CERITA RAKYAT SULAWESI SELATAN “La Dana dan Kerbaunya”

Posted by | Posted on 03.10


oleh A.M. Raihan R. (X-Akselerasi)
La Dana adalah seorang anak petani dari Toraja. Ia sangat terkenal akan kecerdikannya. Kadangkala kecerdikan itu ia gunakan untuk memperdaya orang. Sehingga kecerdikan itu menjadi kelicikan.
Pada suatu hari ia bersama temannya diundang untuk menghadiri pesta kematian. Sudah menjadi kebiasaan di tanah toraja bahwa setiap tamu akan mendapat daging kerbau. La Dana diberi bagian kaki belakang dari kerbau. Sedangkan kawannya menerima hampir seluruh bagian kerbau itu kecuali bagian kaki belakang. Lalu La Dana mengusulkan pada temannya untuk menggabungkan daging-daging bagian itu dan menukarkannya dengan seekor kerbau hidup. Alasannya adalah mereka dapat memelihara hewan itu sampai gemuk sebelum disembelih. Mereka beruntung karena usulan tersebut diterima oleh tuan rumah.
Seminggu setelah itu La Dana mulai tidak sabar menunggu agar kerbaunya gemuk. Pada suatu hari ia mendatangi rumah temannya, dimana kerbau itu berada, dan berkata “Mari kita potong hewan ini, saya sudah ingin makan dagingnya.” Temannya menjawab, “Tunggulah sampai hewan itu agak gemuk.” Lalu La Dana mengusulkan, “Sebaiknya kita potong saja bagian saya, dan kamu bisa memelihara hewan itu selanjutnya.” Kawannya berpikir, kalau kaki belakang kerbau itu dipotong maka ia akan mati. Lalu kawannya membujuk La Dana agar ia mengurungkan niatnya. Ia menjanjikan La Dana untuk memberinya kaki depan dari kerbau itu.
Seminggu setelah itu La Dana datang lagi dan kembali meminta agar bagiannya dipotong. Sekali lagi kawannya membujuk. Ia dijanjikan bagian badan kerbau itu asal La Dana mau menunda maksudnya. Baru beberapa hari berselang La Dana sudah kembali kerumah temannya. Ia kembali meminta agar hewan itu dipotong.
Kali ini kawannya sudah tidak sabar, dengan marah ia pun berkata, “Kenapa kamu tidak ambil saja kerbau ini sekalian! Dan jangan datang lagi untuk mengganggu saya.” La dana pun pulang dengan gembiranya sambil membawa seekor kerbau gemuk.

SUSUNAN KABINET INDONESIA BERSATU JILID II

Posted by | Posted on 03.03



Susunan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 di Topik Panas -- Berikut ini adalah susunan kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yang telah di umumkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY.red) pada rabu malam (22.00 WIB):


MENTERI KOORDINATOR
1. Menko Politik Hukum dan Keamanan : Djoko Suyanto
2. Menko Perekonomian : Hatta Rajasa
3. Menko Kesra : Agung Laksono

MENTERI DEPARTEMEN
4. Menteri Dalam Negeri : Gamawan Fauzi
5. Menteri Luar Negeri : Marty Natalegawa
6. Menteri Pertahanan : Purnomo Yusgiantoro
7. Menteri Hukum dan HAM : Patrialis Akbar
8. Menteri Keuangan : Sri Mulyani Indrawati
9. Menteri Pertambangan dan Energi : Darwin Saleh
10. Menteri Perindustrian : MS Hidayat
11. Menteri Perdagangan : Mari Elka Pangestu
12. Menteri Pertanian : Suswono
13. Menteri Kehutanan : Zulkifli Hasan
14. Menteri Perhubungan : Fredy Numberi
15. Menteri Kelautan dan Perikanan : Fadel Muhammad
16. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi : Muhaimin Iskandar
17. Menteri Pekerjaan Umum : Joko Kirmanto
18. Menteri Kesehatan : Endang Rahayu S
19. Menteri Pendidikan Nasional : Muhammad Nuh
20. Menteri Sosial : Salim Segaf Al Jufrie
21. Menteri Agama : Surya Dharma Ali
22. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata : Jero Wacik
23. Menteri Komunikasi dan Informatika : Tifatul Sembiring
Menteri Negara
24. Menteri Sekretaris Negara : Sudi Silalahi
25. Menteri Riset dan Teknologi : Suharna Surapanata
26. Menteri Lingkungan Hidup : Gusti M Hatta
27. Menteri Pemberdayaan Perempuan : Linda Agum Gumelar
28. Menteri BUMN : Mustafa Abu Bakar
29. Menteri Pemuda dan Olahraga : Andi A Malaranggeng
30. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara : EE Mangindaan
31. Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal : A. Hilmi Faisal
32. Menteri Perumahan Rakyat : Suharso Manoharsa
33. Menteri Koperasi dan UKM : Syarief Hasan
34. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional : Armida Alisyahbana

Pejabat Setingkat Menteri
34. Kepala BIN : Sutanto
35. Kepala Unit Kerja Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan : Kuntoro Mangkusubroto
36. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal(BKPM) : Gita Wiryawan

cara pintas keyboard os windows

Posted by | Posted on 02.54

* CTRL + TAB (Pindah maju melalui tab)
* CTRL + SHIFT + TAB (Pindah ke belakang melalui tab)
* TAB (Pindah maju melalui pilihan)
* SHIFT + TAB (Pindah ke belakang melalui pilihan)
* ALT + huruf digarisbawahi (Lakukan yang sesuai perintah atau pilih sesuai pilihan)
* ENTER (Lakukan perintah untuk aktif atau tombol pilihan)
* SPACEBAR (Pilih atau menghapus kotak jika yang aktif adalah pilihan cek box)
* Arrow keys (Pilih jika tombol pilihan yang aktif adalah sekelompok tombol pilihan)
* Tombol F1 (Menampilkan Bantuan)
* Tombol F4 (Tampilkan item yang aktif dalam daftar)
* Backspace (Buka folder satu tingkat atas jika folder yang dipilih dalam Simpan Sebagai atau Buka kotak dialog)
Microsoft Natural Keyboard Shortcuts
* Windows Logo (Tampilan atau menyembunyikan menu Start)
* Windows Logo + Break (Display System Properties dialog box)
* Windows Logo + D (Display di desktop)
* Windows Logo + M (Minimize semua windows)
* Windows Logo + SHIFT + M (Memulihkan jendela yang diminimalkan)
* Windows Logo + E (Open My Computer)
* Windows Logo + F (Mencari file atau folder)
* CTRL + Windows Logo + F (Mencari komputer)
* Windows Logo + F1 (Display Windows Help)
* Windows Logo + L (Mengunci keyboard)
* Windows Logo + R (Open the Run dialog box)
* Windows Logo + U (Open Utility Manager)
Aksesibilitas Keyboard Shortcuts
* Right SHIFT untuk delapan detik (Switch FilterKeys baik aktif atau tidak aktif)
* Left ALT + left SHIFT + PRINT SCREEN (Switch High Kontras baik aktif atau tidak aktif)
* Left ALT + left SHIFT + NUM LOCK (Mengalihkan MouseKeys baik aktif atau tidak aktif)
* SHIFT lima kali (Mengalihkan StickyKeys baik aktif atau tidak aktif)
* NUM LOCK selama lima detik (Mengalihkan ToggleKeys baik aktif atau tidak aktif)
* Windows Logo + U (Open Utility Manager)
Windows Explorer Keyboard Shortcuts
* END (Tampilkan bagian bawah jendela aktif)
* HOME (Display bagian atas jendela aktif)
* NUM LOCK + tanda asterisk (*) (Tampilkan seluruh subfolder yang berada di bawah folder yang dipilih)
* NUM LOCK + Plus sign (+) (Tampilkan isi dari folder yang dipilih)
* NUM LOCK + Minus sign (-) (Tutup folder yang dipilih)
* LEFT arrow (Tutup pilihan saat ini jika sudah meluas, orang tua atau pilih folder)
* RIGHT arrow (Tampilan pilihan saat ini jika sudah roboh, atau pilih subfolder pertama)

BEHAVIORALISME

Posted by | Posted on 02.22


            Politik yang mengangkat substansi maknanya pada “ Siapa mendapatkan apa,kapan dan bagaimana “ telah menjadi mediasi ruang konsepsi yang begitu luas dan massif untuk mengformulasi berbagai pemahaman tentang ilmu politik Pada skala pembicaraan seperti diatas maka akan melahirkan banyak variabel rasionalitas dan legalitas ilmu yang berkorelasi secara positif dengan ilmu politik baik dalam taraf abstraksi konseptual teoritik maupun metodologi praktikKeharusan bagi para ilmuwan politik untuk ikut urgen dalam menganalisis, memecahkan dan merekayasa sistem sosial beserta masalahnya hamoir tidak lepas dari asumsi dasar yang termaknakana pada politik yaitu “Kekuasaan” dan kata inilah yang menjadi spirit statemen diatas.
            Politik secara khusus menuntut pemahaman tentang kekuasaan.Bukan kekuasaan secara pribadi melainkan juga kekuasaan secara kolektif,sosial dan masyarakat dalam berbagai aspek.Kelahiran kekuasaan tidak lepas dari kebudayaan politik yang dianut oleh para aktor politik baik secara individu maupun secara kolektif (Colectif Behavior) yang memberikan pedoman dan orientasi pemikiran,prioritas kepentigan mereka,cita-cita mereka,kebijaksanaan normatif dan konvensional mereka yang diterapkan dalam kehidupan sistem sosial politiknya.Ketika demokrasi dalam konsepsi dan praktek mulai berkecambah tidak hanya dalam taraf formal namun juga substansial.Individu,kelompok,partai dan negara beserta segala mesin politiknya menjadi wacana politik yang tentatif,terbuka,rasional dan fleksibel.Konsepsi tercanggih dan mumpuni secara politik yang dibuat dan disepakati oleh manusia secara umum sekarang ini adalah demokrasi yang intinya bertumpu pada gagasan bahwa setiap orang lebih mampu memahami masalahnya dibandingkan dengan orang lain sehingga yang memimpin dalam memperoleh kekuasaanya harus berdasarkan rasionalitas,kecerdasan kolektif kelompoknya dan kelompok yang dipimpinya sampai pada taraf praksis.
Pada awalnya yang berkembang adalah pendekatan “Tradisional institusional” yang mengkaji ilmu politik pada persoalan politik kenegaraan,perbandingan politik,partai politik,konstitusi dan streessing kajianya pada sejarah,hukum,kelompok kepentingan,metode deskriptif dan komparatif.Fokus pembicaraanya banyak dicurahkan pada negara beserta mesin politiknya.Keterbelakangan wacana dalam pendekatan ini melahirkan pendekatan lain yaitu pendekatan “Behavioral” dimana mengkaji persoalan ideologi individu dan kelompok,stereoptik pemikiran politik,tingkat kesadaran politik,institusi sosial politik diluar institusi formal politik,hukum moral konvensinal sosial,peran masyarakat dan individu dalam politik dalam bentuk pendapat umum,pemilihan umum,koalisi politik,kekerasan politik.
Pendekatan terakhir yaitu pendekatan “Postbehavioral”sebuah gerakan yang muncul di Amerika pada pertengahan dekade enam puluhan ketika pengaruh berlangsungnya perang Vietnam dan kemajuan-kemajuan tekhnologi persenjataan dan diskriminasi ras yang sangat tajam dan melahirkan gejolak sosial yang luas dan massif.Gerakan protes ini terpengaruh oleh tulisan-tulisan cendekiawan seperti :Jean paul Sartre,Wright Mills,Herbert Marcuse dll.Reaksi Postbehavioralisme terutama ditujukan kepada usaha untuk mengubah penelitian dan pendidikan ilmu pendidikan ilmu politik menujadi suatu ilmu pengetahuan yang murni seperti pola lmu eksakta. 
PENDEKATAN BEHAVIORAL
            Kaum institusionalis berpendapat bahwa kendati sistem pemilihan,bentuk perwakilan parlementer dan presidentil pengawasan,pembagina ataukan pemisahan kekuasaan semuanya itu dibutuhkan tetapi tidak menjadi jaminan bahwa proses politik dalam sistem politik tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya.Suatu pemerintahan konstitusional dan institusionalis ternyata tidak mampu mempersatukan prilaku politik baik individu maupun kelompok yang tidaki stabil,tertib dan terpecah-pecah pada setiap medan sistem politik.
            Lahirnya pendekatan tingkah-laku (Behavioral) mengutamakan perhatianya kepada tindakan politik individu,hubungan pengetahuan,budaya politik terhadap tindakan politik,termasuk bagaimana pendapat politik terbentuk,ketajaman politik diperoleh,serta cara masyarakat memahami fenomena politik yang biasanya mengacu pada ideologi,sistem kepercayaan yang melahirkan pola prilaku yang penuh arti,imanen,konsisten bahkan kadan fanatis.
            Asal – usul behavioralisme yang menenkankan masalah prilaku tidak lepas dari raja filsafat Skeptis David Hume,filsafat pragmatis William James (1842-1914) yang menenkankan voluntarisme dan empirisme,tindakan individu,serta hubungan antara kesadaran dan tujuan.
TOKOH,PEMIKIRAN DAN KARYA
            Prinsip aliran behavioral berada pada filsafat praksis yang mencoba membentuk kebenaran filsafat praksis yang tidak didasarkan pada prinsip-prinsip ideal tetapi pada observasi pengalaman.
David Easton karyanya adalah “ General System Analysis” dan Saint Simon dengan karyanya “ Encyclopedia of  Unified Science “.Inti pemikiran mereka adalah :Pemikir ini berusaha mengisi kekosongan filsafat yang ditinggalkan oleh institusionalisme dengan berusaha menjawab pertanyaan “kenapa” mengenai politik melalui penjelasan tindakan individu  yang mencoba menempatkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan prilaku manusia secara utuh terhadap politik  dan lebih memberikan data empiris.
Graham Wallas ( 1858 – 1932) karyanya “Human nature In Politics”(London :Constauble,1908) pemikiranya pada pergeseran titik stressing dari model ekonomi politik ke psikologi politik yang mengkaji tentang masalah bagaimana sikap dan pendapat serta pengaruh pembagian kerja terhadap kepribadian individu.
Harold D Laswell karyanya “ Psychopatology and Politics “ (Chicago,1930).
Pemikiranya secara khusus mencangkokkan pemikiran Sigmund Freud kedalam teori psikologi dan politiknya dan lebih menekankan pada interaksi kelompok,ketegangan sosial,frustasi dan agresi dalam politik.
Abraham Kaplan karyanya  “The Conduc of Inguiry”(San Fransisco: 1964)
Stressingnya  adalah menggeser perspektif metafisika ,menganti kepastian dengan kemungkinan, mengganti rasionalisme dengan kecenderungan umum,dan deskripsi dengan distribusi dan ukuran penyebaran,mengecilkan hipotesis intuitif dengan hipotesis empiris yang didasarkan pada observasi.
Gabriel A.Almond karyanya “Structural Fungtional Analysis”inti pemikiranya yaitu berpangkal tolak dari meneropong masyarakat secar keseluruhan (Macro Analysis) yaitu mengkaji interaksi dan hubungan antara unsur masyarakat
Independensi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
Politik : Pembangunan VS Kemerosotan
            Sejak terjadinya perubahan cepat  dan besar-besaran atas banyak pemerintahan di dunia sesudah perang dunia kedua yang banyak meruntuhkan kekuasaan kolonial      dan banyak melahirkan negara merdeka,muncullah sejumlah besar pemerintahan – pemerintahan baru yang bentuknya beraneka ragam dan sering berubah dalam waktu singkat.Sehingga masalah utama : bentuk pemerintahan apa yang sesuai dan paling baik dinegara-negara baru itu. Malangnya,tidak ada jawaban yang sederhana dan realistis untuk memecahkan  masalah tersebut.Awalnya banyak yang mencoba melestarikan konsep politik lama warisan kolonial dengan hanya sedikit melakukan perubahan sedangkan beberapa negara lain mencoba melakukan perubahan yang radikal.Fakta kemudian menunjjukkan bahwa pada prakteknya mereka  banyak menemui kegagalan,ketidakstabilan,beberapa bentuk pemerintahan mengalami keadaan eksperimental,trial and error (Coba-coba),perubahan dan berlaku secara singkat.Mulai dari tipe pemerintahan barat,parlementer, presidentill, satu partai, multi partai, pemerintahan militer, fasis, komunis  dan varian-varian lainya.Semuanya itu menunjukan pelitnya mencari  jalan proporsional ataupun terbaik terhadap sistem pemerintahan yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan sosial,politik,budaya,ekonomi    masyarakatnya sendiri.
            Pada waktu yang sama dunia setelah perang dunia kedua diwarnai dengan konstelasi politik yang mengalami perubahan yang sangat drastis.Bila dibandingkan dengan kondisi sebelum perang yang relatif stabil,sistem sosial yang konvensional – relatif modern,ekonomi yang tumbuh terbatas,orientasi politik yang moderat,satu warna dan minim fokus.Sesudah perang mulailah bermunculan banyak kekuatan yang berkompetisi dan mendesakkan proyek politiknya terhadap berbagai dimensi dalam sebuah sistem politik.Wacana perubahan dalam bidang politik,ekonomi,budaya,sosial merupakan bias dalam satu sisi dari pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan ddalam berbagai bidang seperti bidang komunikasi dan informasi,alat perang,industri dan sebagainya.
             Konstelasi sosial,politik,ekonomi,budaya yang mengalami serangkaian perubahan cepat dan massif dalam dasawarsa tahun limapuluhan.Dr.Mochtar Mas`oed dalam bukunya “ Negara,Kapital dan Demokrasi “ memberikan ulasan deskripsi singkat mengenai fenomena perubahan konstelasi politik sebelum dan sesudah perang dunia kedua.Awalnya pada era tahun 40-an keadaan sosial politik negara cenderung stabil,efektif,ekonomi tumbuh relatif normal,orientasi politk minim sebagai akibat respon positif akan kindisi real pada saat itu dimana semua komponen sistem politik dalam negara bersatu untuk melepaskan diri dari cengkeraman penjajah                                   ” Kolonialisme” ,tidak ada kepentingan yang tidak saling mendukung antara infrastruktur politik dalam hal ini kelompok kepentingan ,tokoh masyarakat,partai,organisasi keagamaan dan kemasyarakatan,rakyat horisontal,elit tradisional dll dengan suprastruktur politik yaitu mesin politik berupa alat-alat perlengkapan negara meskipun hanya berjalan secara nonformal dan tidak diakui.Pada kondisi inilah disebut “Conditio Sine Quo None” yaitu kondisi yang menyebabkan persatuan dan kesatuan dimana  ada satu musuh bersama yang menjadi titik konsentrasi dan akar dari setiap masalah yang dihadapi setiap komponen bangsa dan negara yaitu penjajahan.
            Sesudah perang dunia kedua,telah banyak negara memperoleh kemerdekaanya dari penjajah para era tahun 50-an.Kemerdekaan ini ditandai dengan kesanggupan dari aktor sistem politikk menentukan sikap politik,ideologi,bentuk pemerintahan dan tujuan-tujuan negara beserta kelengkapanya.Pada kondisi inilah partisipasi politik berbagai kelompok politik berakumulasi dalam memformulasi kepentingan politiknya dalam mengisi kemerdekaan dengan kelengkapan negara yang dibutuhkan. Terbukti mulai terjadi keterpecahan, ketidakstabilan, inefektifitas bahkan perombakan sistem politik secara besar-besaran dalam waktu yang cepat seperti parlementer / presidentill, satu partai /multi partai, barat atau timur beserta varian-varian lainya.Skala inilah politik banyak dibicarakan pada tingkat kenegaran beserta institusi serta konstitusinya melalui pendekatan institusionalisme,seolah medium dan centrum pembicaraan politik real adalah “Negara” yang banya kmengalami pergulatan dan perubahan sesuai tuntutan politis, ekonomi, budaya dan sosialnya sendiri.
            Pendekatan ini akhirnya berubah pada era tahun 70-an dimana fokus pembicaraan politik mengarah pada pendekatan keilmuan secara sistemik dimana rakyat,individu,unsur masyarakat menjadi objek kajian politik secara serius dikarenakan banykanya partisipasi,perubahan tuntutan dan dukungan dari rakyat bawah dalam membangun politik negara.Pertanyaan yang selalu muncul dalam kondisi seperti inilah yang melahirkan pertanyaan tentang sistem politik yang seperti apa yang terbaik ataupun proporsional  dan mumpuni untuk diterapkan oleh negara-negara yang baru berkembang dan merdeka agar tercipta sebuah tertib politik,modernisasi politik,stabilitas dan efektifitas politik dll.Darimna kita mesti memulai sebuah pembanguna politikk yang konsepsinya mampu menjawab keresahan kepentingan dari setiap aktor politik dalam berbagai dimensi baik politik,ekonomi,budaya,sosialnya sendiri sampai pada tataran praksis.Salahsatu pemikir yang getol dalam mengkaji teori-teori transisi yaitu :Samuel P.Huntington.keterlibatanya dalam mencurahkan pemikiran seputar kajian fenomenologis tentang realitas perubahan politik dunia ketiga,perubahan sistem politik,tertib politik,pembangunan politik dan sebagainya.
            Adalah S.P.Huntington yang berkata bahwa banyak studi tentang negara-negara baru telah mengabaikan pertumbuhan lembaga-lembaga politik dan sebaliknya telah memusatkan perhatiannya  pada perubahan-perubahan dalam masyarakat. Prof.Huntington mengkritik tendensi ini,sebap perubahan sosial yang pesat dapat merusak pembangunan politik.Hanya partai-partai yang kuat merupakan alternatif dari ketidakstabilan yang disebabkan oleh perubahan sosial yang pesat.
S.P.Huntington dan Pembangunan Politik
             “ Diantara hukum-hukum yang mengendalikan masyarakat manusia” kata de Tocqueville,” ada sebuah hukum yang nampaknya lebih tepat dan jelas daripada hukum-hukum yang lain.Bilaman manusia ingin tetap menjadi beradab,maka seni untuk hidup bergaul bersama harus tumbuh dan disempurnkan sesuai dengan peningkatan persamaan kondisi.
            Huntington mengutip pernyataan ini dalam tulisanya tentang “ pembangunan politik dan kemerosotan politik” yang menjadi bagian kajian analitiknya terhadap masalah-masalah pembangunan politik serta memberikan formulasi konseptual tentng tujuan pembangunan politik dinegara-negara berkembang dan baru merdeka.Analisis terhadap tujuan pembangunan politik tersebut ialah sebagai berikut :
Stabilitas Politik untuk Pembangunan Politik
Kebanyakan negara duna sekarang ini,persamaan dalam partisipasi politk berkembang jauh lebih cepat daripada tumbuhnya “ Seni untuk hidup bersama” tempo kecepatan  mobilisasi dan partisipasi politik lebih cepat ketimbang kemampuan menginstitusikan dan mengorganisasikanya.Dalam masyarakat seperti ini,mobilisasi dan pengembangan mengalami pertentangan yang tajam yang real dalam politik.
            Stabilitas politik akan tercapai apabila telah terbangun seni untuk hidup bersama tadi dimana tidak hanya diukur dari modernisasi politik yang berbicara tidak hanya pada skala politik konvensional yaitu dari adanya interaksi mutualis antar individu dan membentuk kelompok kecil yang sevisi dan bergerak untuk memperjuangkan kepentingan politiknya.Sorotan pada mobilisasi dan partisipasi politik dalam modernisasi sistem sosial politik menuntut adanya rasionalisasi ,integrasi dan demokratisasi untuk melahirkan “masyarakat partisipatif “ yang membedakan masyarakat tradisional.Tujuan ini tercapai apabila terdapat stabilitas politik melalui penguatan institusi politik dalam mengatur ruang tindak politik masyarakat.Partai politik dalam hal ini menjadi sorotan dalam menginstitusikan partisipasi politik,jembatan emas antara masyarakat sampai kepada mesin politik negara sehingga memerlukan ketertiban,stabilitas politik dan keseimbangan antara partisipasi politik dengan institusi politik.

Demokrasi
Tujuan pembangunan politik adalah melahirkan  ciri - ciri umum lahirnya pembangunan politik menuju modernisasi politik.Bila Karl Deutsch menekankan definisi modernisasi pada mobilisasi sosial,peningkatan standar intelektualitas,urbanisasi,keterbukaan,media massa,industrialisasi,pendapatan per capita,perluasan basis masyarakat yang relevan secara politis,memperbanyak tuntutan pelayanan kepada pemerintah,peningkatan kemampuan institusi pemerintah,perluasan kaum elit,pertambahan partisipasi elit dan pergeseran perhatian dari tingkat daerah ke tingkat nasional.Huntington memahami dan menyepakati konsep ini dalam tataran ideal konseptual   atau pada cita-cita.Namun Huntington lebih menyoroti konsep ini sebagai sesuatu yang sangat arbiter ( api cita-cita ) dimana tidak mampu memberikan mekanisme kongkret yang mendekatkan antara idealitas dan realitas.Masyarakat demokratis seperti dicirikan diatas hanya mungkin tercapai ketika disertai kehandalan institusi politik mengakomodir semua partisipasi politik tersebut.Mobilisasi sosial dan partisipasi politik berkembagan pesat di Asia dan
Afrika namun semua itu mengalami kemunduran lembaga-lembaga politik pada wilayah itu,peningkatan ekonomi belum tentu mengstabilkan sosial,industrialisasi dan urbanisasi belum tentu memenuhi semua tuntutan,kemampuan intelektualitas justru hanya mengakibatkan banyaknya tuntutan masyarakat ketimbang dukungan atau konstribusinya sehingga yang terjadi adalah “ Revolusi kekecewaan yang massif ”.
            Pada taraf ini Huntington menginginkan demokratisasi yang semua idealitas konseptual diatas bisa direalisasikan dengan tidak hanya menyorot pada kondisi-kondisi sosial yang modern dalam sistem politik yang demokratis tetapi bagaimana menemukan mekanisme kongkret yang dapat mempertemukan idealitas dengan realitas secara linear,balance dan harmonis melalui indikator besarnya tuntutan masyarakat disertai besarnya dukungan serta konstribusi masyarakat terhadap lembaga politik untuk memajukan dan melaksanakanya.
Pertumbuhan Ekonomi
Kebanyakan negara yang sedang berkembang sekarang sedang mengimpor modernisasi politik secara massif namun melupakan lembaga politik yang kian merosot  termasuk program industrialisasi,urbanisasi,edukasi.Peningkatan secara cepat dan massif pada ketiga perangkat ini ternyata tidak memberikan jaminan lahirnya sebuah masyarakat demokratis dan berkeadilan dalam kemakmuran.
Persoalan yang muncul adalah modernisasi pada tiga perangkat tersebut yang bernilai ekonomis ternyata tidak disertai dengan kesanggupan masyarakat tradisional dan lembaga-lembaga tradisionalnya untuk adaptif terhadap modernisasi bahkan yang muncul adalah semakin tajamnya perpecahan antara lembaga masyarakat tradisional dan lembaga modern sehingga terdapat kesenjangan antara kota dan desa,kemerosotan moral dengan lahirnya birokrat korup,lahirnya budaya masyarakat korup,meningkatnya kekuatan  sosial yang merusak. Menurut Lucian Pye :”Mengharapkan kemampuan sebuah bangsa untuk membuat dan membentuk organisasi yang luas,kompleks dan fleksibel sesuai kebutuhan sosial politis masyarakat “
            Persoalan ekonomi menurut Huntington adalah bagaimana kita memformulasi konsep ekonomi yang menjamin kemajuan dan keadilan tanpa merusak lembaga tradisional yang justru menjadi penghambat lahirnya demokratisasi dan kemakmuran ekonomi.Modernisasi lembaga tradisional tidak mesti membunuh lembaganya termasuk persoalan modernisasi pada bidang ekonomi tetap mengikutseretakan rakyat secara real dan produktif disertai kompleksitas dan felsibilitas lebaga dalam mengaturnya.
Otonomi Nasional
Serupa dengan yang dibahasakan seperti diatas,bahwa proyek impor agenda pembangunan politik berupa industrialisasi, edukasi, urbanisasi, mobilisasi sosial, partisipasi sosial, pemapanan tuntutan sosial,pemapanan institusi pemerintah dan sebagainya harus disertai kesiapan masyarakt dalam membangun partisipasi dan institusi politiknya menuju kompleksitas yang fleksibel dalam mengatur semua agenda tersebut.
            Huntington dalam usahanya mengkaji konsepsi tentang linearitas,harmonitas antara pesatnya mobilisasi dan partisipasi serta urgensi modernisasi politik terhadap sistem politik menuju kedinamisan sistem politik dan tidak mengalami stagnasi bahkan kehancuran pada institusi seperti yang banyak terjadi di Asia dan Afrika pada dekade tahun 50-70-an terlihat dari konsepsinya yang menginginkan setiap agenda modernisasi pembangunan politik menemukan titik otonomnya secara real dan rasional serta fleksibel dimana antara tuntutan,dukungan serta kesanggupan institusi melaksanakanya  menjadi sebuah paket yang nyambung,sistematis,realistis dan meminimalkan rfesiko chaos politis.
            Pada modernisasi politik,Huntington menginginkan konsep politik otonom dengan meniadakan kesenjagan proyek politik modernisasi dengan reduksi atau mengasingkan pemikiran,masyarakat dan lembaga tradisional sehingga tidak melahirkan perpecahan antara agen modernisasi politik dengan masyarakt horisontal,pada persoalan politik tidak terjadi kesenjangan antara peran politik kota dan desa ,antara masyarakat birokrat dengan masyarakat desa.Organisasi politik yng ideal menurut Seydou Kouyete haruslah merupakan organisasi politik yang berfungsi sebagai wadah perpaduan dimana masyarakt kota dan desa,nasional dan internasional,bertemu disatu titik.Ia harus mampu membuka keterasingan masyarakat kultur horisontal  menuju kesatuan nasional yang kian memperkokoh keberadaanya.Sehingga jurang pemisah antara moderniosasi dengan tradisonal,kota dan desa,kesenjagan ekonomi dll dipertemukan secara positif menuju kesatuan visi-visi politis secara utuh dan menyeluruh.
                 

Privatisasi Agama

Posted by | Posted on 02.20


Privatisasi Agama dalam Masyarakat Kapitalistik
Oleh Fahrizal A. Halim
A. Latar Belakang Masalah
Suatu fenomena yang cukup menarik di Indonesia sejak tahun 1990 adalah banyaknya orang memperbincangkan wacana globalisasi. Wacana globalisasi, di dalam perkembangannya lebih dimaknai dalam konteks globalisasi ekonomi, yaitu tersebarnya dominasi ekonomi pasar bebas hampir di seluruh dunia. Hal itu dapat terjadi mengingat konstelasi ekonomi-politik dunia menampilkan kapitalisme sebagai kekuatan utama. Sebagai kekuatan tanpa tanding, kapitalisme bukan semata-mata kekuatan ekonomi, kapitalisme sekaligus merupakan kekuatan budaya, yang mampu merekonstruksi pola sosial budaya masyarakat dunia. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemaknaan globalisasi pun menjadi luas dan majemuk. Globalisasi ekonomi secara tidak langsung mengacu kepada keseluruhan proses inkorporasi manusia menjadi suatu tatanan masyarakat global (Yaya Abdul Aziz, 1998 ; xv ).
Globalisasi sebagai gerakan budaya telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan totalitas, kesatuan nilai dan kepercayaan. Budaya global ditandai oleh integrasi budaya lokal kedalam suatu tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam menjadi basis dalam pembentukan sub-sub kebudayaan yang berdiri sendiri  dengan kebebasan-kebebasan ekspresi. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktek kehidupan yang beragam (Friedman,1994 ; 12).
Cara orang mempraktekkan agama juga berbeda-beda, bukan hanya karena agama mengalami proses kontekstualisasi, sehingga agama melekat (embedded) di
dalam masyarakat, tetapi juga karena budaya yang mengkontekstualisasikan agama itu merupakan budaya global, dengan tata nilai yang berbeda. Iklim yang kondusif bagi perbedaan-perbedaan cara hidup tersebut telah melahirkan proses individualisasi yang meluas, yang menjauhkan manusia dari konteks generalnya.
Kecenderungan ini dapat dilihat pada apa yang dikatakan para ahli sebagai  'privatisasi agama' (Beyer, 1991 ; 373), yang menunjukkan proses individualisasi dalam penghayatan dan praktek keagamaan. Kecenderungan privatisasi agama tersebut merupakan tegangan serius terhadap kedudukan agama sebagai institusi religius. Konstruksi budaya global yang erat dengan ekspansi kepentingan kapitalisme secara bersamaan telah mengaburkan
institusi religius.
Institusi religius sebagai suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum untuk mencapai kebutuhan dasar yang berkenaan dengan dunia supra-empiris (Hendropuspito, 1990 ; 114), terancam semata-mata menjadi pelengkap identitas individu. Karena yang menjadi acuan bukan lagi kedudukan  agama sebagai sistem nilai yang memberikan basis pengetahuan dalam proses evaluasi dan praktek kehidupan seseorang, melainkan kedudukan agama sebagai
faktor penentu dalam pembentukan identitas diri yang juga sekaligus merupakan alat dalam menegaskan pluralitas penganutnya. Dengan demikian, privatisasi agama ini tidak hanya menegaskan pergeseran masyarakat secara meluas, tetapi juga akan mempengaruhi proses reorganisasi sosial budaya.
Tulisan ini bermaksud melihat lebih jauh kecenderungan privatisasi agama yang terjadi dalam masyarakat dan konteks sosio-kulturalnya. Kekuatan pasar sebagai salah satu pendorong berlangsungnya globalisasi budaya merupakan identitas yang melekat pada masyarakat. Oleh karena itu kecenderungan privatisasi agama diteliti secara reflektif pada masyarakat yang hidup dalam budaya dan etos kerja kapitalistik. Permasalahan utama yang dapat dirumuskan adalah bagaimana privatisasi agama tersebut dapat terjadi ?
Beberapa poin pembuka seperti pemaknaan sosiologis tentang agama dan kedudukannya dalam  globalisasi budaya,  kapitalisme dan pengaruh modernisme merupakan unsur pokok yang harus diteliti dalam rangka memperoleh analisa komprehensif mengenai kecenderungan privatisasi agama tersebut.
B. Modernisme dan Cara Pandang Terhadap Agama
Perkembangan masyarakat modern merupakan revolusi kebudayaan terbesar dalam sejarah peradaban manusia. Modernisasi adalah pemacu prestasi manusia dalam memahami dunianya  secara  rasional setelah kebekuan pemikiran abad Pertengahan. Momentum sejarah peradaban modern tersebut adalah renaisans (renaissance). Renaisans adalah  suatu gerakan yang membawa semangat kelahiran kembali diri manusia dari belenggu dogma agama abad Pertengahan. Meskipun belum dapat ditentukan kurun waktu permulaan peradaban modern, akan tetapi gerakan humanisme Italia pada abad ke-14 dapat dijadikan sebagai awal gerakan modernisasi (Harun Hadiwijono, 1993 : 11). Humanisme Italia tersebut merupakan gerakan pembaharuan di bidang kerohanian, kemasyarakatan, dan kegerejaan yang bertujuan untuk menyempurnakan pandangan hidup Kristiani.  Gerakan pembaharuan tersebut, menurut Harun Hadiwijono dilaksanakan dengan menghubungkan hikmah klasik dengan wahyu. Hikmah klasik dijadikan sebagai penuntun untuk meningkatkan perkembangan yang harmonis dari sifat-sifat dan kecakapan-kecakapan alamiah manusia (1993 : 11). Namun dalam perkembangan selanjutnya humanisme berkembang bukan lagi sebagai gerakan pembaharuan untuk kesempurnaan iman Kristiani, melainkan telah mengarah pada aspek-aspek yang profan dalam hidup manusia. Manusia tidak lagi terpaku pada wahyu dan dunia akhirat, tetapi lebih menerima hidup dalam batas-batas dunia sebagaimana adanya.
Di dalam Renaisans manusia mulai memperhatikan segala hal yang konkrit berupa alam semesta, manusia, masyarakat dan sejarah. Manusia mulai berusaha memahami dunia dan dirinya sendiri serta hidup dan kehidupannya. Hal tersebut merupakan permulaan pengukuhan relasi subjek (rasio), wacana dan dunia. Relasi tersebut kemudian berkembang subur dalam peradaban modern.
Proses modernisasi telah menguatkan subjektifitas individu atas alam semesta, tradisi dan agama.  Manusia dalam subjektifitasnya, dengan kesadarannya dan dalam keunikannya, menurut Franz Magnis telah menjadi titik acuan pengertian terhadap realitas (1992 : 60). Manusia memandang alam, sesama manusia, dan Tuhan mengacu pada dirinya sendiri. Supremasi keyakinan teologis telah melebur dalam relasi-relasi kehidupan. Kekuasaan Tuhan atas alam semesta telah diambil oleh subjektifitas manusia sebagai penakluk alam semesta. Manusia menjadi lebih bebas dalam merealisasikan kehidupannya tanpa campur tangan kekuatan lain diluar dirinya sendiri. Manusia berkembang sebagai makhluk pekerja (homo faber) yang bebas untuk menata kehidupannya di dunia.
Dalam konteks keyakinan teologis, menguatnya subjektifitas manusia modern menunjukkan dimulainya kebebasan individu dalam menolak kepercayaan yang tidak sesuai dengan suara hatinya. Gereja sebagai pemegang otoritas agama tidak lagi dipahami sebagai satu-satunya sumber kebenaran.  Tafsiran arti kitab suci bukan lagi hak para pemimpin gereja, melainkan setiap orang berhak membaca dan merenungkan kitab suci sendiri (Franz  Magnis, 1992 : 63).
Kebebasan manusia atas kekuasaan yang datang dari luar dirinya menandai mulainya zaman "Pencerahan" (Aufklrung). Zaman Pencerahan adalah zaman akal. Sebagaimana dijelaskan Immanuel Kant, zaman Pencerahan adalah zaman manusia keluar dari keadaan tidak akil balik yang disebabkan karena manusia tidak memanfaatkan akal budinya (Harun Hadiwijono, 1993 : 47). Pada zaman ini kesadaran manusia untuk melepaskan diri dari ikatan mitos tentang rahasia dunia semakin kuat.
Pencerahan adalah sebuah periode dalam sejarah yang membentuk ajaran hidup, motto serta aturan-aturannya sendiri. Pencerahan meruapakan sebuah periode yang mampu menggambarkan apa yang harus dilakukan dalam hubungannya dengan sejarah umum pemikiran dan kekiniannya, serta bentuk-bentuk pengetahuan, kebodohan dan ilusi yang memungkiknkan manusia untuk sanggup menyadari kondisi historis yang dihidupinya (Foucault, 1988 : 89).
Esensi Pencerahan adalah 'energi hidup' (lan vitale) yang berusaha menghargai keutamaan akal budi sebagai penuntun kehidupan manusia dalam sejarah yang dijalankannya (Hikmat Budiman, 1997 : 23). Akal budi Pencerahan kemudian membentuk disensus terhadap sistem pemikiran yang telah mapan dalam institusi-institusi kerohanian dan kerajaan abad Pertengahan. Para pemikir Pencerahan berkeyakinan bahwa kebenaran ada di kepala (akal) setiap orang. Oleh karena itu manusia harus berpartisipasi untuk menyempurnakan diri secara personal. Dengan demikian semangat Pencerahan telah membentuk suatu keyakinan bahwa apa yang sebelumnya dianggap universal dan mutlak sudah saatnya diragukan.
Menurut Hikmat Budiman, inti masalah yang dihasilkan dari pemikiran Pencerahan adalah pemisahan keutuhan antara dimensi-dimensi subjek dan objek pengalaman umat manusia. Pemisahan tersebut kemudian termanifestasikan dalam sejumlah dikotomi berupa teoritis-praktis, pikiran-badan, ilmiah-moral, fakta-nilai, publik-privat, alam-budaya dan sebagainya. Manusia Pencerahan adalah mereka yang telah menjalani  denaturalisasi dan desosialisasi alam secara bersama-sama. Identitas manusia modern adalah budaya (culture), karena kebudayaan dengan sendirinya merupakan jalan  bagi pemerdekaan manusia dari relasi-relasi yang penuh dengan mitos tradisonal. Manusia Pencerahan adalah sosok personal yang sempurna melalui pembudayaan dengan pedoman akal budi (1997 : 29).
Zaman Pencerahan telah menempatkan arti penting rasio sebagai sesuatu yang mampu mengatasi kekuatan metafisis dan transendental. Rasio dijadikan sebagai kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. Melalui dialektika pemikiran para pemikir Pencerahan, kebudayaan modern berkembang dalam sejarah peradaban dunia. Immanuel Kant yang memunculkan konsep "kritisisme" telah membentuk prinsip-prinsip kehidupan yang berlandaskan pada batas-batas kemampuan dan syarat kemungkinan rasio. Menurut Ahmad Sahal, kritisisme Kant tersebut selalu dipahami sebagai sebuah solusi dan prinsip universal (Ahmad Sahal, 1994 : 13). Keunggulan rasio dianggap mampu mengatasi semua pengalaman yang bersifat partikular dan khusus, sehingga dapat menghasilkan kebenaran-kebenaran mutlak yang universal.
Keunggulan rasio yang mampu menghasilkan kebenaran mutlak tersebut semakin jelas dalam pemikiran Hegel. Dalam pandangan Hegel, sejarah adalah gerak rasionalitas yang  menaik  secara  dialektis  untuk  mencapai  totalitas (Ahmad Sahal, 1994 : 13). Semua unsur yang berbeda dan terpisah, dalam konsep Hegel dipandang sebagai kriteria yang harus disatukan dalam totalitas. Tidak ada satu kriteria pun yang dapat terpisah dari dialektika rasio dalam rangka mencapai totalitas absolut. Oleh karena itu modernitas tidak hanya dipandang sebagai proyek kekinian, melainkan meliputi kondisi historis yang melatarbelakanginya. Dialektika adalah konsep waktu yang bergerak terarah, dan didalamnya manusia mengalami waktu sebagai sumber yang langka untuk memecahkan masalah. Dengan kelangkaan itu manusia memandang masa kini sebagai suatu peralihan ke masa depan yang diharapkan lebih baik dari sebelumnya (Budi Hardiman, 1993 : 185). Rancangan masa depan yang lebih baik tersebut dijadikan landasan bagi kebudayaan modern. Ilmu pengetahuan, mo

SEMIOTIKA

Posted by | Posted on 02.18


SEMIOTIKA
Esai Saut Situmorang

Diterjemahkan dari buku MH Abrams,
A GLOSSARY OF LITERARY TERMS, 5th Edition, 1988, Holt,
Rinehart and Winston, Inc, New York.

Di akhir abad ke sembilanbelas filsuf Amerika Charles Sanders Peirce memulai sebuah studi yang dinamakannya “semiotic”, dan dalam bukunya COURSE IN GENERAL LINGUISTICS (1915) linguis Swiss Ferdinand de Saussure tanpa mengetahui ide Peirce tersebut mengusulkan sebuah ilmu ( a science) yang disebutnya “semiology”. Sejak itu semiotika dan semiologi telah menjadi nama-nama alternatif bagi sebuah ilmu umum tentang tanda-tanda (a general science of signs), seperti yang terdapat dalam semua pengalaman manusia. Menurut ilmu ini pemakaian tanda tidak terbatas pada sistem komunikasi yang eksplisit seperti bahasa, kode Morse, dan tanda serta signal lalulintas; beragam aktivitas dan produksi manusia lainnya – postur dan gerak badan kita, ritual sosial yang kita lakukan, pakaian yang kita pakai, makanan yang kita sajikan, bangunan tempat kita tinggal – mengandung “arti” yang dimengerti oleh anggota-anggota dari kebudayaan tertentu, makanya bisa dianalisis sebagai tanda-tanda yang berfungsi dalam berbagai jenis sistem signifikasi. Walaupun studi tentang bahasa (pemakaian tanda-tanda verbal) dianggap hanya sebagai satu cabang semiotika, linguistics yang merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat berkembang menyediakan metode dan peristilahan dasar yang dipakai oleh seorang semiotikus dalam mempelajari semua sistem-tanda sosial lainnya.
C.S. Peirce membedakan tiga kelas tanda, yang didefinisikannya dalam konteks jenis hubungan antara item yang menandakan dan yang ditandakan: (1) IKON, berfungsi sebagai tanda melalui persamaan inheren, atau unsur-unsur yang dimiliki bersama, dengan apa yang ditandakan; contoh-contohnya adalah persamaan antara sebuah potret dengan manusia yang digambarkannya, atau persamaan antara sebuah peta dengan wilayah geografis yang diwakilinya. (2) INDEKS adalah sebuah tanda yang memiliki hubungan kausal dengan apa yang ditandakan; jadi, asap merupakan tanda yang mengindikasikan api, dan sebuah alat penunjuk arah angin mengindikasikan arah angin berhembus. (3) Dalam SIMBOL (atau dengan istilah yang kurang ambiguitas, “tanda sebenarnya”) hubungan antara item penanda dan apa yang ditandakan bukanlah sebuah hubungan yang alami, tapi merupakan sebuah konvensi sosial. Gerakan berjabatan tangan, misalnya, dalam banyak kebudayaan merupakan tanda konvensional untuk sapaan ataupun perpisahan, dan lampu lalulintas berwarna merah secara konvensional menandakan “Berhenti!” Contoh paling utama dan paling kompleks dari tipe tanda ketiga ini adalah kata-kata yang membentuk sebuah bahasa.
Saussure memperkenalkan banyak dari istilah dan konsep yang dipakai para semiotikus sekarang ini. Yang paling penting adalah sebagai berikut: (1) Sebuah tanda terdiri dari dua komponen atau aspek yang tidak dapat dipisahkan, yaitu “signifier” (dalam bahasa, seperangkat bunyi ujaran, atau tanda-tanda di atas kertas) dan “signified” (konsep, atau ide, yang merupakan arti dari tanda tersebut). (2) Sebuah tanda verbal, dalam peristilahan Saussure, bersifat “arbitrary”. Maksudnya, dengan onomatopoeia (kata-kata yang kita anggap sama dengan bunyi-bunyi yang ditandakan) sebagai pengecualian kecil, tidak ada hubungan inheren atau alami antara sebuah “signifier” verbal dengan apa yang ditandakan (signified). (3) Identitas dari semua elemen sebuah bahasa, termasuk kata-katanya, bunyi-bunyi ujaran komponennya, dan konsep-konsep yang ditandakan kata-kata, tidak ditentukan oleh “kualitas positif”, atau unsur-unsur objektif dalam elemen-elemen itu sendiri tapi oleh perbedaan (differences), atau sebuah jaringan hubungan, yang terdiri dari perbedaan dan oposisi dengan bunyi-bunyi ujaran lainnya, kata-kata lainnya, dan “signified” lainnya yang terdapat hanya dalam sebuah sistem linguistik tertentu. (4) Tujuan dari linguistics, atau usaha semiotika lainnya, adalah untuk memahami “parole” (sebuah ujaran verbal, atau sebuah pemakaian khusus tanda atau seperangkat tanda) hanya sebagai sebuah manifestasi dari “langue” (yaitu sistem umum dari perbedaan-perbedaan implisit dan aturan-aturan kombinasi yang mendasari dan memungkinkan sebuah pemakaian khusus tanda). Fokus perhatian semiotika lebih banyak terletak pada sistem yang mendasari “langue” daripada pada sebuah “parole” tertentu.
Semiotika modern berkembang di Perancis di bawah pengaruh Saussure hingga banyak semiotikus juga merupakan strukturalis. Mereka membahas setiap fenomena atau produksi sosial sebagai “teks”, yakni seperti yang terbentuk oleh struktur-struktur yang berdiri sendiri, mandiri dan hierarkis dari tanda-tanda, “kode-kode” fungsional yang ditentukan secara berbeda-beda, dan aturan-aturan kombinasi dan transformasi yang membuatnya “berarti” bagi anggota-anggota sebuah masyarakat. Claude Levi-Strauss, di tahun 1960an dan sesudahnya, memulai penerapan semiotika atas antropologi budaya dan pendirian strukturalisme Perancis dengan memakai linguistics Saussure sebagai model untuk menganalisis berbagai fenomena dan praktek-praktek dalam masyarakat primitif, yang diperlakukannya sebagai setengah-bahasa, atau struktur-struktur penanda yang independen. Ini termasuk sistem kekerabatan, sistem totem, cara menyiapkan makanan, mitos, dan mode pra-logis dalam penginterpretasian dunia. Jacques Lacan menerapkan semiotika atas psikoanalisis Freud, dengan menginterpretasikan ketaksadaran sebagai sebuah struktur tanda, seperti bahasa; dan Michel Foucault melakukan pendekatan analisis yang serupa untuk mendiskusikan, dalam berbagai periode sejarah, interpretasi medis atas symptom penyakit, perubahan dalam identifikasi, klasifikasi dan perawatan orang gila, dan konsep-konsep seksualitas manusia. Roland Barthes, yang secara eksplisit menerapkan prinsip-prinsip dan metode Saussure, menulis analisis semiotik atas konstituen dan kode sistem-tanda dalam iklan fashion perempuan, dan juga dalam banyak “ mitos borjuis ” tentang dunia ini yang menurutnya dicontohkan dalam sistem-tanda sosial seperti pertandingan gulat profesional, mainan anak-anak, “ornamental cookery”, dan tarian telanjang striptease. Barthes juga dalam tulisan-tulisan awalnya merupakan seorang eksponen utama dari kritik strukturalis yang membahas teks sastra sebagai “sebuah sistem semiotik lapisan kedua”; maksudnya, teks sastra dipandang sebagai memakai sistem bahasa yang merupakan lapisan pertama untuk membentuk struktur yang lebih tinggi tingkatannya, sesuai dengan sistem elemen-elemen, konvensi dan kode berbeda sastra.
(Diterjemahkan oleh Saut Situmorang)

TEORI PSIKOANALISIS

Posted by | Posted on 02.16


SIFAT MANUSIA

- sifat manusia pada dasarnya adalah deterministik
- perilaku manusia ditentukan oleh kekutan2 irasional, motivasi, dn peristiwa psikoseksual  tertentu pada masa enam tahun pertama kehidupannya. dengan bertumpu pad dialektika sadar dan tidak sadar aliran \freud luluh
- insting adalah sentral,
   libido / energi seksual
--> insting kehidupan (eros): sumber motivasi yang mencaup energi  seksual tetapi yang  bergerak melampauinya untuk bertahan hidup
--> Insting maut (thanatos)/ dorongan agresif: keinginan yang tidak disadari untuk mati atau untuk mencederai diri sendiri atau orang lain. tantangan manusia terbesar adalah untuk mengendalikan dorongan agresif itu.

STRUKTUR KEPRBADIAN

- Kepribadian terdiri dari 3 sistem: Id Ego dan Superego
- ketiganya adalah nama proses peikologi, kepribadian seseoran bertindak secara utuh bukan segmen2  tersendiri.
- Id : komponen biologi
  Ego : komponen psikologi
  Superego : komponen sosial
 Dinamika kepribadian -> cara pendistribusian energi psikik kepada id, ego dan superego.   Energi tsb terbata sehingga satu dari 3 sistem itu memegang kontrol atas eergi yangada dengan  mengorbankan kedua yang lain.
Perilaku ditentukan ole energi psikik
ID
tempat kedudukan insting banyak tuntutan dan memaksakan kehendak
semangat menyala-nyala, tidak bisa mentolerir ketegangan // kondisi homeostatik = mekanisme untuk tetap konstan apabila kedaan itu terganggu
tidak pernah berfikir hnaya berkeinginan dan berbuat
EGO
mengadakan konak dengan dunia realitas yang ada diluar dirinya bersifat "eksekutif" mengatur kepribadian tempat kedudukan intelegensi dan rasionalitas
SUPEREGO
pemegang keadialan dan kepribadian merupakan kode moral seseorang
mewakili yang ideal bukan yang riil mewakili nilai serta ideal yang tradisiona dari masyarakat yang telah diwarikan ortu pd anaknya oleh karenanya dihubungkan ganjaran (rasa bangga dan rasa mencintai diri sendiri) dan   hukuman psikologi (rasa bersalah dan inferioritas)

MEKANISME PERTAHANAN EGO

merupakan perilaku normal, bukan bersifat patologis perthanan yang digunakan seseorang tergantung pada tingkat perkembangan dan tingkat kerisauan ssorang
- Represi
dasar dari banyak pertahanan ego serta kekacauan neurotik bisa mengusir pokiran serta perasaan yg menyakitkan dan mengancam eluar dari kesadaran
- Memungkiri
- Pembentukan reaksi
- Proyeki
- Pergeseran
- Rasionalisasi
- Sublimasi
- Regresi
- Introjeksi
- Identifikasi
- KOmpnsasi
- Ritual dan penghapusan

PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN

penggambaran yang teliti mengenai jenjang-jenjang perkembangan psikososial dan psikoseksual  dari lahir sampe dewasa
--------------------------------------------------------------------------------

Psikososial Erikson


SELF PSYCHOLOGY dan OBJECT RELATION THEORY
neo-psikoanalitik -> menggabungkan pengaruh busaya dan sosial pada pribadi seseorang object berarti sesuatu yang memuaskan kebutuhan, merupakan sasaran dari perasaan atau dorongan seseorang tidak dipandang sebagai pribadi yang memilik i identitas terpisah melainan dianggap sebagai
objek tempat memuas kebutuhan relasi-objek adalah hubungan interpersonal yang membentuk perilaku interaksi yang terjadi pada saat ini antara seorang pribadi dengan orang lain, baik yang nyata ada atau yang hanya ada dalam alam hayal
--------------------------------------------------------------------------------

TEoRi PSIKOLOGI ADLER

Alfred Adler
Rudolf Dreikurs
- pendeketan psikodinamika
- manusia bersifat sosial-psikolois dan non-deterministik biologis
- pribadi mnusia adalah pelaku dan pencipta dari kehidupan kita,  bukan diciptakan oleh penglaman kita dimasa kanak-kanak
- tidak percaya pada penekanan Freud pada kekuaan bilogisdan insting sangatlah penting
- tidak hanya menggali peristiwa masa lalu tapi persepsi seseorang pada masa lalu dan  interpretasinya pada masa lalu itu memiliki pengaruh yang berkelnjutan
- manusia bermotivasi pertama-tama dari dorongan sosial bukan dorongan seksual
- perasaan rendah diri bisa merupakan sumber kreatiitas
- sasaran hidup menentukan, sudah ada sejak usia 6 tahun diungkapkan dlm bentuk perjuangan mendapatkan rasa aman dan mengatasi perasaan rendah diri
- manusia ditentukan oleh: keturunan, lingkungan ++ emampuan untuk menginterpretasi, mempengaruhi serta menciptakan peristiwa
- isu sentral/krusial : apa yang kita perbuat dengan kemampuan yang kita miliki
- pendekatan model pertumbuhan: reedukasi individu dan msyarakat
- perintis pendekatan subjektif (psikologi individual) memberi tekanan pada determinan  dari perilaku, spt nilai, keyakinan, sikap,sasaran mina serta persepsi individual pada realitas
- perintis pendekatan holistik, sosial berorientasi pada tujuan dan humanistik

PERSEPSI SUBJEKTIF tentang REALITAS

- orentientasi fenomenologis: berusaha untuk melihat dunia dari kerangka referensi subjektif si klien

KESATUAN SERTA POLA KEPRIBADIAN MANUSIA

premis dasar: kepribadian bisa dipahami sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dibagi-bagi  (pandangan holistik kepribadian)
//pribadi manusia menjadi terpadu lewat tujuan hidup
// teologikal -> bertujuan dan berorientasi pada sasaran
asumsi : orang adalah mahluk sosial semua perilaku manusia mempunyai maksud seorang klien adalah suau bagian integral dari sistem sosial.
Fokus: hubungan interpersonal daripada psikodinamika internal si sindividu
Finalisme fiksional: sasaran sentral yang ada dalam angan2 yang membimbing perilaku seseorang.
// dipengruhi pandangn silosof Hans Vaihinger bahwa orang itu hidup dari suatu fiksi   (atau pandangan bagaimana dunia itu seharusnya)
Tujuan akhir tersebut memiliki kekuatan kreatif untuk  memilih apa yang bisa diterima sebagai hal yang benar
  bagaimana kita akan berperilaku
  bagaimana kita menginterpretasikan suatu peritiwa
Perjuangan untuk menjadipenting dan superioritas (menangani inferioritas) -> sifat bawaan
superioritas berati: meraih derajat yang tinggi sari potensi yang dimiliki sebelumnya mencari jalan mengubah kelemahan mjd kekuatan berjaya pada sau budang sbg kompensasi kekurangan pada bidang lain

GAYA HIDUP

 orientasi dasar seseorang tentang hidup atau kepribadian dan tema yang mewarnai  eksistensi si individu.
- terdiri dari pandangan orla thd dirinya dan dunia dan perilaku/kebiasaan mereka yang distingtif
- masing-masing indv mempunya gaya hidup yang unik yang diasumsian terbentuk pada  saat 6 tahun pertama (tapi yang penting adaah interpretasi kita sekarang thd peristiwa2 itu)
INTEREST SOSIAL (gemeneinschaftsgefuhl)
- kesadaran indivisu  akan kedudukannya sebgai bagian dari masyarakant manusia dan sikap seseorang dalam menaganani dunia sosial
- rasa indentifikasi dan empati oranglain "mengunakan kaca mata orang lain"
- tingkat seberapa sukses kita dengan oranglain merupakan ukuran esehatan mental
Urut2an kelahiran dan hubungan adik-kakak dalam keluarga
-> interpretasi individual tentang keduduan dalam keluarga