oleh pemerintah pusat. Pendek kata, revisi UU No 22/1999 adalah keniscayaan. Akan tetapi, apabila hasil revisi UU No 22/1999 itu tidak menghasilkan peningkatan kesejahteraan rakyat, yang akan menikmati hanya elite politik lokal. Otonomi daerah hanyalah otonomi elite politik lokal.